Hajj Journey 3: Ikhtiar Menunaikan Kewajiban

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
22 Juli 2019 4:23 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi. Foto: ANTARA FOTO/Hani Sofia
zoom-in-whitePerbesar
Masjidil Haram, Mekkah, Arab Saudi. Foto: ANTARA FOTO/Hani Sofia
ADVERTISEMENT
Telah menjadi kesepakatan ummah bahwa haji merupakan kewajiban bagi seluruh orang beragama Islam yang telah memenuhi persyaratan kewajibannya.
ADVERTISEMENT
Terdahulu, telah disebutkan dalam ayat Alquran: ”dan bagi Allah atas manusia untuk melakukan haji ke Baitullah bagi siapa yang mampu melakukannya”.
Bahkan lebih jauh, Rasulullah saw menetapkan ibadah haji sebagai salah satu dari lima rukun Islam: ”Islam didirikan di atas lima dasar: syahadah bahwa tiada Tuhan selain Allah dan Muhammad adalah Rasul Allah, mendirikan salat, mengeluarkan zakat, puasa Ramadan, dan berhaji ke Baitullah bagi siapa yang mampu”.
Oleh karena merupakan kewajiban sekaligus rukun agama, semua umat sepakat untuk menunaikannya. Bahkan, melakukan ibadah haji menjadi impian semua umat.
Pada masa lalu, menunaikan ibadah haji itu bahkan dilabeli sebagai 'panggilan' khusus. Sebagian orang yang tidak atau belum menunaikan haji menjadikan hal ini sebagai alasan. ”Ah belum ada panggilan”, kata mereka.
ADVERTISEMENT
Juga menjadi konsensus (ijma’) para ulama jika haji itu kewajibannya hanya sekali dalam hidup. Artinya, kewajibannya menjadi selesai ketika melakukannya pertain kali. Kalau pun seseorang melakukan haji berkali-kali setelah itu, maka hajinya bukan sebuah kewajiban. Melainkan ibadah sunnah yang mendapat pahala dari sisi-Nya.
Ketika perintah haji disampaikan kepada para sahabat, mereka lalu bertanya: ”apakah setiap tahun ya rasul?"
Ditanya seperti itu beliau diam. Ditanya lagi hal yang sama tapi beliau diam. Hingga pada pertanyaan ketiga beliau menjawab: ”kalau saja saya katakan iya, maka telah wajib atasmu setiap tahun”.
Karenanya, beliau diam untuk menegaskan bahwa sebuah perintah yang jelas jangan lagi dipertanyakan. Sebab, akibatnya bisa menjadi lebih rumit dan membebankan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena kewajiban haji hanya sekali, pertanyaan yang kemudian timbul adalah apakah harus segera melakukan kewajiban itu? Atau kapan saja selama masih hidup?
Dengan kata lain, bolehkah kewajiban haji itu ditunda hingga akhir-akhir kehidupan atau hingga di usia tua nanti?
Ternyata jawabannya tegas. Semua ulama sepakat bahwa kewajiban haji harus dilakukan sesegera mungkin jika ”syarat-syarat kewajiban” itu telah terpenuhi.
Yang membolehkan penundaan pelaksanaan kewajiban haji hanya Imam Syafi’i. Itu pun dengan sebuah persyaratan. Bahwa orang yang menunda menunaikan ibadah haji, padahal sudah memenuhi syaratnya, harus yakin untuk tidak mati hingga dia melaksanakannya.
Persyaratan ini sesungguhnya adalah persyaratan penegasan saja. Bahwa kalau dia sudah mampu, tapi tetap tidak melaksanakannya dan mati maka dia akan mati dalam keadaan dosa besar. Bahkan matinya dimiripkan sebagai mati dalam keadaan ”nashora atau yahudian”.
ADVERTISEMENT
Kembali kepada syarat-syarat kewajiban haji di atas, para ulama menyebutkan lima syarat wajibnya haji atas seseorang.
Pertama, bahwa orang itu memang beragama Islam.
Kedua, orang tersebut balig (pada lelaki ditandai dengan mimpi basah biasanya. Pada wanita ditandai dengan datangnya haid pertama).
Ketiga, yang bersangkutan berakal sehat.
Ketiga syarat di atas menjadi syarat semua ibadah dalam Islam. Non-muslim, anak-anak di bawah umur, dan yang sedang gila tidak diwajibkan melaksanakan ibadah dalam Islam.
Lalu, syarat lain dari kewajiban haji adalah bahwa yang bersangkutan adalah orang merdeka. Pada masa lalu, aturan ini merupakan ”rahmah” bagi para budak yang menjadi muslim. Sebab, mereka masih dalam kepemilikan tuannya, dan itu tidak memungkinkan mereka untuk melakukannya.
ADVERTISEMENT
Dan yang terakhir sekali adalah bahwa yang bersangkutan memang memiliki isthitho’ah, yaitu memiliki kemampuan untuk melaksanakannya. Dalam hadis-hadis ditegaskan dua hal tentang kemampuan ini.
Pertama, adalah menyangkut perjalananan (rahilah) atau bisakah seseorang itu sampai ke sana?
Pada masa lalu, ini menyangkut unta, kuda, atau kemampuan berjalan hingga sampai ke Tanah Suci. Ini saya yakin alat transportasi. Jika dibawa ke ranah faktualnya, maka mampukah yang bersangkutan membeli tiket pesawat?
Kedua, menyangkut perbekalan (zaad). Saya yakin semua ini masuk dalam kategori ONH (Ongkos Naik Haji). Ujung-ujungnya juga adalah apakah uangnya tersedia atau tidak.
Dalam hal istitho’ah ini memang banyak yang menjadi pertanyaan terkait. Misalnya, bagaimana jika masih ada utang? Apalagi utang itu adalah utang ansuran bayar membeli rumah bulanan atau mortgage?
ADVERTISEMENT
Hal itu akan dibahas pada masanya. Tapi intinya adalah kewajjban haji adalah mask dalam kewajiban utama Islam. Dan hendaknya segera dilakukan jika persyaratan wajibnya telah terpenuhi.
Pertanyaan yang terkait barangkali, khususnya yang dari negara mayoritas muslim seperti Indonesia adalah masalah kuota.
Dengan aturan kuota dari Pemerintah Arab Saudi, bagaimana yang terjadwal berangkat 20 tahun mendatang tapi meninggal sebelum berangkat?
Jawabannya, dia sudah terlepas dari kewajiban haji. Karena sejak mendaftar dia sudah berniat melaksanakan kewajibannya. Tapi karena satu dan lain hal, yang bersangkutan belum sempat. Namun, niatnya sudah dihitung sebagai haji di sisi Allah swt.
Semoga Allah mengaruniai haji mabrur bagi mereka yang berhaji. Aamiin.
(bersambung....)
New York, 21 Juli 2019
ADVERTISEMENT
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation dan Pembimbing Jemaah Haji Nusantara USA