Hajj Journey 13: Memenuhi Panggilan Suci

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
12 Agustus 2019 6:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sejumah jemaah mendaki bukit Rumat, tempat perang Uhud di Madinah. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Sejumah jemaah mendaki bukit Rumat, tempat perang Uhud di Madinah. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
ADVERTISEMENT
Dengan kesiapan perbekalan yang matang itu jemaah haji memulai perjalanan jauh itu. Hal pertama yang akan dilakukan adalah memulai dengan "niat suci" di tempat yang telah ditentukan.
ADVERTISEMENT
Ihram di miqat bagaikan ketika terjadi "Aqad ubudiyah" antara Tuhan dan hamba-Nya. Di saat manusia masih dalam proses eksistensinya, seorang hamba mengambil janji itu:
Tuhan: "alastu biRabbikum" (Bukankah aku Tuhan/sembahanmu)?
Hamba: "Balaa Syahidna" (Benar, kami memberikan kesaksian kami).
Dialog antara seorang hamba dan Tuhannya ini memulai prosesi perjalanan itu. Perjalanan ke dunia fana dengan tujuan yang satu: "liyabuduun" (untuk menyembah/mengabdi kepada Tuhan Yang Satu).
Prosesi inilah yang tersimbolkan ketika di miqat atau tempat yang telah ditentukan untuk memulai niat haji/umrah. Waktu yang ditentukan (miqat) menggambarkan keputusan Allah yang pasti dan mutlak.
Ihram dimulai dengan komitmen memenuhi panggilan. Sebuah panggilan suci untuk melakukan ibadah/pengabdian. Sejatinya demikianlah hidup ini. Eksistensi hidup bagi seorang Mukmin adalah panggilan: "Wahai manusia sembahlah Tuhanmu yang telah menciptakan kamu dan mereka yang sebelum kamu. Mudah-mudahan kamu bertakwa". (al-Baqarah: 21).
ADVERTISEMENT
Perintah itu adalah perintah pertama dalam Alquran berdasarkan urut ayatnya. Dan ini pulalah yang dipenuhi oleh jemaah haji dengan komitmen itu: "Labbaik allahumma labbaik. Labbaika laa syariikan laka. Innal hamda wanni’mata laka walmulk, laa syariik lak".
Jemaah haji berdoa di atas bukit Jabal Rahmah ketika melaksanakan wukuf di Arafah. Foto: Darmawan/Media Center Haji
Memenuhi seruan: "Ya Allah kami datang memenuhi seruan-Mu. Kami datang untuk-Mu, tiada sekutu bagi-Mu. Sesungguhnya segala pujian, kenikmatan, dan kekuasaan hanya milik-Mu semata. Tiada sekutu bagi-Mu”.
Sejak terjadinya janji suci (aqad) dengan Tuhan sebelum memulai perjalanan sucinya di bumi ini manusia sadar bahwa perjalanan itu adalah panggilan suci. Panggilan untuk melakukan ubudiyah (pengabdian) hanya kepada-Nya.
Firman-Nya: “Tidaklah aku menciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah (mengabdi kepada-Ku) (Alquran).
Demikianlah dengan perjalanan suci ini. Semuanya dimulai dengan janji suci pula dan untuk tujuan suci: laa syariika lak. Ungkapan ketauhidan sejati. Bahwa perjalanan hidup ini bukan untuk siapa-siapa. Tapi untuk Dia yang telah mencintai langit dan bumi. Untuk Rabbul alamin.
ADVERTISEMENT

Tawaf

Umat Islam melakukan Tawaf keliling Kakbah sebagai bagian dari pelaksanaan ibadah Umroh di Masjidil Haram, Makkah Al Mukarramah, Arab Saudi. Foto: Antara/Aji Styawan
Setiba di Makkah, jemaah akan melakukan Tawaf. Jika melakukan haji Ifrad maka dia akan melakukan Tawaf qudum. Jika qiran, maka akan melakukan tawaf umrah dan haji sekaligus. Tapi jika melakukan haji tamattu’ maka mereka akan melakukan Tawaf Umrah.
Tawaf substansinya memutari Kakbah. Kakbah adalah pusat pengabdian. Di arah inilah wajah-wajah ubbaad (para penyembah) mengarah. "Fawalli wajhaka syatral masjidil haram".
Tawaf sesungguhnya merupakan simbolisasi dari perjalanan hidup yang berkeliling. Segala sesuatu di alam semesta ini berputar. "Wa kullun fii falakin yasbahuun". (Semua di alam semesta ini Bergerak/berputar). Planet bumi, bulan, bintang-bintang semuanya berputar.
Siang malam juga berputar. Musim juga demikian. Bahkan keadaan hidup manusia demikian. Berputar dari masa kanak-kanak, remaja dan pemuda, menjadi tua. Lalu akan tiba masa kembali lagi bagaikan kanak-kanak yang tidak mengenal apa-apa.
ADVERTISEMENT
Jika tidak mencapai situasi itu, maka perputaran membawanya ke alam lain. Alam kubur untuk menjadi transit place sebelum bertolak ke kediaman abadinya.
Suasana di Jabal Rahmah, Mekkah. Foto: Denny Armandhanu/kumparan
Tawaf juga merupakan simbolisasi dari hiruk pikuk perputaran hidup manusia. Bahwa manusia dalam hidupnya berputar. Naik turun, ke timur ke barat, selatan ke utara.
Berputar dari sebuah situasi ke situasi yang lain. Sehat sakit, kaya miskin, terhormat terhinakan. Hidup kadang membuatnya gembira. Tapi juga membawanya ke alam kesedihan.
Dalam proses berputar sekitar Kakbah itu ada satu hal yang harus menjadi catatan. Kakbah harus berada di pusat perputarannya. Kakbah adalah simbolisasi kebesaran dan kekuasaan Tuhan. Jika ditarik ke kehidupan nyata, perputaran atau perjalanan hidup harus selalu menjadikan Allah sebagai pusat pergerakannya.
ADVERTISEMENT
Inilah yang tergambarkan dalam Ikrar ubudiyah: "Katakan, sesungguhnya salat, pengorbananku, kehidupan, dan kematianku untuk Allah, Tuhan semesta alam. Tiada sekutu bagi-Nya".
Atau dalam bahasa hajinya Allah: "Labbaik allahumma Labbaik...dan seterusnya".
Sa’i (bersambung).....
Makkah, 8 Agustus 2019
* Presiden Nusantara Foundation