news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Marriage is a Life Journey (6)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
26 Januari 2019 12:00 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Ayah dan Anak. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Ayah dan Anak. (Foto: Shutterstock)
ADVERTISEMENT
Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa mempersiapkan generasi (preparing generation) bukan dengan magic. Tidak dalam sebuah kedipan mata. Bukan dadakan dan bukan pula tanpa rencana dan kesungguhan.
ADVERTISEMENT
Keseriusan para nabi dan rasul untuk mempersiapkan generasi masa depan itulah yang menjadikan mereka, tidak saja meminta kehadiran anak cucu. Tapi yang terpenting adalah agar anak cucu yang dikaruniakan di kemudian hari adalah anak cucu yang saleh dan salehah (Shalihuun was sholihaat), anak cucuk yang baik (dzurriyah thoyyibah).
Kepedulian seperti itu yang ada di pada Nabi Ibrahim AS ketika meminta agar generasi Mekkah, cucu-cucunya dari keturunan anak pertamanya Ismail AS diutuskan kepada mereka seorang rasul yang akan meyakinkan keimanan mereka.
Doa Ibrahim AS itu diabadikan dalam Alquran: “Wahai Tuhan kami, utuslah kepada mereka seorang rasul yang akan membacakan kepada mereka ayat-ayatMu, mensucikan mereka, dan mengajarkan kepada mereka Alkitab dan Hikmah (sunnahku)”.
Ilustrasi keluarga (Foto: pixabay)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga (Foto: pixabay)
Kita juga diingatkan tentang Nabi Zakariyah AS yang ketika secara akal manusia tidak mungkin lagi memiliki anak keturunan karena umurnya yang uzur dan istrinya yang mandul (aaqir). Tapi dorongan untuk punya anak demi kelanjutan misi dakwahnya, siang malam menengadahkan tangannya kepada Sang Pencipta.
ADVERTISEMENT
“Wahai Tuhanku, berikanlah padaku dari sisi-Mu seorang anak yang baik (dzurriyah thoyyibah).”
Artinya di tengah keinginan yang sangat dalam untuk memiliki keturunan tidak menjadikan Ishak AS panik dan lupa bahwa anak yang diminta bukan sekadar anak lahiriyah. Tapi juga anak spiritulitas. Anak yang memilki iman dan Islam serta komitmen dakwah di jalan Allah.
Doa beliau itulah yang dikabulkan dalam wujud seorang anak yang bukan sekadar saleh. Tapi juga seorang nabi yang luar biasa bernama Yahya. Sebuah nama yang belum pernah diberikan kepada siapapun sebelumnya.
Maka setelah menemukan lahan yang subur, sehat, dan baik untuk tumbuhnya generasi manusia masa depan, langkah selanjutnya adalah seperti pada bagian kedua di bawah.
ADVERTISEMENT
Kedua, menanamkan nilai-nilai Robbani (ketuhanan) dari awal
Ilustrasi berdoa (Foto: Shutter Stock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi berdoa (Foto: Shutter Stock)
Pendidikan dalam Islam itu bukan sekadar transfer informasi (ilmu). Tapi mencakup semua aspek dasar hidup manusia. Yaitu fisik, akal, dan roh.
Tapi dari ketiga aspek itu, yang dibahas pada bagian-bagian selanjutnya, aspek ruh menjadi sangat mendasar. Esensi kemanusiaan manusia adalah pada rohnya. Rohlah yang menjadikan manusia sebagai makhluk khusus. “Dan sungguh Kami telah menciptakan manusia dalam ciptaan yang terbaik” (ahsana taqwiim).
Aspek ruhiyah ini tidak akan terpisahkan dari tiupan roh kesucian Ilahi (nafakha fiihi min ruuhinaa) yang terpatri dalam tabiat dasar manusia yang disebut “fitrah” (kesucian dasar) manusia.
Dari sinilah perlu disadari bahwa pendidikan dalam Islam bukan memulai dari sesuatu yang tidak ada. Tapi sejatinya menjaga dan menumbuh suburkan apa yang sudah ada pada anak. Yaitu fitrah manusia itu sendiri.
ADVERTISEMENT
Karenanya pendidikan yang dalam Arabnya disebut “tarbiyah” berasal dari kata “rabaa-yarbuu-ribaa” (tumbuh, berkembang, atau subur). Persis ketika modal dikembangkan menjadi lebih dengan persentasi tertentu yang kemudian dikenal dengan isitlah “riba”.
Fitrah inilah yang menjadi modal utama kehidupan manusia. Fitrah ini bukan sesuatu yang baru di saat dimulai pendidikannya. Tapi sesuatu yang secara inheren (mendasar) menjadi bagian dari hidupnya sejak awal. Semua terlahir dalam keadaan fitrah.
Ilustrasi keluarga. (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi keluarga. (Foto: Shutterstock)
Orang tuanya yang kemudian gagal menjaga dan menyuburkan fitrah itu, sehingga anak menjadi orang yang tidak sejalan dengan fitrah atau saya menyebutnya identitas dasarnya. Dia menjadi manusia yang memiliki jalan hidup yang lain.
Oleh karena fondasi sekaligus identitas sejati manusia adalah fitrahnya, dan fitrah manusia terwujud dengan “tiupan roh ilahiyah”, sudah pasti pula sentuhan pertama dari proses pendidikan adalah sentuhan Robbani (nilai-nilai ketuhanan).
ADVERTISEMENT
Bagaimana realisasi nilai-nilai Robbani dalam pendidikan? Semua ada pada “Allah” sebagai pusaran semua pergerakan rumah tangga. Dari motif awal menikah (niat), proses pernikahan (sesuai aturan syariahnya), hingga kepada hal yang paling privat sekalipun semuanya punya koneksi keilahian (kesucian).
Ambillah contoh konkret satu hal. Ketika sepasang suami isteri melakukan hubungan (jima’) dan lupa koneksi uluhiyah (niat dan baca doa) maka menurut informasi Rasulullah SAW, sejak itu setan telah mengambil bahagian dalam prosesnya. Jika hubungan itu ditakdirkan sebagai jalan bagi pasangan itu untuk mendapatkan anak, maka sejak awal setan sudah punya porsi dalam mempenharuhi hidupnya.
Ilustrasi anak salat dan berdoa.  (Foto: Shutterstock)
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak salat dan berdoa. (Foto: Shutterstock)
Intinya adalah bahwa untuk meyakinkan persiapan generasi yang solid, tidak saja secara fisik dan akal, tapi tidak kalah pentingnya solid dalam aspek spiritualitasnya, perlu perhatian serius dalam menjaga dan menyuburkan fitrah manusia. Dan fitrah manusia sejatinya memerlukan sentuhan-sentuhan Robbani sejak langkah awal perjalanan hidupnya.
ADVERTISEMENT
Sentuhan-sentuhan Robbani ini menentukan perjalanan hidup sang anak. Cara pandang (aqliyah) anak, prilaku karakter anak, dan semua hal yang terkait dengan hidupnya akan diwarnai oleh kesuburan atau kegersangan fitrahnya.
Itulah barangkali gambaran sederhana Rasulullah SAW ketikan mensabdakan: “Sesungguhnya pada setiap tumbuh itu ada segumpal darah, yang jika baik akan baik semua anggota tubuhnya. Tapi jika rusak akan rusak semua anggota tubuhnya. Itulah hati”.
Sehat sakitnya hati manusia ditentukan bagaimana seseorang itu menjaga fitrahnya. Sekali lagi menjaganya dengan sentuhan-sentuhan ilahiyah. Dan sungguh Islam dalam perangkapnya lengkap untuk itu. Dari hubungan suami isteri, di saat kehamilan, di saat melahirkan (adzan), aqiqah, sunat, dan seterusnya. Semuanya menjadi bagian dari sentuhan keilahian demi menjaga dan menyuburkan fitrah manusia.
ADVERTISEMENT
Ketiga, perencanaan yang matang dan menyeluruh. (Bersambung)
-----
* Presiden Nusantara Foundation
Saudaraku, kami terus mengajak semuanya untuk menjadi bagian dalam perjalanan dakwah di Amerika melalui pembangunan pondok pesantren pertama Amerika. Untuk donasi dapat dilakukan melalui (klik support): www.nusantaraboardingschool.com
Atau Rekening Indonesia: Rek rupiah: 1240000018185 An. inka nusantara madani Bank Mandiri Jazakumullah khaer!