Budak Partai Politik, Jalan Sunyi Bagi Oposisi

Shabirin Arga
Lulusan Magister Ilmu Komunikasi Politik, aktif sebagai penulis, peneliti, dan sebagai pengamat sosial dan politik Progressive Democracy Watch Institution
Konten dari Pengguna
19 Desember 2021 20:33 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabirin Arga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi partai politik. Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan
ADVERTISEMENT
Jika fungsi pengawasan tidak berjalan, kekuasaan menjadi tidak terkendalikan. Besarnya power kekuasaan yang melekat pada lembaga eksekutif, akan menjadi liar dan berbahaya jika tidak diiringi dengan control yang kuat oleh instrumen tertentu. Dalam sistem politik demokrasi, undang-undang memberikan hak penuh kepada lembaga legislatif dalam mengontrol agar terhindarnya penyimpangan kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Bangsa ini perlu belajar dari orde baru, dalam kurun 32 tahun bagaimana dampak dari biasnya kekuasaan itu, kedaulatan bukan lagi di tangan rakyat tetapi di tangan kekuasaan. Mungkin tidak ada yang membayangkan bahwa akan ada penyalahgunaan kekuasaan, namun seiring waktu benih benih otoritarianism kian semakin kuat, terlebih khusus 1 dekade terakhir. Sehingga rakyat kehilangan hak-haknya sebagai bangsa Indonesia buah dari penyimpangan kekuasaan tersebut. Hak berserikat diintimidasi, kebebasan berpendapat dikekang, kritik pada kebijakan pemerintah berakhir dibui.
Hari ini, benih otoritarianism kian tampak dan gejala feodalistik semakin menguat ditubuh kekuasaan. Sistem politik koalisi telah menjerat utusan partai politik di parlemen, yang sebenarnya keterwakilan lembaga legislatif bersumber dari suara rakyat dan tujuannya untuk memperjuangkan kepetingan rakyat. Namun, Dewan Perwakilan Rakyat tidak lagi memposisikan dirinya sebagai oposisi, sehingga peran dan kinerjanya tidak sesuai dengan desain sistem presidensial. Maka tidak heran jika dua penyakit yang tumbuh pada masa orde baru yaitu otoritarianism dan feodalistik muncul kembali.
ADVERTISEMENT
Koalisi partai politik dengan partai pemenang, menjadi jalan sunyi bagi oposisi. Partai politik ditekan untuk mendukung kebijakan-kebijakan pemerintah yang menyimpang dan jauh dari kata ideal, sehingga fungsi legislatif diredam dampak dari koalisi transaksi, maka tidak ada yang bersuara lantang mengenai persoalan hukum, Jika ada anggota parlemen yang mengintervensi kebijakan pemerintah melalui hak pengawasan, maka anggota yang bersangkutan akan ditegur dan dievaluasi melalui partai pengusungnya.
Tidak heran jika indeks persepsi public terhadap anggota dewan semakin memburuk, faktanya anggota parlemen yang merupakan suara keterwakilan rakyat, dirampas hak suaranya oleh instruksi kepentingan partai politik, anggota dewan bersuara tidak lagi memihak kepentingan rakyat, tapi melayani syahwat kepentingan kelompok elite partai dan pemilik modal. Padahal banyak isu yang harus menjadi sorotan lembaga legislatif, seperti isu utang yang menjadi perhatian penting saat ini, ketimpangan sosial dan ekonomi, persoalan pendidikan, dan keadilan hukum. Persoalan tersebut sudah banyak dikaji dan disuarakan para akademisi dan peneliti, tapi sayang seribu sayang parlemen diam seakan-akan mati. Maka anggota dewan sebagai budak partai politik tidak bisa dibantahkah lagi.
ADVERTISEMENT
Bahkan partai politik yang tidak masuk dalam lingkaran partai berkuasa, menyatakan diri sebagai oposisi, tapi cenderung memperlihatkan gimmick politik wait and see jika ada isu reshuffle yang beredar. Disisi lain tujuannya adalah tetap merawat kepentingan format koalisi di masa yang akan datang, sehingga kicauan di platform media tidak jarang dianggap hanya serimoni belaka, tidak ada kesungguhan dalam mengawal isu tertentu.
Oleh karena itu, lembaga legislatif harus kembali ke titahnya, di mana suara rakyat menjadi sistem control yang kuat dalam mengawasi kekuasaan, jika kekuasaannya menyimpang maka ia harus dikoreksi melalui legislatif. Apa bila penyimpangan kekuasaannya tidak bisa ditertibkan, maka harus diadili dan diberhentikan melalui mekanisme yang telah ditetapkan tanpa ada tawar menawar.
ADVERTISEMENT
Shabirin Arga
Direktur Media dan Literasi
Pengamat Sosial dan Politik