Konsisten dengan Politik yang Bermoral

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
18 April 2019 18:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jari Pemilu. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
zoom-in-whitePerbesar
Jari Pemilu. Foto: ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
ADVERTISEMENT
Kemarin bangsa Indonesia telah melangsungkan pesta demokrasi lima tahunan. Sungguh membanggakan karena antusias warga yang luar biasa itu sekaligus menepis tuduhan jika Islam tidak sejalan, bahkan menolak demokrasi.
ADVERTISEMENT
Proses demokrasi yang telah lama berlangsung di negara ini, bagi saya sebagai dai di Amerika, tentu merupakan kebanggaan sekaligus modal dalam menyampaikan Islam yang sesungguhnya. Bahwa Islam bukan agama yang asing di hadapan demokrasi. Justru esensinya demokrasi merangkul 'nilai-nilai' keislaman.
Islam dan demokrasi ini sekaligus menjadi sesuatu yang harusnya dibanggakan dan membanggakan bangsa. Indonesia menjadi unik karena karakternya yang mampu mengawinkan antara demokrasi dan nilai-nilai agama (Islam). Sesuatu yang banyak negara gagal lakukan, terutama di dunia Islam.
Tapi mungkin yang patut juga dibanggakan adalah bahwa kesadaran politik bangsa Indonesia sekaligus sebagai negara Muslim terbesar dunia, tentu perilaku politik bangsa ini tidak terlepas dari nilai dan norma-norma ajaran Islam. Karenanya karakter politik bangsa ini berlandaskan akhlakul karimah (karakter mulia).
Ribuan umat muslim di Masjid Istiqlal. Foto: Iqbal Firdaus/kumparan
Berbicara tentang akhlak dalam perpolitikan atau politik yang bermoral, tentu banyak hal yang terkait. Tapi saya akan membatasi catatan singkat ini pada beberapa hal.
ADVERTISEMENT
Pertama, bahwa politik Islam itu tidak dibangun di atas hawa nafsu dan kerakusan kekuasaan. Karenanya proses yang berjalan tidak menghalalkan segala cara, termasuk kecurangan dan semacamnya. Kecurangan atau ketidakjujuran dalam proses hanya akan melukai keindahan akhlakul karimah dalam politik Islam itu sendiri.
Hal lain, berbagai hoaks dan kebohongan yang kerap dikembangkan di masa kampanye juga menyalahi nilai-nilai akhlakul karimah itu. Runyamnya, seringkali informasi-informasi bohong ini susah untuk diklarifikasi, khususnya di zaman keterbukaan media sosial. Akibatnya, masyarakat yang memang sedang mengalami emosi tinggi, tanpa sadar ikut terlibat dalam penyebarannya.
Kedua, akhlakul karimah dalam politik juga menjaga kita dalam keyakinan dasar bahwa kekuasaan itu adalah milik Allah SWT. Kekuasaan itu diberikan kepada siapa yang dikehendaki dan diambil kembali dari siapa Dia kehendaki. Allah muliakan (dengan kekuasaan itu) siapa yang Dia kehendaki dan hinakan (dengannya) siapa yang Dia kehendaki. Di tangan Allah lah terletak segala kebaikan dan Dia berkuasa atas segala sesuatu.
ADVERTISEMENT
Realita itu membangun 'karakter imbang' (balance) dalam perpolitikan. Di satu sisi bekerja keras untuk menang. Di sisi lain yakin bahwa kerja kerasnya itu tidak menentukan, hanya penyebab semata. Ketentuan itu tetap ada di tangan yang merajai langit dan bumi.
Ketiga, ketika yang merajai langit dan bumi telah menjatuhkan 'ketentuan-Nya', atau lazimnya dikenal dengan 'takdir' maka dengan sendirinya diterima sebagai keputusan terbaik.
Konsekuensi positif dari keimanan kepada “qadarullah” (ketentuan Allah) di atas menjadikan semua pihak menahan diri dari kekecewaan yang berlebihan. Apalagi pihak yang belum beruntung (menang), sudah pasti merasakan kekecewaan itu. Tapi dengan keimanan kepada ketentuan Allah maka hal tersebut dapat disikapi secara proporsional.
Keempat, akhlakul karimah dalam politik juga menuntut keberanian untuk “membenarkan” kesalahan-kesalahan yang ada dalam prosesnya.
ADVERTISEMENT
Karenanya jika ada ketidaklaziman yang terjadi, kecurangan misalnya, tentu dengan dorongan iman juga kesalahan-kesalahan itu harus diperbaiki. Usaha memperbaiki kesalahan-kesadaran itu bahkan melalui proses hukum sekalipun jika diperlukan.
Politik Islam itu orientasinya adalah “maslahah aammah” (public interest). Bukan kepentingan sempit, perorangan, atau kelompok. Bahkan pelaku politik dalam Islam berani mengorbankan kepentingan sempitnya demi kepentingan umum.
Di sinilah saya ingin sekaligus mengingatkan bahwa apapun realitanya (hasilnya) di hari-hari mendatang ini, kedamaian dan ketentraman Indonesia harus didahulukan. Bahwa adanya ketidaksesuaian dalam proses politik itu, jangan sampai justru mengorbankan kepentingan bangsa dan negara yang lebih besar.
Terakhir, hal lain yang harus dipastikan dalam politik yang ber-akhlakul karimah adalah aspek dakwahnya. Jangan sampai di satu sisi kita mengaku berpolitik secara Islam (islami), namun di sisi lain justru menampakkan perilaku yang tidak islami.
ADVERTISEMENT
Percayalah, tantangan dakwah terbesar saat ini bukan Islamophobia. Bukan kebencian dan permusuhan orang lain. Melainkan gagalnya umat ini merepresentasikan keindahan Islam dalam kehidupan. Termasuk di dalamnya dalam menyikapi dunia perpolitikan.
Semoga Allah menjaga bangsa dan negara ini. Memberikan pemimpin yang diridhoi oleh Nya yang mampu menjadi sopir yang mumpuni bagi mobil Indonesia yang mewah dan cantik ini. Amin!
Tanah Betawi, 18 April 2019
Putra bangsa di kota New York, AS.