Marriage is a Life Journey (5)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
25 Januari 2019 7:51 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi pernikahan. (Foto: thinkstock )
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi pernikahan. (Foto: thinkstock )
ADVERTISEMENT
Pada bagian terdahulu disebutkan bahwa salah satu tujuan penting dari pernikahan adalah agar generasi manusia berkesinambungan. Manusia itu sendiri memang digelari “khalifah”. Dan salah satu arti dari kata khalifah adalah “pergantian” atau “khalf”.
ADVERTISEMENT
Kata itu, misalnya, didapatkan pada salah satunya: “fa khalafa min ba’dihim khalfun adho’us sholaah wat taba’us syahawat”. (Lalu mereka digantikan dengan generasi pengganti yang meninggalkan salat dan mengikuti kepada hawa nafsu mereka).
Karenanya, untuk kelanggengan generasi (generation continuity), Allah menetapkan pernikahan sebagai jalannya. Sebab, semua makhluk hidup memerlukan proses alami ini (keberlangsungan generasi), maka manusia sebagai makhluk khusus dan mulia memerlukan cara “elegan” dan terhormat dalam prosesnya.
Di sinilah kemudian pernikahan menjadi jalan elegan dan terhormat dalam upaya menjaga generasi manusia. Jika pernikahan tidak lagi menjadi penting, maka manusia boleh jadi terjatuh kembali ke dalam jalan “hewani” yang rendah.
Kegagalan manusia dalam melihat kesakralan pernikahan dan elegansi menjaga turunan dengan menikah menjadikan hidup manusia berada dalam lembah kehinaan yang sangat. Hidup serumah alias 'kumpul kebo', di dunia Barat misalnya, menjadi sesuatu yang tidak lagi dianggap tabu. Bahkan pada tingkatan tertentu, oleh mereka dianggap normal dan memiliki nilainya sendiri. Minimal bagi sebagian hidup tanpa ikatan nikah memiliki nilai “kebebasan” (freedom of expression).
ADVERTISEMENT
Belum lagi, jika memasuki dunia hubungan seksual yang tidak alami. Homoseksualitas dan lesbianisme menjadi marak, bahkan dianggap life style yang merepresentasi modernitas dan kemajuan. Seolah dengan tumbuh dan menguatnya dukungan kepada perkawinan sejenis menjadi tanda kemajuan dan modernitas.
Karenanya, Islam dengan tegas menjaga nilai-nilai alami pernikahan manusia. Bahwa dalam tabiat (alami) dan sejarah manusia, pernikahan itu akan selamanya terjadi antara Adam dan Hawa. Dengan kata lain, pernikahan itu sejatinya hanya akan terjadi antara pria dan wanita. Dan ini menjadi “konsensus” semua agama dunia.
Dan hanya dengan perkawinan antara Adam dan Hawa (laki dan wanita) inilah yang menjamin tujuan pernikahan bahwa dengannya manusia dapat menjaga keturunannya (preserving human generation).
Tapi bagaimanakah langkah-langkah yang ditunjukkan oleh Islam dalam rangka menjaga keturunan? Tentu kata “menjaga” keturunan bukan sekadar agar tidak punah secara fisik. Sebab, jika penjagaan itu hanya dalam hal fisik, hewan juga bisa melakukannya.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, menjaga keturunan atau dalam Bahasa Alquran adalah wiqaayah yang berasal dari kata “quu” dalam ayat “quu anfusakum” berarti menjaga keturunan manusia agar tetap lestari sebagai manusia. Ialah makhluk Allah yang tidak saja sehat secara fisik, tetapi juga tajam secara akal dan sehat secara ruhani (hati).
Lalu, langkah-langkah apa saja yang harus dilakukan dalam upaya menjaga keturunan manusia? Berikut beberapa hal yang mesti menjadi perhatian:
Pertama, carilah lahan yang baik bagi benih pohon itu.
Proses menjaga keturunan itu sejatinya mulai terjadi ketika kedua calon (suami-istri) saling mencari calon pasangan hidupnya. Salah memilih akan berakibat fatal dalam proses menjaga keturunan itu.
Dalam sebuah hadis digambarkan bagaimana wanita itu bagaikan lahan bagi benih-benih pohon kehidupan. Artinya, sesehat apapun benihnya, jika memang lahannya tidak subur, maka pohon yang diidamkan itu tidak akan tumbuh sehat, bahkan tidak tumbuh sama sekali.
ADVERTISEMENT
Tentu sebaliknya, sesubur apapun lahannya jika benihnya (calon ayahnya) memang rusak, maka pohon itu akan menjadi gersang, bahkan mati awal.
Di sinilah kemudian beberapa hadis menyatukan persyaratan-persyaratan bagi seorang calon istri dan calon suami. Persyaratan itu ada pada satu kesimpulan bahwa persyaratan terutama dalam menentukan “calon” suami atau istri ada pada “religiositas (agama)".
Dalam sebuah, hadis Rasulullah saw. menegaskan: “wanita itu dinikahi karena empat pertimbangan: kecantikan, harta, keturunan, dan agama. Tapi jadikan agama sebagai prioritas niscaya pernikahanmu solid”.
Pada hadis lain disebutkan: “jika datang kepadamu (melamar anakmu) seorang yang engkau rida dengan agamanya dan akhlaknya, maka nikahkanlah. Jika tidak, maka akan terjadi kerusakan di atas bumi ini”.
ADVERTISEMENT
Intinya bahwa proses awal dari persiapan untuk menjaga atau mempersiapkan generasi manusia yang solid (kuat), bukan generasi lembah (dhi’aaf) itu terjadi sejak langkah awal mencari pasangan masing-masing.
Orang tua adalah “madrasah” (sekolah) pertama hidup manusia. Dan pasangan yang tidak peduli agama sangat berat untuk diharapkan menjadi madrasah bagi anak-anaknya. Apalagi kalau memang pasangan itu beda agama.
Di sinilah kemudian basis rasionalnya kenapa Islam mengingatkan dengan tegas bahwa pernikahan beda agama itu dilarang. “Hamba sahaya yang beriman itu lebih baik dari seorang yang musyrik walau mengagumkanmu”.
Bahkan, walaupun Alquran membolehkan menikahi wanita-wanita dari kalangan Ahli Kitab (Nasrani dan Yahudi), Islam memberikan catatan-catatan yang sangat ketat. Semuanya tentu keturunanlah yang menjadi pertimbangan utama.
ADVERTISEMENT
Perlu digaris bawahi bahwa mencari pasangan yang baik bukan berarti mencari pasangan yang sempurna. Sebab, mencari kesempurnaan pada manusia pastikan mendekati kemustahilan. Tapi yang dimaksud mencari pasangan terbaik adalah mencari yang “the best among the good (terbaik dari yang baik-baik)". Minimal “the least among the evil (yang paling kecil keburukannya)".
Namun, hal yang paling penting dalam hal ini adalah kemauan kedua calon untuk membangun komtimen “perbaikan” (ishlaah) dalam beragama. Bahwa jika proses mencari pasangan tidak menemukan yang ideal, maka harus ada komitmen untuk memproses diri menjadi lebih baik.
Dengan itu, pada masanya ketika Allah mengaruniakan mereka keturunan mereka telah siap menerima “amanah” keturunan itu dari Allah Swt.
Kesimpulannya, proses mempersiapkan generasi itu bukan setelah memiliki anak saja. Tidak dimulai ketika anak telah lahir, tapi justru dimulai sejak langkah pertama dalam proses membangun keluarga, yaitu sejak masing-masing mencari calon pasangannya untuk menjalani perjalanan hidup (life journey) itu.
ADVERTISEMENT
Kedua, persiapkan proses pendidikan itu secara menyeluruh dan sedini mungkin. Pendidikan itu bukan “magic”, tapi sebuah proses hidup.
(Bersambung)
---
Oleh: Imam Shamsi Ali
* Presiden Nusantara Foundation
Saudaraku, ambillah bagian dalam perjalanan dakwah di Amerika dengan berdonasi untuk pembangunan pondok pesantren pertama di bumi Amerika. Boleh melalui website (klik support): https://nusantaraboardingschool.com/
Atau transfer ke:
Bank Mandiri
Rek rupiah: 1240000018185
An. Inka Nusantara Madani