Mungkinkah Revolusi ditengah Pandemi?

Shabirin Arga
Lulusan Magister Ilmu Komunikasi Politik, aktif sebagai penulis, peneliti, dan sebagai pengamat sosial dan politik Progressive Democracy Watch Institution
Konten dari Pengguna
10 Oktober 2020 10:23 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabirin Arga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shabirin Arga, Pengamat Sosial dan Politik
zoom-in-whitePerbesar
Shabirin Arga, Pengamat Sosial dan Politik
ADVERTISEMENT
Shabirin Arga
Pengamat Sosial dan Politik, Direktur Media dan Literasi Prodewa
ADVERTISEMENT
Gelombang arus demostrasi tidak lagi bisa dibendung diberbagai daerah Indonesia. Disahkannya Rancangan Undang-Undang Cipta Lapangan Kerja (cilaka) telah menuai amarah publik, salah bentuk ekspresi kemarahan publik merebak sikap anarkisme pada wajah demostrasi. Tidak hanya buruh, berbagai elemen ormas dan mahasiswa telah mengisi ruang aksi jalanan, menuntut agar dicabutnya UU Cilaka.
Api kemarahan publik semakin bergejolak dari satu permasalahan ke permasalahan lain, sikap pemerintah atau elite yang dianggap tidak memihak kepada keinginan rakyat, minim dialog dan ruang diskusi, penyerapan aspirasi dan tidak melibatkan rakyat rancangan sebuah undang-undang.
Sehingga jika ditarik dari satu titik benang persoalan disahkannya RUU Revisi KPK misalkan, telah memacing emosi sebagian besar masyarakat, pada akhirnya berujung dengan aksi demostrasi yang anarkis dan memakan korban. Setelahnya muncul lagi Rancangan Undang-Undang Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang menuai protes dari berbagai kalangan, sehingga memuncul aksi demostrasi kembali terhadap pemerintah. Kemudian ditengah pandemi ini, lebih dahsyat lagi gelombang arus demostrasinya, tindakan anarkis yang merusak dan merugikan berbagai proferti dan fasilitas publik.
ADVERTISEMENT
Dari fenomena atau pristiwa diatas maka tergambar sebuah kondisi bahwa pada era kepemimpinan Jokowi menunjukan ketidakmampuannya dalam 2 hal yaitu, bagaimana mengelola Public Mood dan manajemen resiko. Public mood berbicara tentang rasa, kebutuhan, dan tindakan publik. Sedangkan berbicara Risk Management berhubungan dengan dampak setiap kebijakan yang diambil dan sekala prioritas.
Atas dasar ketidakmampuan tersebut, maka menumpuknya kegelisahan publik yang akan melahirkan letupan dan ledakan amarah masyarakat semakin tak terkendali. Pertanyaan mungkinkah terjadinya revolusi ditengah pandemi? Maka jawabannya sangat memungkinkan, apabila api kemarahan publik terus menyulut dan tak mampu dipadamkan oleh pemerintah, tindakan hal tersebut menyapu bersih semoga organ politik pada bangsa dan negara ini.
Revolusi itu meletus karena ada kesadaran kolektif, yang berawal dari kerasahan dan kegelisahan bersama terhadap penegakan hukum, isu kesejateraan atau ekonomi ditengah pandemi, pendidikan, dan seterusnya. Kebijakan dan keberpihakan pemerintah dalam tema-tema tersebut belum memuaskan sebagian besar rakyat.
ADVERTISEMENT
Fakta sejarah bisa berkaca pada Revolusi Nasional Indonesia melawan belanda dalam memerdakakan Indonesia, reformasi ketika menjatuhkan orde baru pada tahun 1998, meletusnya revolusi di Rusia terhadap kepemimpinan Tsar Nicholas II adalah peristiwa Minggu Berdarah (Bloody Sunday 1905). Pristiwa tersebut lahir bermula dari kesadaran kolektif. Jika meletusnya revolusi ditegah pandemi maka sungguh mengerikan wajah revolusi yang akan terjadi, karena akan terjadi gelombang tsunami yang lebih dahsyat yang menyapu kekuasaan. Letusan tersebut merupakan energi atau luapan moral dan kegelisahan yang lahir secara bersamaan. Tidak ada yang tahu berapa yang akan kehilangan nyawa akibat demostrasi ditengah pandemi yang telah merengut ratusan jiwa akibat virus corona.
Dalam situasi seperti ini, dimana krisis ekonomi ditengah pandemi menjadi tantangan bersama antara rakyat dan pemerintah, jangan sampai pemerintah menjadi tempat pelampiasan kemarahan masyarakat yang akan berdampak pada stabilitas politik atau kekuasaan dalam menjalankan roda pemerintahan. Sekiranya untuk saat ini penguasa perlu berirama dengan keinginan rakyat untuk memulihkan situasi dan membuka ruang dialog yang lebih terbuka.
ADVERTISEMENT