Catatan Nakal tentang Khilafah

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
4 April 2019 8:52 WIB
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi khalifah. Foto: Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi khalifah. Foto: Pixabay
ADVERTISEMENT
Di saat kita berada dalam suasana yang emosional dan cenderung membawa segalanya ke garis ekstrem, mungkin masanya untuk kita belajar kembali memahami segala sesuatu dengan “akal sehat” dan “mata imbang”.
ADVERTISEMENT
Memang di saat fanatisme meninggi karena ragam faktor, termasuk faktor politik, akal cenderung dikecilkan bahkan dikucilkan. Akibatnya, penglihatan menjadi sempit bahkan kabur melihat titik-titik cahaya (kebenaran).
Masih terngiang di benak saya sekitar 9 tahun lalu (2010), ketika itu di Amerika Serikat, isu Syariat menjadi sebuah kata yang sangat menakutkan. Para petinggi politik, khususnya kalangan Republikan, menjadi pahlawan anti-Syariat yang getol.
Salah satunya adalah Newt Gingrich, mantan Speaker of the House (Kepala DPR Amerika Serikat). Lucunya, justru Speaker Gingrichlah yang pertama kali memberikan izin kepada pegawai muslim di Kongres Amerika untuk melaksanakan salat Jumat di gedung Capitol Hill. Salat Jumat adalah bagian terpenting dari Syariat.
Beban kepada warga muslim Amerika Serikat cukup berat dengan politisasi Syariat ini. Mungkin salah satu contoh terdekatnya adalah ketika komunitas muslim berupaya mendirikan masjid dekat Ground Zero. Masjid ini mereka kampanyekan sebagai simbol kemenangan komunitas Muslim sekaligus Markas penegasan Syariah.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, masyarakat Amerika bangkit dan melakukan resistensi terhadap rencana pendirian masjid tersebut. Di New York misalnya, 70 persen penduduk kota dunia itu menentangnya.
Saya menilai penyebab sebagian warga AS menentang dan takut dengan Syariat ini karena mereka memahaminya berdasarkan pemahaman dan definisi kaum radikal. Karenanya mereka selalu memberikan contoh dari kasus-kasus yang sudah ada. Salah satunya, pemaksaan penerapan hukum Syariat di Afghanistan oleh kelompok Taliban.
Alhamdulillah sejak beberapa tahun ini, kata Syariat tidak lagi menjadi isu yang ditakutkan. Sebaliknya, di mana-mana praktik Syariat tumbuh menjamur. Dari restoran halal, tokoh makanan halal, hingga ke Islamic mortgage dan finance (keuangan dan perbankan) digandrungi. Bahkan di saat terjadi ambruknya perbankan di Eropa, sistem keuangan halal tetap booming (tumbuh).
ADVERTISEMENT
Isu Khilafah
Selain isu Syariat, di dunia Barat dan Amerika Serikat khususnya, kata khilafah juga menjadi kata yang sangat menakutkan. Kata ini bahkan menjadi sebuah kata yang identik dengan kejahatan yang menakutkan. Dunia seolah diingatkan bahaya laten yang dianggap ancaman global (global threat).
Saya menghindari membahas masalah ini secara ilmiah. Bahasan ilmiah seringkali menambah kekisruhan intelektualitas dan kebingungan publik. Karenanya saya hanya ingin membuat catatan yang saya sebut catatan nakal.
Kenapa catatan nakal? Karena catatan saya ini boleh jadi ditolak oleh dua pihak. Baik yang mengusung konsep khilafah dan juga yang menolak konsep khilafah.
Saya memulai dengan apa yang pernah disampaikan oleh Prof. Din Syamsuddin. Bahwa kata khilafah sesungguhnya tidak pernah disebutkan secara langsung dalam teks-teks keagamaan. Yang ada adalah kata khalifah, yang berarti pelaku “khilafah”.
ADVERTISEMENT
Namun demikian, penyebutan kata “khalifah” dalam Alquran, konteksnya bukan pada substansi khilafah yang dipahami secara luas oleh banyak kalangan saat ini. Tetapi sekedar penamaan dari makhluk yang kemudian dikenal sebagai “manusia” (Baca Al-Baqarah ayat 30).
Lalu dari mana dan apa makna khilafah?
Saya juga tidak bermaksud membahas panjang dan detail mengenai hal ini. Toh sekali lagi tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Melainkan sebuah catatan, bahkan catatan nakal.
Khilafah adalah sebuah pengistilahan untuk sebuah sistem pemerintahan. Saya tidak melihatnya banyak berbeda dari sistem-sistem yang lain. Bedanya ada pada filosofi dan tafsiran filosofi itu sendiri.
Sebagaimana sistem pemerintahan demokrasi yang nonmonolitik, khilafah sesungguhnya juga bisa dipahami demikian.
ADVERTISEMENT
Dalam sistem demokrasi, ada demokrasi liberal yang diperlakukan oleh dunia sekuler Barat misalnya. Tapi ada juga sistem demokrasi agama (Islam) seperti Pakistan dan Iran. Dan jangan lupa kita bangsa Indonesia mengenal demokrasi yang lebih unik; demokrasi Pancasila.
Kalau saja kita memahami demokrasi dengan akal sehat dan penglihatan yang imbang seperti itu, alangkah baiknya jika konsep khilafah juga kita pahami demikian.
Artinya kata khilafah adalah kata umum untuk sistem pemerintahan yang pernah diberlakukan pada masa tertentu. Dan sistem itu boleh jadi juga memiliki bentuk dan implementasi yang berbeda. Yang mengikat antara satu bentuk dengan bentuk lainnya adalah keterikatan agama.
Bahwa khilafah dalam bentuknya yang ragam itu diikat oleh ikatan wahyu samawi. Namun wahyu yang kita maksud itu dapat dipahami dan ditafsirkan berdasarkan konteks masing-masing masyarakat dunia.
ADVERTISEMENT
Jika kita pahami secara literal dan ekstrim maka konsep khilafah melahirkan konsep Islamic State ala ISIS. Konsep khilafah yang merepresi minoritas misalnya.
Tapi jangan lupa catatan tinta emas sejarah menyatakan bahwa pemerintahan khilafah pula yang memberikan perlindungan penuh kepada minoritas di masa lalu.
Sistem pemerintahan khilafah itu juga yang menjadikan gereja-gereja besar di bumi Syam (Suriah, Palestina, Yordania, dan Lebanon) masih tegak hingga hari ini. Dengan khilafah itu, Umar bin Khattab menghadirkan sense of justice (rasa keadilan) kepada kelompok minoritas di Mesir.
Intinya adalah tergantung sesungguhnya bagaimana memahami dan menafsirkan kata khilafah itu. Jika dipahami dengan memakai akal ISIS akan melahirkan konsep ISIS.
Oleh karenanya, jangan terkejut. Bangsa Indonesia sesungguhnya justru bisa memahami konsep khilafah dalam konteks “Indonesia” yang berdasarkan Pancasila.
ADVERTISEMENT
Karenanya dalam menyikapi isu khilafah, hendaknya dihindari penafsiran yang ekstrem. Dalam konteks negara Indonesia, asal saja konsisten dengan semangat “founding fathers” yang tertuang dalam falsafah dan dasar negara, sejatinya secara substantif sudah sejalan dengan khilafah.
Khilafah itu terbangun di atas kalimat Tauhid dan bercita-cita untuk mewujudkan masyarakat yang makmur dan berkeadilan. Semangat ini sejatinya sudah tersimpulkan dalam sila-sila Pancasila.
Lalu bagaimana dengan konsep pemerintahan khilafah global?
Jawabannya adalah konsep global itu lebih kepada ikatan emosional yang tertuang dalam konsep wihdatul ummah (one community) dan ukhuwah Islamiyah.
Bahwa umat Islam itu secara semangat adalah satu umat dan persaudaraan. Kesatuan umat dan ukhuwah Islamiyah itu tak akan terputuskan oleh sekedar batas-batas kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Maka tidak perlulah ketakutan yang berlebihan dengan kata khilafah. Apalagi kata ini dijadikan bahan gorengan politik. Yang akhirnya hanya akan semakin memperlebar polarisasi di masyarakat kita.
Mungkin masanya dipahami bahwa bagi bangsa Indonesia yang beragama Islam, pemahaman tentang khilafah itu tidak kepada dari konteks ke-Indonesian. Yaitu negara yang berdasar Pancasila dan UUD 45. Dan keduanya dalam keyakinan umat Islam Indonesia terinspirasi oleh Alquran dan sunah Rasulullah shalallahu alaihi wassalam.
Maka kalau pun ada anak-anak bangsa yang mengagumi kata khilafah, hendaknya jangan mudah dituduh sebagai anti-Pancasila dan NKRI. Karena sekali lagi negara Indonesia adalah khilafah bagi umat Islam Indonesia.
Ingat, kita sedang berada dalam ancaman esktremisme di dua arah. Ekstremisme kanan yang diwakili oleh ISIS di dunia Islam dan ekstremisme kiri yang diwakili oleh White Supremacy di dunia Barat. Masanya kita menempuh jalan tengah dalam merespon isu-isu yang dihadapi oleh dunia kita. Semoga!
ADVERTISEMENT