Menimbang Ormas-ormas Anti NKRI

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
9 Mei 2017 10:31 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Kegiatan massa HTI sebelum dibubarkan (Foto: Instagram/@hizbuttahririd)
Sebagai anak bangsa yang telah menghabiskan dua per tiga umurnya di luar negeri, tetap konsisten cinta bangsa dan tanah air. Bagaimanapun juga ikatan batin dan emosi kebangsaan itu tidak pernah berkurang. Saya yakin, ini pula sentimen ribuan bahkan jutaan anak bangsa yang hidup di berbagai belahan dunia ini.
ADVERTISEMENT
Ada rasa cinta dan kedekatan yang tidak bisa diintervensi apapun, bahkan oleh kewarganegaraan itu sendiri. Dan ini pula yang menjadikan anak-anak bangsa di berbagai belahan dunia itu tetap mengikuti dari dekat serta membangun perhatian penuh dengan Republik ini.
Suatu hari saya hadir dalam acara perkumpulan lansia (lanjut usia) di kota New York. Mereka adalah orang-orang Indonesia yang umumnya di atas 70 tahun, yang juga rata-rata telah menjadi warga negara Amerika. Mereka telah berpuluh-puluh tahun hidup di negara Amerika, beranak dan bercucu warga negara Amerika.
Yang menarik adalah saya mendegarkan percakapan hangat dan terasa segar, justru bukan mengenai Amerika, namun mengenai perkembangan mutakhir di dalam negeri Indonesia. Secara iseng saya bertanya ke beberapa orang di antara mereka: "Kalau seandainya Tuhan memberikan umur panjang dan kemudahan, apa yang bapak atau ibu ingin lakukan?"
ADVERTISEMENT
Saya sungguh terkejut dengan respon mereka. "Kalau ada umur panjang, saya hanya ingin memberikan kontribusi apapun yang saya bisa kepada bangsa saya, Indonesia".
Ikatan emosi sekaligus pengalaman lansia ini menjadikan saya yakin bahwa nasionalisme bangsa Indonesia itu begitu kuat. Nasionalisme bangsa ini tidak semudah itu digeserkan oleh apapun, termasuk ideologi-ideologi apapun. Terkecuali tentunya yang telah membuktikan diri sebagai pengkhianat bangsa, seperti komunisme. Selebihnya diperlukan kejelian, kehati-hatian, dan penelitian yang dalam sebelum sampai ke sebuah kesimpulan.
Pancasila, UUD dan NKRI
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, sudah merupakan konsensus nasional untuk menjadikan Pancasila dan UUD sebagai fondasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia. Semua manusia Indonesia telah menerima ini sebagai "warisan founding fathers" dan sekaligus napas perekat kebangsaan.
ADVERTISEMENT
Dan karenanya memang dalam bingkai negara kesatuan, menolaknya adalah penolakan kepada bangsa dan negara itu sendiri. Dengan kata lain, menolak Pancasila dan UUD 45 adalah "treason" (pengkhianatan) kepada negara ini. Siapapun dan apapun latar belakangnya, baik secara etnis maupun agama, harus menerima kedua pilar kehidupan berbangsa dan bernegara ini.
Masalahnya kemudian adalah bagaimana mengakomodir variasi penafsiran Pancasila itu? Dan lebih khusus lagi dalam kerangka pemahaman agama-agama? Tidak saja dalam hubungan antar agama namun juga berbagai penafsiran yang ada dalam satu agama (intra agama).
Agama adalah keyakinan dalam hati sekaligus petunjuk hidup. Dalam realisasinya agama bukanlah "bulldozer" yang menggusur segala hal dalam hidup manusia. Tapi datang menguatkan yang sudah baik dan memperbaiki yang tidak baik. Itulah sebabnya agama di satu sisi tegas. Tapi di sisi lain sangat fleksibel mengakomodir berbagai paham dan praktik lokal dalam kehidupan manusia. Dan itu pula yang menjadikan warna agama pada tataran praktiknya berbeda dari satu bangsa ke bangsa yang lain. Sehingga wajar jika keragaman internal umat ini tidak kalah dari keragaman eksternalnya.
ADVERTISEMENT
Memahami Pancasila dari sudut pandang keyakinan dan pemahaman agama ini tentu juga tidak lepas dari kemungkinan keragaman itu. Ambillah, misalnya, sila pertama: Ketuhanan Yang Maha Esa. Sudah pasti pemahaman makna dan definisinya akan berbeda antara pemahaman seorang Muslim dan Hindu. Lalu, dari kedua pemahaman yang berbeda karena ikatan agama masing-masing itu, mana yang dianggap benar dan loyal dengan Pancasila dan mana yang tidak?
Saya melihat gegabah dalam menilai seseorang atau sekelompok orang sebagai anti Pancasila, UUD, dan NKRI justru bisa berdampak sangat negatif terhadap loyalitas dan nasionalisme kepada bangsa dan negara itu sendiri. Penafsiran atas pasal-pasal Pancasila dan UUD seharusnya tidak dijadikan pijakan kesimpulan jika orang atau sekelompok orang telah anti Pancasila, UUD, dan NKRI. Tentu dengan catatan masih menerimanya sebagai pijakan dalam hidup berbangsa dan bernegara.
ADVERTISEMENT
Mungkin sebagai ilustrasi saja. Dalam agama Islam adalah sebuah kesalahan fatal untuk mengkafirkan seseorang yang masih percaya dengan agama Islam, percaya dengan Allah dan rasul-Nya, percaya dengan kitab suci Alquran, dan seterusnya, hanya karena memiliki penafsiran yang mungkin dianggap nyeleneh, bahkan salah. Selama itu penafsiran dan bukan pengingkaran, dia berhak untuk tetap berada dalam rumah Islam itu (Muslim). Mengeluarkannya dari rumah Islam hanya karena yang tidak sejalan dengan kita, bahkan salah sekalipun, tidak akan dilakukan kecuali oleh golongan "takfiri" yang super radikal itu.
Saya khawatir justru menghakimi orang atau kelompok orang tertentu sebagai anti NKRI hanya karena penafsirannya yang tidak disetujui merupakan sikap ekstrem yang sama. Artinya kekhawatiran kepada ekstremisme justru juga dilakukan dengan sikap dan perilaku ekstrem yang sama.
ADVERTISEMENT
Barangkali cara terbaik untuk mengukur loyalitas seseorang atau sekelompok orang itu dilihat dari gerak gerik dan sikapnya selama ini. Apakah sikapnya itu menguntungkan atau justru merugikan, bahkan mengarah kepada merusak dan merobohkan bangunan negara dan kebangsaan?
Siapakah selama ini yang merongrong kehidupan bernegara dan berbangsa melalui aktivitas ekonomi dan keuangan? Siapakah selama ini yang bermuka dua, di satu sisi berpura-pura cinta Indonesia dengan nasionalisme tapi di mana-mana bangsa dan negara ini diburuk-burukkan? Bahkan tidak malu bekerjasama dengan pihak luar, baik pemerintahan negara lain maupun organisasi-organisasi di negara lain untuk mencabik-cabik keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia?
Hubungan emosional dan solidaritas keagamaan yang bersifat internasional, selama memang tidak mengarah kepada pemberontakan dan pengrusakan NKRI harusnya wajar-wajar saja. Saudara-saudara sebangsa kita yang kebetulan beragama Katolik jelas punya loyalitas tinggi dan solidaritas kuat dengan Vatikan. Apakah itu berbahaya bagi NKRI? Dan apakah hal itu perlu dipertentangkan? Baru-baru ini ada seorang pengusaha besar keturunan yang mengatakan bahwa bagi dia Indonesia itu ibarat ayah tiri. Ayah kandungnya adalah negara China itu sendiri. Apakah ini bisa dikategorikan pengkhianatan dan pelecehan negara?
ADVERTISEMENT
Demikian pula dengan organisasi HTI yang saya anggap sekadar gerakan moral yang tidak mengarah kepada pengrusakan NKRI. Tapi gerakan yang diikat oleh ikatan ideologi dan solidaritas Muslim internasional. Relasi mereka dengan gerakan HTI (Hizbut Tahrir Internasional), saya menganggap tidak lebih dari sebuah koneksi moral dan solidaritas. Toh, dalam Islam, selain adanya perdebatan panjang tentang makna dan konsep khilafah, juga dengan realita dunia sekarang, untuk mewujudkan pemerintahan yang bersifat global (khilafah) itu hampir mustahil.
Oleh karenanya pembubaran HTI bisa berakibat sangat negatif. Apalagi hal ini dilakukan di saat-saat meningginya kecurigaan di antara elemen-elemen bangsa. Maka jika HTI dibubarkan karena dianggap antiNKRI, lalu bagaimana dengan organisasi-organisasi yang jelas-jelas bekerjasama dengan pihak luar untuk merongrong keutuhan NKRI?
ADVERTISEMENT
Dan bagaimana pula mereka yang seringkali menampakkan diri sebagai benalu dalam kehidupan berbangsa dan bernegara? Mereka yang siap angkat kaki dan membawa kekayaan negara yang telah mereka kuras? Tidakkah mereka ini adalah kelompok-kelompok yang setiap saat merusak, melubangi perahu kebangsaan itu?
Oleh karenanya ada dua hal penting yang perlu diingat. Satu, diperlukan kehati-hatian dan kejelian dalam mengambil kesimpulan tentang siapa yang anti Pancasila, UUD dan NKRI. Dua, diperlukan keadilan tanpa memandang siapa dan apa dalam menegakkan hukum dan menjaga keutuhan bangsa dan negara. Sehingga jika satu kelompok dinilai anti NKRI karena pemikiran dan sikap, maka semua kelompok yang memiliki pemikiran dan sikap yang sama diperlakukan sama di depan hukum.
Ada baiknya pemerintah melakukan pendekatan dialogis, mencari tahu arah pemikiran semua anak bangsa ini, termasuk HTI. Khawatirnya sebuah keputusan institusional justru ditunggangi oleh kepentingan lain, yang memang bertujuan untuk melemahkan bahkan mencabik kesatuan bangsa ini. Sehingga pada akhirnya akan muncul kekuatan dominan yang punya kepentingan sempit, di luar kepentingan nasional.
ADVERTISEMENT
Tentunya perlu saya tegaskan sekali lagi, bahwa sebagai bagian dari nasionalisme dan kecintaan kepada Indonesia kita mendukung segala upaya pemerintah untuk menjaga keutuhannya. Termasuk menindak tegas pihak-pihak yang memang ingin mencabik keutuhan NKRI ini. Namun, sangat diperlukan kejelian dan keadilan dalam mengambil tindakan. Jika tidak, maka kebijakan pemerintah yang gegabah dan pilih kasih justru bisa memicu reaksi yang akan memorakporandakan kesatuan bangsa dan negara Republik Indonesia.
Semoga Tuhan menjaga!
New York, 8 Mei 2017
Shamsi Ali Presiden Nusantara Foundation