Long Covid Bukan Sebuah Dongeng Belaka

Shahra Putri
Mahasiswi Jurnalistik di Politeknik Negeri Jakarta yang menyukai menulis, fotografi, dan desain.
Konten dari Pengguna
14 Juli 2021 14:21 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shahra Putri tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Nyai Rakhmawati menunjukkan 'koleksi' obat-obatan yang ia miliki selama menderita Long-Covid. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Nyai Rakhmawati menunjukkan 'koleksi' obat-obatan yang ia miliki selama menderita Long-Covid. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Nyai menarik napasnya sekali lagi. “Kalau bukan karena corona, saya bisa makan-makan enak itu!” ucapnya dengan nada setengah tinggi melihat makanan hangat yang tersaji di meja makan. Lagi-lagi Covid-19 menggoreskan cerita. Baik-buruk, pahit-manis, jatuh-bangun, seolah tercampur menjadi rasa tersendiri di masa pagebluk.
ADVERTISEMENT
Nyai Rakhmawati, wanita kelahiran 1972 merasakan akibat dari long-covid, setelah dinyatakan positif Covid-19 hingga harus diisolasi di rumah sakit. Kepulangannya ke rumah tentu saja sangat ditunggu Nyai, ia sudah membayangkan bertemu keluarga dan kucing peliharaannya. “Setelah saya pulang, saya hanya bisa berbaring di tempat tidur, jangankan berdiri, rebahan saja perut saya sakit.” lirih Nyai
Sebelum dinyatakan positif Covid-19, Nyai berobat ke dokter dengan keluhan asam lambung yang tinggi, disertai batuk kering. Dokter menyatakan Nyai mengalami GERD (gastroesophageal reflux disease). Sayangnya, ketika hasil rontgen keluar, terdapat flek yang cukup banyak di paru-paru Nyai. Panik, gejala Covid-19 menghantui.
Berulang kali keluarganya meyakini Nyai untuk tidak perlu cemas, pasti sembuh, itu hanya gejala dari GERD. Sebaliknya, Nyai tidak tenang, terus kepikiran flek di paru-parunya, tak lama ia memutuskan untuk rapid test yang kala itu masih langka dan harus ke rumah sakit besar.
ADVERTISEMENT
Untungnya, rumah Nyai yang tidak terlalu jauh dari rumah sakit, memudahkan Nyai berpergian untuk berobat. Nyai pulang membawa hasil nonreaktif di tangannya, melegakan napas Nyai. “Kekhawatiran saya sedikit hilang, paling tidak malam itu saya bisa tidur nyenyak tanpa perlu memikirkan si corona.”
Nyai salah. Hanya malam setelah membawa pulang hasil tes, ia bisa tertidur tenang. Selanjutnya, Nyai berada di bawah atap rumah sakit dengan hidung menggunakan oksigen. Sendirian, tidak ada keluarga. Bertahan antara hidup dan.. Garis akhir kehidupan.
“Konyolnya, setelah saya dinyatakan nonreaktif, saya kehilangan penciuman dan perasa. Bahkan, aroma kopi yang kuat, sama sekali tidak tercium.” Setelah berobat untuk yang kedua kali, dengan keluhan yang sama ditambah indera penciuman dan perasa hilang, dokter menyarankan untuk segera swab test yang lebih akurat. Saran dari dokter Nyari turuti, hingga akhirnya, semua ketakutan Nyai terjadi.
ADVERTISEMENT
Kemalangan itu, Nyai coba terima dengan ikhlas. Berat badan Nyai 'terjun bebas' dari 70 kg ke 48 kg. Gejala Covid-19 yang ia rasakan dahulu, tidak sebanding dengan sakit lambungnya sekarang.
Perut Nyai bisa tiba-tiba bengkak, dan kepala pusing ketika asam lambung kambuh. Sering kali diikuti muntah dengan keringat dingin. Jika seperti itu, Nyai hanya bisa berbaring. Obat-obatan menjadi harapan terakhir Nyai, apabila masih belum membaik, terpaksa harus ke rumah sakit.
Jika dahulu, Nyai mampu pergi ke pasar hingga kedua tangannya penuh dengan barang, sekarang tidak lagi. Lambungnya tidak mengizinkan untuk bergerak bebas. Setiap hari, hanya lemas yang ia rasakan.
Berbagai macam obat, dari tradisional hingga konvesional terlihat menjadi teman baik Nyai sehari-hari. Jelas saja, setiap minggu pasti ada kalanya asam lambung Nyai kambuh dan harus dibawa ke UGD. Padahal, Nyai sudah menahan keinginan untuk makan pedas apalagi masam. Nasi saja, tidak jarang ia haluskan menjadi bubur.
ADVERTISEMENT
Tidak muluk harapan Nyai, ia juga sudah pesimis untuk sembuh. Nyai hanya ingin asam lambungnya tidak sering kambuh, karena jika sudah kambuh, Nyai tidak bisa melakukan aktivitas apa pun. Bukannya tidak berusaha untuk sembuh, Nyai sudah berulang kali memeriksakan diri ke dokter, hingga melakukan endoskopi, tapi tetap tidak ada perubahan.
"Saya jadi mempertanyakan ulang keputusan saya untuk swab test, apakah keadaan saya saat ini akan jauh berbeda seandainya saya tidak melakukan itu?" Nyai terdengar putus asa.
(Shahra Putri Handayani/Politeknik Negeri Jakarta)