Marriage is a Life Journey (2)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
14 Januari 2019 6:33 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pernikahan (Foto: Pexels)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pernikahan (Foto: Pexels)
ADVERTISEMENT
Pada bagian pertama telah disebutkan bahwa agar perkawinan sebagai life journey atau perjalanan hidup dapat solid dan sukses, maka dalam proses perjalanannya perlu dibangun pilar-pilar. Tiga dari beberapa pilar keberhasilannya telah disebutkan, kini saya sampaikan pilar-pilar lainnya:
ADVERTISEMENT
Keempat, bahwa perkawinan adalah a journey of partnership atau perjalanan kerja sama.
Jika kita kembali ke kata 'pasangan' dalam Bahasa Arab, tentu kata ini saja sudah cukup mewakili makna tersebut. Pasangan dalam Bahasa Arab disebut zauj. Kata zauj adalah sebuah penggambaran keterpautan atau keterkaitan. Bahwa zauj atau pasangan memang saling terkait dan terpaut.
Karenanya, perjalanan dalam menghadapi ragam 'naik turunnya' kehidupan memerlukan kebersamaan atau keserasian.
Untuk terbangunnya keserasian itu ada satu hal yang sangat mendasar bagi keduanya untuk disadari. Hal itu adalah tawadhu’ alias rendah hati (humbleness). Sebuah karakter yang bernilai tinggi (valuable) dalam hidup manusia.
Tawadhu’ itu sesungguhnya memiliki dua sisi. Sisi pertama adalah pengakuan atau acknowledgment bahwa pada masing-masing pihak dalam pasangan itu tidak sempurna dan memiliki banyak kekurangan (shortcomings). Karenanya, di sinilah pentingnya pasangan untuk hadir dan menyempurnakan ketidaksempurnaan itu.
ADVERTISEMENT
Sisi kedua adalah membangun kesadaran penuh bahwa pada pasangan masing-masing ada 'kelebihan' yang dapat diberikan (contribute) untuk menutupi kekurangan yang ada pada pasangannya.
Sikap tawadhu' inilah yang akan memastikan terjadinya 'kebersamaan' (partnership) yang solid dalam melanjutkan journey of life atau perjalanan hidup ini. Hilangnya kesadaran ini menjadikan kebersamaan ini menjadi rentang pecah dan terpisah.
Kelima, bahwa perkawinan itu adalah perjalanan untuk saling menyesuaikan (be fitting) sisi perbedaan yang ada di pasangan itu.
Pada bagian terdahulu, disebutkan bahwa perkawinan itu adalah a journey of learning atau perjalanan dalam proses belajar. Selain tentunya belajar mengelola keluarga, juga yang terpenting adalah belajar mengenal pasangan masing-masing.
ADVERTISEMENT
Belajar mengenal inilah yang kerap dikenal dengan ta’aruf yang pada umumnya masih disalahditafsirkan oleh anak muda zaman now sebagai 'pacaran'. Padahal, ta’aruf sejatinya bukan pacaran.
Ta’aruf adalah sebuah proses saling mengenal lebih jauh, lebih dalam dan detail tentang pasangan masing-masing. Dan itu hanya mungkin terjadi ketika setelah menikah. Dan proses ta’aruf ini akan untuk selamanya.
Tentu tujuan terutama dari saling belajar itu agar terjadi 'kesesuaian' (to be fitting). Pada aspek inilah, kita diingatkan sebuah ayat dalam Alquran: “Mereka adalah pakaian bagi kamu. Dan kamu adalah pakaian bagi mereka”.
Kata libaas (pakaian) ini memiliki banyak makna filosofis atau hikmah-hikmah yang dapat diambil. Tapi ada dua yang paling penting:
ADVERTISEMENT
1. Libaas atau pakaian hanya bisa bermafaat maksimal bila sesuai dengan ukuran yang memakainya. Ini penggambaran bahwa suami dan istri itu harus saling menyesuaikan diri.
Salah satu yang sering kali menjadi masalah dalam rumah tangga, misalnya, adalah ketika istri tidak mau menyesuaikan kebiasaan belanjanya dengan keadaan penghasilan suaminya. Betapa sering terjadi penyelewengan publik (korupsi) disebabkan oleh hal seperti ini.
2. Libaas atau pakaian tentunya juga secara mendasar berfungsi sebagai sitr (penutup). Karenanya, suami dan istri dalam kapasitasnya sebagai pakaian harusnya menempatkan diri masing-masing sebagai penutup kekurangan dan aib pasangannya.
Sayang, dalam dunia media sosial saat ini sungguh berat bagi masing-masing untuk saling menutupi, khususnya jika terjadi pertikaian, misalnya. Terkadang, di luar alam sadarnya masing-masing, mereka justru saling 'menelanjangi' di akun media sosial.
ADVERTISEMENT
Karenanya, perkawinan itu adalah proses hidup untuk saling menyesuaikan, saling menutupi sebagaimana fungsi pakaian. Jika tidak terjadi penyesuaian-penyesuaian itu, maka akan terjadi kepincangan panjang dalam kehidupan rumah tangga itu.
Keenam, bahwa perkawinan itu adalah a journey to face the challenge. Perkawinan itu adalah jalan menghadapi tantangan hidup.
Hidup itu memang identik dengan 'tantangan'. Intinya, manusia hidup untuk dicoba. Maka dari itu, sangat wajar jika hidup alaminya memang tantangan pada dirinya (a challenge in itself). “Dia-lah Allah Yang menciptakan mati dan hidup untuk menguji kamu, siapa di antara kamu yang terbaik dalam amal”. Demikian Alquran menegaskan.
ADVERTISEMENT
Oleh karena hidup ada tantangan atau cobaan (balaa), maka sudah pasti semua orang akan tertantang. Dan pastinya pula bahwa tantangan ini tidak mungkin dihindari selama hidup masih di kandung badan. Tantangan hidup hanya akan berakhir dengan berakhirnya hidup seseorang.
Yang dapat dilakukan manusia bukan melarikan diri dari tantangan, tetapi mencari cara yang lebih baik dan efektif dalam merespons. Itu sesunggguhnya makna: “Ayyukum ahsanu amal”. Kata amala berarti “cara merespon tantangan atau balaa” dalam hidup.
Di sinilah rahasia kenapa perkawinan menjadi fundamental dalam hidup manusia. Oleh karena tak seorang pun yang bisa saling membantu (ta’awun) dalam menghadapi tantangan hidup itu lebih dari pasangan masing-masing.
Kata orang: “pasangan (suami istri) itu adalah dua sisi mata uang”. Tanpa sisi lain uang tidak akan bernilai.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, di saat tantangan meninggi dalam hidup, dan itu terkadang rough (keras), kata orang Amerika, orang yang paling bisa meringankannya adalah pasangan hidup itu sendiri.
Di sinilah barangkali salah satu makna ketika Allah menyebutkan pasangan sebagai sumber 'ketentraman' atau ketenangan hidup. “Di antara tanda-tanda kebesaran Allah adalah dijadikannya pasangan dari diri-diri kamu untuk kamu mendapatkan 'sakinah' darinya”.
Rasulullah saw. dengan segala tantangan hidup dan tugas kerisalahan, kerap menemukan ketenangan itu di saat kembali ke rumah tangganya. Maka beliau dengan tegas menyatakan bahwa 'surga' (kepuasan, kebahagiaan, ketenangan) beliau temukan di rumahnya.
Baitii Jannatii (rumahku surgaku)", sabda baginda Rasulullah saw.
Ringkasnya, perkawinan itu sesungguhnya adalah perjalanan bersama dalam menghadapi sesuatu yang paling pasti dalam hidup. Yaitu tantangan hidup yang merupakan tabiat dasar hidup itu sendiri. Poin-poin terdahulu, seperti libaas atau zauj, semuanya menunjukkan urgensi pasangan dalam melanjutkan langkah dalam perjalanan hidup yang penuh tantangan itu.
ADVERTISEMENT
Di sinilah sering kali cara berpikir anak-anak muda zaman now terbalik. Disangkanya bahwa dengan menikah beban hidup akan semakin bertambah. Padahal, beban hidup itu sudah diukur berdasarkan kapasitas masing-masing manusia.
Menikah memang secara kuantitas menambah tanggungan hidup, tetapi bukan beban. Sebaliknya, menikah akan menambah energi dan kualitas dalam menjunjung tanggung jawab dan dalam menghadapi tantangan hidup itu.
Ketujuh, bahwa pernikahan itu adalah a journey of love. Sebuah perjalanan hidup dalam ikatan cinta kasih yang hakiki.
To be continued!
---
ADVERTISEMENT
Imam Shamsi Ali
Presiden Nusantara Foundation