news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Marriage is a Life Journey (4)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
20 Januari 2019 8:46 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi simbol cinta  (Foto: Getty Images)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi simbol cinta (Foto: Getty Images)
ADVERTISEMENT
Pada bagian sebelumnya disebutkan bahwa perkawinan itu adalah jalan hidup dalam cinta dan kasih sayang. Cinta dan kasih sayang itu bukan sesuatu yang didapatkan dari pinggir jalan. Tidak juga dibeli dari toko-toko emas di pasar-pasar. Bahkan bukan sesuatu yang diwariskan.
ADVERTISEMENT
Cinta adalah karunia Ilahi. Ketika seseorang merasakan cinta, maka itu adalah karunia dan kenikmatan. Karenanya hanya ada satu kata menyikapinya: syukur.
Syukur itu bermakna dua tingkatan. Pertama, perlu dipertahankan. Kedua, ditingkatkan. Karena dalam Islam syukur itu berwawasan nilai tambah. “La in syakartum la aziidannakum” (jika kamu bersyukur niscaya akan kutambahkan nikmat-Ku padamu”, pesan Allah dalam Alquran.
Maka idealnya, semakin lama sepasang bersama semakin kuat pula cinta kasihnya. Cinta yang dulunya karena motivasi-motivasi tertentu, kini menjadi motivasi tunggal untuk ridho-Nya. Cinta karena Allah itulah yang abadi bagaikan cinta Rasul kepada Khadijah Al-Kubra (istri pertama beliau).
Kesepuluh, pernikahan itu adalah perjalanan ibadah bersama.
Dalam berbagai hadis disebutkan bahwa nikah itu adalah bentuk ibadah besar. “Nikah itu adalah bagian dari sunnahku. Maka barang siapa yang tidak menyukai sunnahku, maka dia bukanlah bagian dari ummatku”.
ADVERTISEMENT
Mungkin hadis yang paling popular adalah hadis tentang pernikahan sebagai penyempurna separuh agama. Sungguh sebuah ibadah besar yang setara dengan “nishfu ad-diin” atau seperdua agama.
Ilustrasi pernikahan. (Foto: thinkstock )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan. (Foto: thinkstock )
Tujuan hidup adalah ibadah. Karenanya segala sesuatu yang baik yang dilakukan oleh seorang mukmin dalam hidupnya adalah ibadah. Dan perkawinan adalah fondasi institusi hidup sosial manusia. Karenanya sangat wajar jika pernikahan itu adalah ibadah penting.
Karena nikah adalah perjalanan ibadah bersama pasangan, maka seluruh rangkaian yang ada dalam hubungan suami-istri itu juga ditempatkan dalam kerangka ibadah.
Dari upaya mencari pasangan harusnya dalam kerangka ibadah. Ibadah tentunya terikat oleh niat dan cara (kaefiyat). Jika niat dan cara mendapat pasangan itu dari awal salah, maka akan menghasilkan pula sesuatu yang salah.
ADVERTISEMENT
Hingga ketika terjadi hubungan suami-istri sekalipun jika disadari sebagai ibadah (an act of worship) maka akan memiliki nilai tambah. “Dan pada jima’ kalian adalah ibadah,” kata Rasul.
Hingga kepada merawat rumah tangga dan mendidik anak-anak, jika semuanya dalam rangka ibadah maka hasilnya akan penuh keberkahan dan dalam pengayoman Ilahi.
Intinya, pernikahan itu adalah perjalanan ibadah besar, ibadah sepanjang hidup tiada henti. Karenanya semua harus dibangun di atas niat yang benar. Dan juga dijalani sesuai tuntunan Rasul Allah.
Agar anak bahagia dan betah di rumah, ibu harus lebih dulu berbahagia (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Agar anak bahagia dan betah di rumah, ibu harus lebih dulu berbahagia (Foto: Shutterstock)
Kesebelas, perkawinan itu adalah “a generational building” atau perjalanan membangun generasi manusia.
Tidak dapat disangkal bahwa salah satu tujuan terpenting dari pernikahan adalah agar generasi manusia tetap berlanjut. Lebih lanjut bahkan Rasulullah SAW akan membanggakan pengikut-pengikutnya yang punya banyak keturunan.
ADVERTISEMENT
Tentu kata “banyak” tidak selalu bersifat “numerical” (bilangan). Tapi juga bersifat kualitas. Bahwa Rasulullah SAW akan membanggakan umatnya yang punya banyak keturunan dan berkualitas.
Karenanya perkawinan dalam Islam itu adalah jalan bersama pasangan untuk melanjutkan keturunan. Para nabi yang ketika itu dicoba dengan keterlambatan mendapat keturunan sangat khawatir dengan masa depan mereka.
Masa depan mereka tentunya bukan sekadar masa depan biasa. Tapi masa depan misi mereka dalam dakwah. Perhatikan Ibrahim dan Zakariyah Alaihimas salaam misalnya.
Inilah salah satu dilema besar yang dihadapi oleh dunia barat saat ini. Bahwa kalaupun mereka menikah pada umumnya ingin punya keturunan ketika sudah lanjut usia.
Alasan utama tentunya agar mereka mempersiapkan masa depan anak-anak. Nampak positif. Tapi di balik alam sadar sesunggguhnya adakah karena mereka ingin “enjoy life” atau bersenang-senang dahulu.
ADVERTISEMENT
Tapi yang paling parah adalah adanya kekhawatiran jika generasi itu atau anak-anak mereka menjadi beban hidup. Sungguh sebuah lifestyle (gaya hidup) yang tidak bertanggung jawab.
Karena itu pasangan suami istri dalam Islam sejak dini perkawinan mereka harus menyadari ini. Bahwa perkawinan mereka adalah perjalanan dan tanggung jawab bersama untuk menjaga generasi manusia itu sendiri.
Tapi generasi bagaimana yang dimaksud? Inilah yang selanjutnya akan kita bahas pada tulisan-tulisan selanjutnya. Dan untuk tulisan selanjutnya akan kita beri judul: Building Generation. (Bersambung).
--------------
New York, 19 Januari 2019
* Presiden Nusantara Foundation
Saudaraku, masih mengingatkan jika mau menjadi bagian dari perjalanan dakwah di Amerika melalui pembangunan pondok pesantren Amerika. Donasi dapat disalurkan melalui:
ADVERTISEMENT
Rekening Indonesia: Rek rupiah: 1240000018185 An. inka nusantara madani Bank Mandiri
Atau melalui website (klik support): https://nusantaraboardingschool.com/