news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Refleksi Hari Santri Nasional: Mengimpikan Resolusi Jihad Terjadi kembali

Salim Shabirs
Mahasiswa Hukum Tata Negara (Siyasah) UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
Konten dari Pengguna
22 Oktober 2020 12:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Salim Shabirs tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sumber: https://images.app.goo.gl/gy2rao5U2QF68mYQ6
Terhitung sudah enam tahun santri Nusantara merayakan Hari Santri Nasional sejak disahkan oleh Presiden Republik Indonesia melalui surat keputusan Presiden Nomor 22 Tahun 2015. Tanggal 22 Oktober dipilih sebagai hari santri nasional oleh Presiden Joko Widodo tiada lain untuk mengenang heroisme santri berperang mempertahankan negara dalam rangka menyikapi penjajah Inggris yang kembali ke tanah air Indonesia. Dampaknya sangat signifikan terhadap semangat juang bangsa Indonesia dalam melawan penjajah dengan seruan perang suci yang dikenal dengan “Resolusi Jihad” pada 22 Oktober 1945.
ADVERTISEMENT
Resolusi jihad terjadi tiada lain disebabkan kondisi genting negara Indonesia pasca diproklamasikannya negara Indonesia sebagai negara yang merdeka dari penjajahan. Selang dua bulan kemudian, Inggris dengan diboncengi NICA (Netherlands Indies Civil Administration) kembali ke Indonesia dengan alasan ingin melucuti senjata pasukan Jepang, namun ternyata hendak merebut kembali wilayah Indonesia. Oleh karena itu, KH. Hasyim Asy’ari mengadakan pertemuan di Surabaya pada tanggal 21 Oktober 1945 bersama para pengurus NU se-Jawa dan Madura untuk menyatakan sikap atas tindakan tentara Belanda dan sekutu yang ingin menancapkan taringnya di Indonesia (Kompas.com/22/10/18). Sehingga, lahirlah sikap para kiai dan santri dengan pekik kalimat la ilaha illallah mengiri langkah di dalam berjuang dan berperang demi tegaknya negara Republik Indonesia dan agama Islam.
ADVERTISEMENT
Saat ini, kondisi Indonesia sudah berbeda jauh dari tahun 1945 lalu, tidak ada lagi “penjajahan” seperti yang dilakukan tentara sekutu dan Belanda. Akan tetapi, hal itu bukan sebuah alasan santri berdiam diri tanpa menyikapi gejolak yang terjadi di dalam negeri, ketidak adilan hukum, kecurangan pemilu, kekerasan seksual, narkotika, korupsi yang semakin merajalela dan masih banyak kasus lainnya. Sederet masalah tersebut akan mengancam terhadap stabilitas dan keberlangsungan negeri, maka resolusi jihad santri bukanlah perang mengangkat bambu runcing dan senjata, resolusi jihad harus diorientasikan kepada cita-cita bangsa Indonesia untuk menjadikan negeri yang baldatun thayyibah (negeri yang sejahtera dan aman dari segala ancaman).
Namun, mungkinkah heroisme para santri jaman dahulu dapat lahir kembali di kondisi dan situasi negara saat ini?, mengimpikan resolusi jihad terjadi kembali saat ini seakan mustahil kecuali dengan beberapa hal berikut:
ADVERTISEMENT
Pertama, Zuhud. Melihat realitas saat ini, sulit membedakan mana (tidak semua) kiai dan politikus, begitu banyak kiai yang terjun ke ranah politik demi mengejar jabatan di tingkat pemerintahan. Ketika seorang kiai terjun ke gelanggang politik, otomatis, segala cara akan ditempuh demi mencapai tujuan, bahkan santri pun akan menjadi alat untuk meraih persentase suara di pemilu. Pada aspek inilah kesamaan antara kiai dan politikus dapat dilihat dengan kentara. Sehingga, hal juga ini akan menjadi sandungan bagi santri dalam menyatakan sikap bila sang kiai menyalahgunakan jabatannya.
Kedua, Independensi Pesantren. Pondok pesantren merupakan lembaga untuk menimba ilmu dan mengasah segala kecerdasan intelektual. Penting untuk sebuah pesantren untuk mandiri dari segala hal, baik dari ekonomi, sistem, kurikulum dan yang terpenting mandiri sejak dalam pikiran. Terkadang bila sudah mendekati pemilu, tidak jarang muncul di beranda media sosial atau media konvensional, beberapa tokoh politik datang ke pesantren-pesantren dalam rangka sowan ke kiai dan santri. Bukan tanpa alasan tokoh-tokoh tersebut bertamu, tetapi tiada lain untuk meminta dukungan dari santri dan kiai. Beruntunglah kalau pesantren tersebut demokratis, namun yang sering terjadi seorang kyai memberikan instruksi kepada para santrinya untuk memilih tokoh politik tertentu. Ini yang merugikan terhadap independensi pesantren dan paradigma santri secara individu.
ADVERTISEMENT
Ketiga, Wawasan Luas. Terbukanya pesantren terhadap informasi sangat penting di dalam meng-kawal negeri, sehingga apapun yang terjadi dapat dicerna dan dikelola dengan baik sehingga sikap yang dinyatakan oleh pesantren atau santri sebagai perseorangan tidak blunder karena hoaks dan informasi provokatif. Tidak sedikit pesantren saat ini yang menutup diri dari media dan informasi publik dan berbalik arah menjadi pesantren yang hanya fokus mengkaji bidang agama saja, itu baik. Namun, akan rentan terhadap misinformasi dan tidak sesuai dengan semangat hari santri yang dikenal dengan santri kritis, heroik dan peduli negeri.
Sudah waktunya santri ikut andil membangun negeri bukan hanya mengenang dan merayakan hari santri dengan seremonial semata. Santri harus mandiri di dalam bersikap dan menyuarakan pendapat atas pelbagai ketimpangan yang terjadi di dalam negeri tanpa takut diintimidasi dan hutang budi kepada tokoh politik dan birokrasi.
ADVERTISEMENT