Hajj Journey 15: Haji Itu adalah Arafah

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
15 Agustus 2019 4:30 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Menyampaikan Khutbah Wukuf di Arafah. Foto: Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Menyampaikan Khutbah Wukuf di Arafah. Foto: Istimewa
ADVERTISEMENT
Pada segala sesuatu ada yang paling mendasar dan menentukan. Bahkan menjadi identitas khusus dari sesuatu itu. Dengannya sesuatu itu teridentifikasi.
ADVERTISEMENT
Tampaknya ibadah haji secara khusus teridentifikasi dengan ritual wukuf di Arafah. Ini yang kemudian menjadikan baginda Rasul SAW bersabda: “Haji itu adalah Arafah”.
Arafah menjadi sangat penting dan mendasar karena dengannya manusia akan tersadarkan. Manusia yang gagal Arafah (sadar) adalah manusia yang “lalai”, yang akan dengan mudah dikendalikan oleh diri dan alam sekitarnya.
Konon, awal penamaan Arafah itu karena di sanalah awal keyakinan Ibrahim AS tentang perintah Tuhan untuk menyembelih anaknya. Keyakinan tertinggi tentang sesuatu, khususnya dalam ilmu ladunni, disebut “ma’rifat”.
Olehnya, ketika Ibrahim telah sampai pada tingkatan keyakinan itu, bahwa Tuhan memang menyembelih anaknya, maka hal itu dinamai “ma’rifat”. Dan kebetulan, keyakinan penuh itu terjadi di saat beliau berada di padang luas itu. Alhasil dinamailah padang itu Padang Arafah.
ADVERTISEMENT
Versi lain dari penamaan ini adalah bahwa ketika Adam AS dan Hawa diturunkan ke bumi ini mereka terpisah. Mereka saling mencari dan akhirnya ketemu dan saling mengenal sebagai manusia di bumi ini. Pertemuan inilah yang menjadi dasar penamaan Arafah.
Pendapat lain mengaitkan kata "Arafah" dengan kesalahan Adam AS memakan buah terlarang. Ketika turun ke atas dunia ini Adam AS diingatkan oleh malaikat agar mengakui kesalahannya itu.
Itulah yang kemudian diekspresikan oleh Adam AS, sebagaimana disebutkan Alquran: “Wahai Tuhan kami. Sesungguhnya kami telah menzalimi diri sendiri. Maka jika Engkau tidak mengampuni dan merahmati kami maka kami telah termasuk orang-orang yang merugi”.
Kata “mengakui” dalam Bahasa Arab dikenal dengan istilah “I’tiraaf” atau "pengakuan". Tempat mengakui dosa inilah yang disebut Arafah.
Jemaah haji berdoa ketika melaksanakan wukuf di Arafah. Foto: Darmawan/Media Center Haji
Terlepas dari mana yang paling akurat dari ketiga klaim itu, Arafah memang tempat di mana keaslian jati diri manusia harus ditemukan kembali. Jati diri itu adalah tabiat dasar manusia yang lebih dikenal dengan "fitrah" manusia.
ADVERTISEMENT
Ketika fitrah manusia tidak tersembunyi oleh ragam najis-najis di duniawi, termasuk hawa nafsu sendiri, maka hidup manusia akan alami dan sesuai. Namun ketika fitrah itu tertutupi oleh berbagai hijab (penutup), termasuk kebodohan dan keangkuhan, maka hidup manusia akan keluar dari jalan yang sesungguhnya.
Di sanalah kemudian, manusia melakukan berbagai deviasi hidup. Bagaikan orang sakit, bahkan mengalami gangguan mentalitas dan pemikiran. Tidak berlebihan jika manusia yang fitrahnya tertimbun kotoran-kotoran tadi dapat dikatakan sedang mengalami state of craziness (situasi gila).
Dunia yang dihuni oleh manusia seperti inilah yang berubah menjadi dunia gila. Berbagai kezaliman terjadi, perusakan, pembantaian, dan pemusnahan hidup manusia menjadi seolah barang lumrah dalam dunia yang gila itu.
ADVERTISEMENT
Bahkan yang baik cenderung dipandang buruk. Sebaliknya, yang buruk dipandang baik. Manis dan pahitnya hidup tidak lagi diukur dengan ukuran kedamaian batin. Namun terbawa arus ombak pergerakan dunia itu sendiri.
Singkatnya, ketika fitrah tersembunyi (hidden) maka hidup manusia menjadi semrawut atau kacau (messy). Di sinilah kemudian ajaran agama hadir untuk mengembalikan hidup yang kacau itu ke hidup yang teratur. Wajar, jika salah satu makna “diin” adalah aturan.
Singkatnya, wukuf di Arafah adalah momen “menemukan kembali” (discovery) jati diri manusia. Dan jalan untuk menemukan jati diri itu ada pada penemuan “kefitrahan “ manusia. Kefitrahan yang secara fundamental terbangun di atas “ketauhidan”. Sehingga dzikir terafdhol di hari Arafah adalah: “Laa ilaaha illallah wahdahu laa syariika lahu. Lahul mulku walahul hamdu wa huwa alaa killi syaein Qadiir”.
ADVERTISEMENT
Dengan menemukan jati diri manusia menemukan Tuhan. Dengan menemukan Tuhan manusia kembali berada pada jalan hidupnya yang alami.
Jemaah haji memadati Padang Arafah untuk melaksanakan wukuf. Foto: AFP/FETHI BELAID
Tapi kehidupan alami itu bukan tidak ada tantangannya. Iblis dan bala tentaranya telah bertekad untuk kembali menggelincirkan manusia dari jalan hidup yang sejati itu.
Itu yang kemudian mengharuskan semua jemaah untuk selalu bersiap-siap untuk melakukan perlawanan dan peperangan melawan Iblis dan tentaranya. Maka prosesi selanjutnya, Muzdalifah dan Mina, semuanya menggambarkan tekad perang dan perlawanan itu. (Bersambung).
Al-Haram, 14 Agustus 2019
Imam Shamsi Ali
Pesantren Al-Hikmah dan pengajian bulanan.