Demokrasi, Jadi Panggung Serigala

Shabirin Arga
Lulusan Magister Ilmu Komunikasi Politik, aktif sebagai penulis, peneliti, dan sebagai pengamat sosial dan politik Progressive Democracy Watch Institution
Konten dari Pengguna
17 April 2021 9:03 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabirin Arga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shabirin Arga (pengamat Sosial dan Politik)
zoom-in-whitePerbesar
Shabirin Arga (pengamat Sosial dan Politik)
ADVERTISEMENT
Reformasi adalah harapan baru pasca tumbangnya orde baru. Harapan di tengah sempitnya kebebasan, harapan berakhirnya di bawah penguasa otoriter, sekaligus lenyapnya praktik kolusi, korupsi, dan nepotisme yang semakin merajalela.
ADVERTISEMENT
Namun, hari ini harus jujur mengatakan bahwa di umur 22 tahun reformasi, Indonesia telah mengalami pergeseran wajah demokrasi. Erosi demokrasi terus terjadi selangkah demi selangkah, dengan dalih penegakan hukum menggunakan undang-undang ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik).
Ada partai politik puasa kekuasaan selama 10 tahun lamanya, namun ketika berkuasa malah kebablasan. Bahkan kepemimpinan terkuat yang mampu menguasai dua lembaga sekaligus, yaitu eksekutif dan legislatif dengan menggandeng semua partai politik kecuali tersisa satu partai saja.
Kemudian, menggaet juga tokoh-tokoh penting dari kalangan Islam. Sebelum menyumbat keran-keran kebebasan masyarakat sipil, konsolidasi lembaga penegak hukum, sistem hukum, badan intelijen, dan elemen media yang lebih dulu diamankan, di mana dalam negara demokrasi elemen tersebut merupakan pihak yang netral dan sebagai wasit pemberi putusan. Hal tersebut dilakukan agar setiap kebijakan pemerintah atau penguasa dianggap legal.
ADVERTISEMENT
Memperangkap wasit akan dijadikan sebagai perisai bagi pemerintah, yang memungkinkan pemerintah menegakan hukum secara pilih-pilih, menghukum lawan sambil melindungi kawan, bahkan aparat kepolisian bisa membubarkan unjuk rasa oposisi dan bisa melakukan kekerasan terhadap yang berseberangan dengan pemerintah.
Kebebasan berpendapat menjadi hal yang menakutkan di kandang demokrasi. Tidak hanya lisan tapi tulisan yang diekspresikan melalui media sosial dan platform lainnya. Lebih mengherankan lagi adalah kebebasan berekspresi melalui mimpi yang kemudian harus berhadapan dengan aparat kepolisian.
Kenapa hempitan kebebasan itu kembali di pentas demokrasi? Mungkinkah ada serigala buas yang menyusupi kandang demokrasi? Apakah ini merupakan upaya meluapkan birahi kekuasaan yang lama tak berkuasa. Baju demokrasi telah menjadi demokrasi serigala, yang menggiring rakyat pada dua pilihan, diam atau berlari ke tepi demokrasi yaitu jeruji besi. Pilihan tersebut berupaya menakut-nakuti, sehingga ruang kritik kebijakan pemerintah menjadi mati.
ADVERTISEMENT
Krisis menjadi dalih untuk membungkam demokrasi, baik krisis ekonomi, politik, keamanan, dan krisis pandemi yang sedang dihadapi saat ini. Krisis sebagai momentum untuk mengeluarkan kebijakan yang sifatnya memaksa. Hal ini banyak dilakukan di beberapa negara seperti di Mesir, Amerika, Prancis, Peru, dan lain-lainnya. Sama halnya seperti pembubaran ormas yang dianggap mengganggu stabilitas politik dan keamanan di tengah pandemi.
Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt dalam bukunya “How Democracies Die” juga menyebutkan kombinasi antara pemimpin yang berpotensi otoriter dan krisis besar merupakan upaya atau jalan mematikan demokrasi. Ada penguasa yang merasa risih dan terganggu dengan kritik-kritik yang substantif dari kalangan akademis, oposisi, dan masyarakat pada umumnya, sehingga menggunakan kekuasaan untuk meredamnya.
Demokrasi itu pekerjaan berat, oleh karenanya dibutuhkan orang-orang yang berjiwa besar dan berpengetahuan dalam mengelolanya. Di mana ruang demokrasi memang selalu dibingkai oleh carut marut, kritik, dan cecaran di negeri ini, karena ketidaksesuaian harapan dan ketidaksukaan terhadap kebijakan yang ditetapkan. Namun, bukan berarti diintai dan jadikan lawan politik.
ADVERTISEMENT
Oleh karena itu, di era demokrasi modern ini, sangat dibutuhkan aktor-aktor demokrasi yang mengisi jabatan publik. Aktor yang berjiwa besar dan terbuka dalam menerima kritikan, ide, dan narasi-narasi segar dari oposisi.
Mahasiswa menunjukan poster saat aksi demo tolak Omnibus Law di Jakarta, Selasa (20/10). Foto: Ajeng Dinar Ulfiana/REUTERS