Komunikasi Elit dan Koalisi Murahan

Shabirin Arga
Lulusan Magister Ilmu Komunikasi Politik, aktif sebagai penulis, peneliti, dan sebagai pengamat sosial dan politik Progressive Democracy Watch Institution
Konten dari Pengguna
18 Juni 2022 15:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabirin Arga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Partai Politik - Shabirin Arga
zoom-in-whitePerbesar
Partai Politik - Shabirin Arga
ADVERTISEMENT
Dalam kurun 10 tahun terakhir ini, energi kita dihabiskan pada komunikasi politik elit yang murahan. Lembaga survei kian semakin menjamur dengan narasi elektabilitas persenan alias angka-angka. Kajian dan penelitian menjadi dagangan hanya demi popularitas. Sehancur itukah ruang intelektual kita saat ini? Tapi faktanya memang begitu.
ADVERTISEMENT
Panggung politik demokrasi seakan-akan seru dan menegangkan, bertemu saling berjabat tangan, pesan yang ingin ditunjukan tentang kekuatan politik. Politik elit hanya sebatas serimoni yang menghambur-hamburkan anggaran, perjuangan dan aspirasi kepentingang rakyat yang semakin menyepi dari parlemen atau anggota dewan.
Sekarang ada pertanyaan dalam pikiran kita, apa motif para elit untuk membangun koalisi? Apakah dalam bayangan kita, percakapan elit politik sedang berupaya menyelesaikan drama minyak goreng yang belum selesai? Utang negara semakin membengkak menjadi 7.052 Trilliun, krisis polarisasi yang kian menajam buah dari buzzer yang tidak ditertibkan, harga pangan semakin tidak stabil, dan minim perhatian terhadap isu-isu pertanian.
Omong kosong narasi “Kepentingan Rakyat”, mau oposisi dan penguasa. Ada 1 Presiden dan Wakil Presiden, 38 Menteri, dan 560 anggota DPRI, tetapi tidak ada yang benar-benar all out bertempur habis menyoal tuntas minyak goreng!! Terlepas itu berada dalam pembahasan komisi. Kalau tidak semua penjahat, bukankah hampir semua mendiamkan kejahatan? Apakah elit politik telah menjelma menjadi mafia yang berdasi? Kalau pun iya, satu kalimat yang layak disematkan kepada mereka, itulah “Benalu Dalam Negara.”
ADVERTISEMENT
Baliho hanya sebatas dikepakkan, narasi hanya bermodal seruan akhlak, tapi akhlaknya yang tidak karuan. Dimana akhlak penjabat Menteri yang kampaye menggunakan fasilitas negara? Katanya menteri sekaligus pengusaha tapi miskin mental dan gaya pengemis.
Elit politik yang merupakan produk reformasi telah merutuhkan otoritarianisme order baru, tapi mereka juga yang menghancurkan reformasi saat ini, dengan menjual produk-produk dalam demokrasi. Salah satu produk demokrasi yang diperjual belikan adalah kekuasaan melalui pemilu, pada akhirnya komposisi jabatan menteri diisi oleh para konglamerasi. Sadar atau tidak sadar, faktanya telah terjadi degradasi pada orientasi berbangsa dan bernegara.
Pada kesimpulannya, kita berbicara pencerdasan dan kesadaran. Kapan waktunya kita secara kolektif mendistribusikan titik persoalan dari kelas menengah ke bawah? Mereka yang ditindas oleh kelaparan dan kebodohan, yang tidak mengerti akar permasalahan, bahwa elit politik berperan menciptakan kiris secara berkepanjangan.
ADVERTISEMENT