⁠⁠⁠Intolerankah Indonesia?

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
3 Mei 2017 8:33 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi bendera Amerika Serikat (Foto: Pixabay)
Ada beberapa teman yang ingin saya untuk menyudutkan—tepatnya memburuk-burukkan Indonesia karena hasil Pilkada Jakarta dan berbagai hiruk-pikuk yang terkait dengannya. Teman-teman ingin saya untuk mempropagandakan jika Indonesia saat ini berada di jurang radikalisme yang boleh saja akan berakhir tragis seperti Irak dan Suriah.
ADVERTISEMENT
Propaganda tentang Indonesia krisis radikalisme saya dengar di mana-mana. Ketika berada di Indonesia saya mendengar jika Amerika itu adalah musuh utama Islam. Saya berkali-kali mendengarkan hal seperti itu di berbagai diskusi, bahkan diskusi yang layaknya cendekia seperti di think tank, universitas, dan kelompok cendekia lainnya.
Sejak zaman presiden Bush Jr., presiden yang memulai "so called war on terror" dengan menyerang Afghanistan lalu Irak. Presiden yang memporak-porandakan negara lain karena nafsu perangnya. Sejak saat itu, saya selalu membela Amerika sebagai negara toleran. Gesekan-gesekan sosial yang terjadi itu adalah fenomena wajar dalam perjalanan sebuah bangsa. Bahkan, saya pernah dicurigai oleh sebagian teman-teman Muslim jika saya punya kepentingan membela Amerika. Karena di mana saja di dunia ini saya ditanya tentang Amerika, saya tetap membela jika Amerika adalah negara yang toleran. Sempurnahkah? Tentu tidak!
ADVERTISEMENT
Lalu, apa alasan saya membela Amerika sebagai negara toleran? Alasannya sederhana—karena Amerika masih menjadikan hukum sebagai "acuan kehidupan publik".
Tapi, apakah dengan itu tidak ada diskriminasi-diskriminasi terhadap minoritas? Jawabannya pasti banyak.
Lalu, kenapa saya masih bersikukuh mempertahankan jika Amerika adalah negara toleran? Jawabannya karena kasus-kasus itu bukan representasi dari negara atau institusi kenegaraan. Pelakunya masih kemungkinan besar mendapatkan ganjarannya. Sebaliknya, korban diskriminasi-diskriminasi itu masih merasakan pembelaan hukum.
Bahkan di saat diskiriminasi itu datang dari Gedung Putih—saya belum mengatakan Amerika itu anti Islam selama hukum masih berada di atas kepala presidennya. Itulah yang menjadikan beberapa kali executive order Donald Trump dibatalkan oleh hakim tinggi di Amerika. Artinya hukum masih hidup dan berfungsi seperti yang diharapkan.
ADVERTISEMENT
Mungkin suatu ketika saya bisa berubah pandangan di saat hukum menjadi impoten alias tidak bisa tegak lagi. Kalau hukum sudah lumpuh, maka baik penguasa maupun rakyat akan melakukan apa saja sesuai dorongan hawa nafsunya. Dan jika ini terjadi di Amerika, saya tidak akan ragu mendeklarasikannya sebagai negara yang diskriminatif dan anti Islam.
Toleransi (Foto: JohnHain/Pixabay)
Toleransi Indonesia Toleransi di Indonesia bukan hal yang baru. Indonesia dengan segala kekurangannya memiliki sejarah panjang toleransi. Memang diakui bahwa dalam perjalanannya sekali-sekali mengalami pasang surut, bahkan pada titik nadir yang terendah. Tapi, jangan lupa toleransi itu tidak hanya diperlukan di saat mayoritas kuat. Beberapa kali justru intoleransi terjadi di saat minoritas di atas angin. Ini bukan sesuatu yang memerlukan penjabaran karena memang itulah fakta sejarah panjang perjalanan bangsa ini—khususnya dalam dekade pertengahan orde baru.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana berulang-ulang disebutkan bahwa toleransi itu adalah "darah daging" bahkan "nafas" kehidupan Nusantara. Jika karena satu dan lain hal terjadi sikap intoleran, maka itu bukan wajah Nusantara yang sejati. Itu adalah "deviasi" dari kehidupan Nusantara yang sesungguhnya.
Indonesia masih utuh dalam kesatuan kebhinekaan hampir dalam segala aspek kehidupan, artinya menunjukkan tabiat bangsa ini mendukung akan hal itu. Salah satu tabiat yang mendukung adalah karakter toleransi yang tinggi.
Sejak awal memperjuangkan kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah asing, termasuk Belanda, Portugis, dan Jepang, bangsa Indonesia berjuang, walaupun dengan semangat keberagamaan dengan pekik "Allahu Akbar" misalnya, namun kita kenal bahwa perjuangan mereka bukan untuk kepentingan kelompok.
ADVERTISEMENT
Tapi, demi kemerdekaan bangsa dan negara Indonesia dari Sabang sampai Merauke dengan ragam manusianya.
Saat persiapan membentuk institusi negara—yang kita tahu sebagai bentuk negara Indonesia ke depan dan selamanya—tokoh-tokoh Islam juga mengedepankan toleransi dengan mengakomodir realita bangsa yang beragam. Pada akhirnya, lahirlah Pancasila dan UUD 45 yang menunjukkan toleransi tinggi dari bangsa Indonesia sejak saat itu. Dan sejak saat itu pula bangsa Indonesia hidup dalam NKRI secara damai dan rukun. Dalam perjalanannya pilar berbangsa dan bernegara tetap menjadi pijakan kehidupan masyarakat. Kehidupan berbangsa didasarkan kepada kedua pijakan itu (Pancasila dan UUD 45) dan diterjemahkan berdasarkan kepada pemahaman masing-masing kelompok dalam rumah Indonesia tanpa mengganggu, apalagi mencabut pilar yang telah disepakati bersama itu.
ADVERTISEMENT
Komitmen terhadap pilar kebangsaan dan bernegara itu, walaupun dipahami berdasarkan ragam kelompok yang ada, sesungguhnya dimungkinkan oleh karakter toleran itu. Maka, umat Islam bisa memahami sila Ketuhanan Yang Maha Esa dengan konsep tauhid agama Islam. Sebaliknya, pasal yang sama memungkinkan untuk dipahami berdasarkan konsep iman saudara-saudara sebangsa kita yang beragama lain.
Demikianlah perjalanan bangsa ini dari masa ke masa. Ada dinamika sosial yang terjadi. Hubungan horizonal kebangsaan mengalami pasang surut, kadang sangat harmoni dan kadang pula sebaliknya. Tidak jarang terjadi gesekan-gesekan, bahkan pada tingkatan yang cukup menegangkan.
Salah satu masa-masa yang menegangkan itu adalah pada 80-an, di mana umat Islam mengalami represi yang cukup kuat. Secara ekonomi mereka dianaktirikan, secara sosial keagamaan juga mereka ditekan. Ada pelarangan berjilbab bagi wanita-wanita di sekolah umum. Bahkan ceramah para ustaz juga dimonitor oleh rezim orde baru. Dan bukan rahasia umum lagi bahwa kekuatan di balik dari kebijakan represi itu adalah kelompok tertentu.
ADVERTISEMENT
Barulah kemudian pada awal 90-an umat kembali mendapat angin segar. Dimulai dari berdirinya ICMI di bawah kepemimpinan Prof. Dr. BJ Habibie, mulai tumbuh dedaunan menyambut semi kebangkitan umat Islam. Istilah penghijauan pun menjadi tren saat itu.
Singkat kata, berbicara tentang toleransi di Indonesia bukanlah hal yang baru. Tapi darah perjalanan sejarah bangsa dan sekaligus nafas kehidupannya yang terjadi adalah—kadang karena udara atau karena faktor lainnya—darah itu menjadi kotor dan nafas menjadi terganggu. Tapi apapun itu, Indonesia hidup karena karakternya yang toleran. Dan ini harus menjadi harga mati. Bahwa toleransi bagi Indonesia adalah kehidupan dan mutlak dipertahankan untuk menjaga hidup Indonesia itu sendiri.
Masalahnya kemudian, dan semoga saya salah, ketika toleransi dipahami sebagai landasan kepentingan tertentu. Ketika sebuah aksi atau reaksi terjadi dan menguntungkan kelompok kita, kita bangga dan di mana-mana berkoar dengan kebanggaan itu. Tapi di saat ada aksi atau reaksi itu dianggap kurang menguntungkan kelompok kita maka bangsa dan negara ini tidak tanggung-tanggung dan enteng kita rusak, minimal merusak nama baiknya di dunia internasional.
ADVERTISEMENT
Tidak jarang pula ketika kelompok kita melakukan tindakan anarkis dan separatis, walau itu jelas merusak tatanan NKRI, kita diam seribu bahasa. Dan di saat pemerintah Indonesia melakukan reaksi demi menjaga NKRI, tidak sungkan-sungkan pula kita promosikan Indonesia sebagai negara pelanggar HAM.
Di sinilah saya yang selama ini berusaha membangun hubungan dan dialog dengan semua orang, bahkan dengan kelompok yang sebagian umat Islam dianggap musuh abadi, saya menjadi curiga.
Jangan-jangan kata toleransi itu memang hanya dimaksudkan untuk kelompok tertentu? Wallahu a'lam!
*Presiden Nusantara Foundation.