Mengharap Rekognisi

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2022 10:09 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Masjid. Foto: AFP
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Masjid. Foto: AFP
ADVERTISEMENT
Shamsi Ali
Keinginan untuk diakui (being recognized) itu biasa dan wajar saja. Semua manusia punya tendensi egoisitk. Bahkan terkadang diselimuti oleh kepura-puraan tidak mau pengakuan. Tapi kepura-puraan itu pun tidak bisa menyembunyikan tabiat alami manusia yang punya dorongan “اناني” (keakuan) itu.
ADVERTISEMENT
Yang tidak wajar kemudian adalah ketika keinginan diakui itu tidak seimbang bahkan tidak pada kapasitas diri seseorang. Islam mengakui ini ketika Al-Quran menggariskan: قل كل يعمل علي شاكلته. (Hendaknya setiap di antara kalian bekerja sesuai skill (keahlian) masing-masing).
Bahkan Al-Quran lebih jauh menyebutkan bahwa manusia diciptakan dan dikarunia kapasitas (kemampuan) sesuai qadar-nya masing-masing. “Maha Suci Tuhanmu Yang Maha Agung. Yang telah mencipta dan membentuk. Dan Yang telah memutuskan dan menunjuki” (Surah Al-A’laa).
Ayat Al-Quran di atas menegaskan bahwa antara penciptaan (khalaqa), bentukan (sawwa), kapasitas (Qaddara) dan keahlian (hadaa) itu saling terkait. Allah yang mencipta, Allah pula yang membentuk apa dan bagaimana seorang hamba. Lalu Allah yang menentukan keadaan, Allah juga yang memudahkan keahlian hamba-Nya.
ADVERTISEMENT
Seseorang yang dorongan keakuannya besar, apalagi jika dorongan itu lebih dibesarkan lagi oleh kompetisi atau persaingan, kerap tertipu dan terjadi pemaksaan diri secara berlebihan. Realita seperti ini kerap terjadi dalam kehidupan masyarakat yang berujung pada drama kehidupan yang menggelikan.
Konon di sebuah kampung nan jauh di seberang sana, hidup seorang tamatan madrasah, hafal Quran, telah kenamatkan enam buku hadits yang paling mu’tamad (terpercaya), bahkan diakui oleh warga dengan keahliannya di bidang fiqh dan agama.
Di kampung itu juga ada seorang pekerja kebun yang rajin, bahkan ahli perkebunan. Pekerja kebun ini selain ahli, juga penuh dedikasi dalam mengembangkan kebunnya. Sehingga oleh sebagian diakui sebagai ahli pada bidangnya.
Di suatu masa terjadi musim kemarau. Kebun-kebun pada kekeringan. Petani-petani di kampung itu, termasuk petani tadi, turun pamornya karena dinilai tidak lagi kelihatan kehebatannya di tengah-tengah warga.
ADVERTISEMENT
Di satu sisi, karena kebanyakan petani memiliki waktu lowong, masjid menjadi lebih ramai. Jemaah lebih besar dan peserta kajian juga semakin bertambah. Pengakuan pada kiai kampung itu juga semakin bertambah.
Petani yang hebat di kampung itu yang tadinya aktif di masjid, bahkan jadi pengurus dan aktivis masjid, mulai dimainkan oleh sebuah perasaan lain. Dia yang tadinya diakui (recognized) kini lambat laun dilihat biasa saja oleh warga sekitar.
Dia pun merencanakan sesuatu yang awalnya dianggap baik-baik saja. Sekali-sekali mengundang tetangga BBQ-an di kebun belakang rumah. Tentu diselingi salat berjemaah di rumahnya. Dan sekali-sekali ada kultum. Tapi semua itu berakhir dengan membentuk jemaah dan kelompok pengajian sendiri.
Tidak tanggung-tanggung demi pengakuan “heroisme” dan ketokohan sang tukang kebun itu bahkan mendeklarasikan diri sebagai “spiritual leader” dan “Imam” bagi jemaah dan kelompok pengajian BBQ-an tu.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain jemaah masjid di kampung itu mulai resah. Sebagian kecil bersimpati dan menjadi pengikut spiritual leader dan imam dadakan itu. Sebagian besar yang lain mendongkol, kecewa bahkan marah pada perilaku tukang kebun itu. Tanpa terasa warga kampung pun retak bahkan saling mengucilkan.
Waktu berlalu, situasi pun berubah. Musim hujan tiba, kebun pun menjadi makmur. Warga di kampung itu kembali memuji sang pekerja kebun dengan keahliannya. Sang Ustaz pun tergiur. Dia terjun ke kebun bertani. Sang Ustaz tidak lagi peduli dengan tanggung jawabnya. Tapi juga gagal total berkebun karena bukan keahliannya. Hanya untuk sebuah rekognisi sesaat dari warga sekitar.
Kehidupan warga menjadi kacau. Dan semua ini terjadi karena tendensi egoisitk manusia yang ingin mendapat pengakuan itu. Sesuatu yang sebenarnya sah-sah saja jika itu pada porsi dan tempatnya. Tapi jika itu dipaksakan maka tunggu akibat buruk yang akan terjadi. Apalagi kalau yang melandasi semua itu adalah sakit hati dan dendam yang membara.
ADVERTISEMENT
Pesan moral dari renungan Subway NYC ini adalah hendaknya setiap orang sadar akan potensi dirinya. Biarkanlah potensi itu berkembang dan termaksimalkan sesuai kadarnya (porsinya) dan pada “qadar” (ketentuan) yang Allah berikan. Jangan pernah paksakan diri pada hal-hal yang bukan porsi dan kapasitasnya. Karena pada akhirnya hanya melahirkan drama lucu yang menggelikan…!
Renungan pagi Subway, 12 Agustus 2022
*NYCHHC. Chaplain