Kebangkitan Radikalisme Warga Putih dan Peranan Indonesia

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
1 April 2019 9:35 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Potret peringatan korban penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru, Jumat, (29/3). Foto: REUTERS/Edgar Su
zoom-in-whitePerbesar
Potret peringatan korban penembakan masjid di Christchurch, Selandia Baru, Jumat, (29/3). Foto: REUTERS/Edgar Su
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun terakhir kecenderungan meningginya radikalisme dunia, bahkan terorisme global (global terrorism), mengalami perubahan demografik. Dari radikalisme dan terorisme Asia Afrika, khususnya Timur Tengah dan Asia Selatan, dengan pelaku yang berkulit non-putih ke radikalisme dan terorisme Barat dengan pelaku yang berkulit putih (white terrorism).
ADVERTISEMENT
Kecenderungan ini semakin meninggi sejak terpilihnya beberapa petinggi negara dari kalangan yang minimal memiliki "sentimen" yang sama dengan kaum radikal dan teroris putih itu. Bahkan dicurigai jika memang jadi bagian atau minimal memiliki kepentingan dengan kelompok mereka.
Amerika Serikat misalnya, sejak terpilihnya Donald Trump menjadi presiden negara super power ini mengalami kecelakaan “homegrown extremism and terrorism” yang luar biasa. Artinya bahwa dalam dua tahun terakhir pasca-terpilihnya Donald Trump radikalisme dan terorisme lokal naik 100 persen.
Istilah “homegrown extremism” ini pernah menjadi sebuah istilah populer yang menjadikan umat Islam sebagai target. Di tahun 2011 lalu, misalnya, NYPD (New York Police Department) melakukan sebuah report atau pelaporan umum dengan sebuah kesimpulan bahwa “homegrown extremism” menjadi masalah utama yang dihadapi oleh pihak keamanan New York dan Amerika. Dan homegrown extremism yang dimaksud di sini adalah anak-anak muda komunitas muslim dari kalangan generasi kedua (second generation).
ADVERTISEMENT
Dunia terbalik. Sekarang justru istilah itu membidik orang-orang Amerika yang merasa asli Amerika dari kalangan warga putih (white Americans). Merekalah yang dalam tahun-tahun terakhir, khususnya sejak Donald Trump memulai kampanye dengan tema “to make America great again” yang terjangkiti racun radikalisme yang cukup parah.
Di tahun 2017 misalnya dari 380 kasus pembunuhan massal (korban lebih dari 2 orang) 270 lebih dilakukan oleh mereka yang berafiliasi ke kelompok yang menamai diri sebagai “White Nationalist” atau “White Supremacy”. Mereka adalah kelompok radikal dan teroris yang memiliki pandangan bahwa warga dunia berkulit putih, atau lebih spesifik lagi mereka yang keturunan Eropa, memiliki keutamaan-keutamaan dari bangsa lain. Dan keutamaan-keutamaan itu didasarkan kepada batasan ras atau dalam bahasa yang lebih populer dengan “rasisme”.
ADVERTISEMENT
Ancaman Global
Segala fakta mengatakan bahwa kebangkitan “White Nationalist” atau “White Supremacy”, khususnya dengan dukungan kekuasaan di beberapa negara, termasuk Amerika menjadi sebuah ancaman global dunia saat ini.
Beberapa waktu sebelum melakukan serangan teror yang menyebabkan kematian lebih 50 orang dan puluhan lainnya luka-luka lainnya, teroris putih berkebangsaan Australia itu pernah berkunjung ke Eropa dan mengadakan pertemuan dengan koleganya di Eropa. Bahkan baru saja ditemukan bahwa sang teroris tersebut mendapat suntikan dana untuk melancarkan aksinya dari beberapa organisasi “like minded” (sama ideologi) di Eropa dan Amerika.
Mungkin yang paling berbahaya adalah kenyataan bahwa mereka adalah orang-orang yang mapan secara sosio-ekonomi dan tentunya berada pada posisi yang didukung oleh kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Ini tentunya berbeda dengan kelompok teroris lainnya seperti ISIS. Mereka ini rata-rata berada pada kelas bawah, yang umumnya menjadi korban iming-iming solusi instan dari masalah sosio-ekonomi yang dihadapinya.
Tapi yang lebih penting jelas ISIS misalnya berada di pihak oposisi kekuasaan. Sehingga sudah pasti berada dalam posisi tersisihkan. Dan tidak mungkin memiliki akses ke “power privileges” (fasilitas-fasilitas kekuasaan).
Dari semua fakta di atas Presiden Amerika Serikat, Mr. Donald Trump, belum bersedia mengakui bahwa kebangkitan White Supremacy saat ini adalah ancaman global. Bahkan dinilainya sebagai sekedar kasus-kasus sporadis yang dilakukan oleh segelintir orang.
Padahal perbandingan antara pembunuhan yang dilakukan oleh pihak non-White, itu termasuk warga Muslim, warga kulit hitam, Hispanic dan lainnya jauh lebih sedikit dibandingkan yang dilakukan oleh mereka yang berkulit putih dengan inspirasi White Nationalism.
ADVERTISEMENT
Inilah yang selalu saya kumandangkan di mana-mana. Bahwa kemunafikan paling nyata dalam dunia modern saat ini adalah pandangan diskriminatif terhadap kejahatan terorisme. Jika dilakukan oleh seseorang atau sekelompok orang yang bukan dari kita maka dengan lantang dinyatakan sebagai “terorisme”. Tapi jika dilakukan oleh seseorang atau kelompok orang yang menjadi bagian dari afiliasi kita maka kita cenderung berkelik mencari istilah-istilah yang bisa menutupi kejahatan itu.
Inilah salah satu alasan kenapa New Zealand dan Perdana Menterinya patut mendapat penghargaan dan penghormatan tinggi dari dunia. Bahkan saya menganjurkan pemimpin dunia lainnya, termasuk Donald Trump, untuk belajar dari wanita muda dan relatif baru terpilih sebagai perdana menteri itu. Beliau telah memperlihatkan kredibilitas dan kualitas seorang pemimpin sejati.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi secara murni (genuine), tanpa diada-ada untuk kepentingan politik sesaat, beliau merangkul para korban. Dan kejujuran hati itu tidak saja merangkul warga muslim New Zealand. Tapi juga muslim di seluruh penjuru dunia. Bahkan rangkulan (embrace) itu dirasakan oleh seluruh sudut-sudut dunia.
Barangkali itulah yang memotivasi umat Islam untuk membangun komitmen keislaman yang sejati. Islam yang damai, santun dan penuh maaf. Yang dengannya dunia menjadi guncang dengan akhlak karimahnya.
Dan di sisi lain beliau tanpa ragu dan pertimbangan apapun menyebut pembunuhan itu sebagai terorisme. Bahkan tidak tanggung-tanggung beliau menyerukan kepada dunia untuk melakukan peperangan global terhadap rasisme dunia.
Tanggung Jawab Indonesia
Kali ini saya ingin sepintas menyoroti Indonesia dan kira-kira peranan apa saja yang bisa dimainkan untuk merespons atau meminimalisir dampak negatif dari meningginya ekstremisme kaum putih ini.
ADVERTISEMENT
Saya secara khusus menyoroti Indonesia, selain tentunya karena kedekatan jiwa (my motherland), juga karena sesungguhnya Indonesia memiliki semua potensi untuk merespons dan mengekang dampak destruktif dan bahaya laten White Supremacy ini.
Saya katakan Indonesia memilki semua potensi karena Indonesia adalah negara besar dan hebat. Indonesia besar secara geografis, hampir saja bersaingan dengan Amerika Serikat. Negara yang luasnya luar biasa itu juga dikaruniai oleh kekayaan alam (SDA) yang dahsyat, baik di darat maupun di laut.
Indonesia juga besar dengan penduduknya. Tidak saja bahwa Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar keempat dunia. Tapi juga Indonesia memiliki SDM yang tidak kalah dari orang lain di dunia.
Indonesia besar juga karena negara ini adalah negara demokrasi ketiga dunia. Bahkan dari tingkat semangat dan partisipasi politik Indonesia sejatinya adalah demokrasi terbesar dunia.
ADVERTISEMENT
Dan yang lebih unik lagi adalah Indonesia sebagai negara Muslim terbesar dunia mampu mengawinkan antara Islam dan nilai-nilai peradaban modern, termasuk demokrasi, penghormatan HAM, penghormatan wanita dan perlindungan kepada kelompok-kelompok minoritas.
Lalu Apa Hubungannya dengan White Supremacy?
Jawabannya adalah Indonesia memang sedang dinanti. Atau lebih tepatnya tertantang untuk mengambil langkah-langkah yang sesuai dan efektif dalam merespons kecenderungan meningginya extremisme kaum putih. Dengan semua modal yang disebutkan di atas Indonesia mampu melakukan itu.
Sejarahnya memang demikian. Di saat-saat terjadi Krisis Dunia, Indonesia akan mengambil kendali dan melakukan terobosan. Pasca-kemenangan sekutu Barat dalam perang dunia kedua Indonesia menginisiasi persatuan negara-negara berkembang untuk mengimbangi kesewenang-wenangan kekuatan Barat saat itu. Itulah awal terbentuknya Gerakan Non Blok (Non Align Movement).
ADVERTISEMENT
Di saat-saat kekisruhan sosial dan komunal seperti saat ini, baik itu karena polarisasi agama, budaya, maupun etnis dan ras, Indonesia harusnya mampu melakukan terobosan. Sesuatu yang pada hakikatnya Indonesia punya modal untuk itu.
Sejujurnya sejak tragedi Nine Eleven, serangan teror yang menumbangkan simbol kapitalisme dunia saat itu ada harapan dunia, Amerika khususnya, ingin melihat Indonesia memainkan peranan signifikan. Saat itu negara-negara Muslim Timur Tengah dan Asia Selatan telah kehilangan kredibilitasnya untuk mewakili umat Islam dunia.
Sayangnya peluang itu berlalu tanpa kita lihat langkah dan sepak terjang Indonesia di dunia Internasional. Kita hanya bangga di mana-mana menyampaikan bahwa kita adalah negara Muslim terbesar. Kita bangga bahkan sedikit angkuh menyampaikan kepada dunia bahwa kita adalah bangsa Muslim terbesar yang moderat.
ADVERTISEMENT
Tapi ada sesuatu yang hilang (missing). Pertama, kebanggan sebagai negara dengan penduduk Muslim terbesar kerap menjadi slogan yang tidak substantif. Mereka yang mendakwahkan Indonesia sebagai negara Muslim terbesar, setengah hati bahkan kadang-kadang malu menjadikan Islam sebagai identitas bangsa dan negaranya.
Tapi yang lebih penting lagi bangsa ini bangsa kita sedang mengalami krisis percaya diri (self confidence). Bangsa ini sedang mengalami penyakit minder (inferiority complex) yang dahsyat. Sehingga kerap kali dalam menyuarakan kebenaran, ikut kepada flow (aliran) dunia, khususnya yang memiliki kekuatan (power).
Dan lebih tragis lagi, seringkali sikap mudzabdzabina (tidak menentu) itu dianggap berdasarkan konstitusi (UUD 45). Di UUD 45 disebutkan bahwa kebijakan luar negeri Indonesia adalah kebijakan yang tidak berpihak (non align). Atau yang lebih dikenal dengan kebijakan luar negeri “bebas aktif”.
ADVERTISEMENT
Tentu kita pahami betul latar belakang konteks sejarah dari kebijakan itu. Namun demikian kebijakan itu harusnya dipahami secara bijak. Kata “bebas” berarti tidak memihak dan terikat oleh kepentingan kelompok tertentu. Dan kata “aktif” harusnya dipahami sebagai tanggung jawab bangsa ini untuk selalu pro aktif mengambil langkah dan inisiatif dalam menjalankan kewajiban konstitusi untuk ikut serta dalam upaya membangun menjaga dan membangun keamanan dan ketertiban dunia.
Tapi semua ini kembali kepada kita semua. Semua anak-anak bangsa di segala lini kehidupan. Masanya menyadari bahwa kita adalah bangsa besar, punya sejarah besar, dan punya potensi besar. Karenanya menjadi tanggung jawab kolektif kita untuk melakukan apa saja untuk menghadapi ancaman dan bahaya laten dunia saat ini. Ancaman radikalisme dan terorisme kaum putih (White Supremacy). Semoga!
ADVERTISEMENT
---
Imam Shamsi Ali, Presiden Nusantara Foundation