Partai Politik Tercabik-cabik

Shabirin Arga
Lulusan Magister Ilmu Komunikasi Politik, aktif sebagai penulis, peneliti, dan sebagai pengamat sosial dan politik Progressive Democracy Watch Institution
Konten dari Pengguna
17 Februari 2021 6:40 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shabirin Arga tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Shabirin Arga,Pengamat Komunikasi Politik
zoom-in-whitePerbesar
Shabirin Arga,Pengamat Komunikasi Politik
ADVERTISEMENT
Perseteruan di tubuh partai politik telah dipertontonkan di depan publik. Drama dari satu episode ke episode tak kunjung juga usai, dimulai dari yang tersandera, mental pengemis ingin kebagian jatah kursi menteri, hingga terjebak dalam lumpur yang berurusan dengan hukum pidana.
ADVERTISEMENT
Seni dalam menentukan sikap dan kebijakan telah terpenjara pasca bagi-bagi roti alias menteri. Ideologi dan visi partai politik tinggal catatan yang tidak diperjuangkan dan jauh dari kata realisasi. Kini partai politik harus mengikuti ke mana arah mata angin “kepentingan” mengudara.
Dalam pemilu dinamika dualisme partai politik kerap kali muncul karena berbeda pilihan koalisi, beroposisi atau bergabung dengan penguasa. PBB (partai bulan bintang) misalkan pada pemilu 2019 Yuzril Ihza Mahendra selaku ketua umum memilih untuk mendukung Jokowi yang menuai reaksi dari pengurus lainnya, Golongan Karya pernah bersitegang karena perbedaan di antara tokoh utamanya, PPP tengah dilanda konflik internal juga, Partai Demokrat diributkan dengan isu kudeta, dan konflik parpol lainnya.
Hampir semua partai politik tercabik-cabik oleh pemeran tunggal kekuasaan atau absolute political power. Potongan roti telah membuat partai politik tersandera, sehingga dalam keputusan rancangan UU dituntut untuk satu suara. Yang berlawanan dipastikan tersingkir dalam dalam jajaran koalisi, bahkan ada pihak tertentu yang melakukan penekanan melalui instrumen kekuasaan. Faktanya beberapa partai memilih untuk balik arah menolak revisi UU Pemilu, yang awal menyetujui adanya revisi UU Pemilu tersebut.
ADVERTISEMENT
Beberapa parpol berada dalam dilema, apakah ia harus melawan arus untuk mempertahankan eksistensinya pada konstelasi Pemilihan Presiden tahun 2024 mendatang. Apakah partai-partai kecil akan mampu menghimpun kekuatan untuk menyeimbangkan petahana atau lebih memilih berkoalisi karena keadaan yang memaksa.
Presidential Threshold merupakan kunci bagi partai politik memposisikan diri dalam gelanggang pemilu, sayangnya partai politik yang tidak merapat ke posisi telah terkunci dengan mayoritas partai politik menolaknya revisi UU Pemilu. Sehingga alternatif strategi menjadi terbatas bagi beberapa parpol mengusung calon sendiri.
Maka kemungkinan besar format pertarungan akan kembali sama seperti pemilu 2019 sebelumnya, meskipun dinamikanya sangat begitu dinamis dengan manuver-manuver parpol menuju gelanggang 2024 nantinya.