Media Internet Terhadap Self-Diagnosis Generasi Muda

Shafa Nur R
Mahasiswa Sosiologi Universitas Brawijaya
Konten dari Pengguna
27 November 2022 20:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shafa Nur R tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dewasa ini, kita kerap mendengar kata mental health di kalangan masyarakat terutama bagi kaum muda yang kini gencar akan kesehatan mental sejak dulu dianggap sebagai sebuah hal yang tabu. Isu dan edukasi mengenai kesehatan mental yang disebarkan melalui sosial media saat ini cukup diterima baik oleh penggunanya. Saat ini, sosial media mulai gencar menyebarkan konten mengenai kesehatan mental baik yang dilakukan oleh tenaga kesehatan mental itu sendiri hingga figur selebriti atau influencer. Dorongan ini kemudian semakin meningkatkan kesadaran kaum muda akan mental health itu sendiri terhadap kesehariannya.
ADVERTISEMENT
Akan tetapi, dibalik penyebaran kesadaran kesehatan mental tersebut seringkali terjadi sebuah salah kaprah. Kesadaran akan kesehatan mental seakan menjadi sebuah tren bagi kalangan anak muda baik untuk dirinya sendiri maupun orang lain. Beberapa dari kalangan kerap menyebutkan dirinya sebagai salah satu penyandang dari sakit mental berdasarkan atas gejala dan kriteria yang telah Ia miliki tanpa sebuah diagnosis dari seorang ahli kesehatan mental. Fenomena ini kemudian merupakan sebuah dorongan atas perilaku self-diagnosis.
Sebelumnya, apa itu diagnosis dan fenomena self-diagnosis itu sendiri? Menurut ahli Thorndike dan Hagen, diagnosis dijelaskan sebagai sebuah upaya dalam menemukan sebuah penyakit (disease) dan kelemahan (weakness), mengenali gejala-gejala yang dialami (symptoms), sebuah studi mengenai fakta dalam menemukan karakteristik atau kesalahan, dan diagnosis merupakan sebuah keputusan atas suatu studi saksama atas gejala atau fakta (Dewi, et al., 2022). Diagnosis biasanya merupakan sebuah rekam medis yang diputuskan oleh seorang ahli medis secara dipertanggung jawabkan. Berbalik dengan itu, self-diagnosis adalah sebuah proses individu mengamati dan menganalisis atas gejala gangguan yang dimiliki serta menyatakan atas suatu penyakit tertentu secara mandiri tanpa konsultasi maupun saran medis.
ADVERTISEMENT
Self-diagnosis sebenarnya tidak selalu bersifat negatif sebab dalam konsultasi kepada ahli diperlukan pula atas diagnosa diri sendiri terhadap rasa sakitnya. Akan tetapi, dengan kemudahan dan maraknya pengenalan atas suatu penyakit tertentu di internet, diagnosis penyakit melalui search engine menjadi suatu alternatif dalam identifikasi dan cara pengobatan yang belum tentu benar. Berdasarkan survey Millennial Mindset: The Worried Well, data menunjukan bahwa 37% milenial terutama pada generasi Y terkadang melakukan self-diagnosis terhadap kesehatan mentalnya, selaras dengan gaya hidup milenial sebagai generasi pertama yang tumbuh dengan “Dokter Google” (Allidura Consumer, 2014). Hal tersebut kemudian didukung pada kebiasaan generasi milenial yang fokus terhadap “apa” yang dapat membantu mereka dibandingkan “siapa” yang membantu mereka. Selain itu, hal utama yang dapat membahayakan self-diagnosis ini adalah kebenaran dari informasi sumber internet tersebut sebab tentunya akurasi atas informasi dan datanya masih dipertanyakan. Alhasil, mereka yang melakukan self-diagnosis justru semakin khawatir atas dugaan penyakit yang mereka miliki tanpa keputusan yang jelas.
ADVERTISEMENT
Lalu, apa yang kemudian terjadi jika hal tersebut dilakukan dalam identifikasi kesehatan mental mereka?
Sebaran atas edukasi mengenai kesehatan mental dalam internet tentunya memiliki dua sisi dampak bagi pembacanya. Peningkatan atas kesadaran mental tentunya merupakan sisi positif dengan adanya penyebaran informasi atas mental health itu sendiri seperti halnya saran atas selalu memberikan energi positif kepada diri sendiri dan sebagainya. Akan tetapi, jika informasi tersebut ditelan secara mentah-mentah tentunya akan memberikan kekhawatiran secara terus menerus serta memberikan sebuah diagnosis yang salah. Tentunya hal tersebut akan berbahaya jika terus dilakukan oleh generasi muda saat ini terlebih dengan segala tuntutan saat ini yang menekan generasi milenial, Y, maupun Z untuk dapat bersaing secara fisik dan mental dalam kehidupan sosialnya. Hal mentalitas merupakan suatu hal yang telah menyangkut dengan persoalan keselamatan individu tentunya akan berbahaya jika dilakukan sebatas self-diagnosis melalui media internet. Perasaan atas menemukan gejala (symptoms) atas rasa emosional yang berlebih tentunya diperlukan bantuan atas tenaga ahli yang mampu memberikan diagnosa yang tepat serta penanganan yang tepat pula.
ADVERTISEMENT
Photo by energepic.com from Pexels: https://www.pexels.com/photo/woman-sitting-in-front-of-macbook-313690/
DAFTAR PUSTAKA
Allidura Consumer. (2014). Millennial Mindset: The Worried Well. PR Newswire. https://www.prnewswire.com/news-releases/millennial-mindset-the-worried-well-343159044.html
Dewi, M. P., Sari, R., Indah, Lestari, D. R., Muwaddimah, M. N., & Sam, M. M. (2022). Psikoedukasi Self Diagnose: Kenali Gangguan Anda Sebelum Menjudge Diri Sendiri. Pengabdi: Jurnal Hasil Pengabdian Masyarakat, 3(1), 20.