Moderasi Proporsional

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
17 Januari 2019 4:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi agama di Inggris. (Foto: Pixabay)
Istilah moderasi, dan lawan katanya ekstremisme dan radikalisme, sejak beberapa tahun terakhir menjadi sangat populer. Saking populernya di hampir semua pidato pemimpin negara, termasuk pidato Raja Salman di gedung MPR RI juga mengulangi kata-kata itu berkali-kali. Tidak luput, tentunya hampir di semua pidato kampanye maupun debat capres AS ketika itu selalu menyebut-nyebut kata moderasi dan lawan katanya ekstremisme atau radikalisme.
ADVERTISEMENT
Dari zaman Bush, Obama, hingga eranya Presiden Trump sekarang ini, kata ini masih menjadi objek yang menarik dan menyenangkan untuk dibahas oleh banyak pihak. Bagaimana tidak menarik dan menyenangkan, kata ini bisa mengangkat atau sebaliknya menurunkan dukungan bagi sebagian pemburu kekuasaan.
Tapi apakah moderasi itu?
Sebelum saya menjelaskan makna moderasi, saya ingin menyampaikan dialog tanpa sengaja dengan seorang nonmuslim dalam perjalanan dari rumah ke kota. Saat itu kebetulan kereta bawah tanah lagi sepi, dan tiba-tiba orang itu bertanya ke saya: "Where are you from?"
Setelah saya jawab: "I am from Indonesia", dia mengubah bahasanya dari Inggris ke Indonesia terbata-bata. "Oh bagus. Saya pernah pergi ke Indonesia."
Tentu saya senang dan bangga. Karena sering kali orang di Amerika lupa Indonesia di saat berbicara kunjungannya berlibur ke Indonesia. Rata-rata yang diingat adalah Bali. Seolah Bali jauh lebih besar, lebih hebat dari Indonesia. Seolah Indonesia hanya bagian atau samping sebuah daerah terkenal bernama Bali.
ADVERTISEMENT
"So do you like Indonesia?" tanya saya.
"Iyaaa... saya suka," jawabnya masih dalam bahasa Indonesia yang terbata-bata.
Entah apa di benaknya tiba-tiba bertanya tentang agama. Hal ini sesungguhnya rada-rada asing di Amerika. Agama dianggap urusan pribadi dan tidak perlu diumumkan, apalagi ditanyakan.
"So are you a Muslim?" tanyanya.
Mungkin karena saya merasakan kedekatan dalam waktu singkat itu, apalagi orangnya memang cukup ramah, saya spontan menjawab: "Yes of course."
Dia kemudian agak serius, lalu bertanya: "What kind of Islam do you follow? It is a radical or moderate one?"
Entah karena saya tersinggung atau karena sensitivitas saya saja, saya balik bertanya: "Are you a Christian? A Moderate or radical Christianity?".
ADVERTISEMENT
Orang itu melihat ke saya, walau berusaha tersenyum, tapi nampak di wajahnya ketidaksenangannya dengan pertanyaan itu. Dia kemudian menjawab: "Christianity is assumed a moderate religion."
Saya kemudian mengatakan: "All religions are inherently moderate. It is the followers who pull it into radical view and behaviors."
Saya kemudian melanjutkan: "As in the Christian community you have people such as KKK, or those who blew some abortion clinics as they disagree with their practices, we have such also in our community. Muslims hate others simply because of their faiths, are no less than those of KKK in Christianity."
Saya lalu ingin tahu apa defenisi dia tentang "moderasi dan radikalisme"?
ADVERTISEMENT
Mendengar pertanyaan saya itu dia hanya diam. Tapi mungkin karena terlanjur memulai percakapakan itu dia menjelaskan: "Moderate are those who live their lives as any one else. Dress as others, partying as others, eating and drinking as others, marrying as others."
Intinya dia ingin mengatakan bahwa untuk disebut moderate, seseorang harus melakukan apa saja yang dilakukan oleh semua orang. Walau dia tidak merincikan, tapi moderasi bagi dia adalah jangan dibatasi lagi oleh batasan-batasan aturan agama Anda.
Jika Anda sholat, puasa, haji, memakai pakaian yang diatur agama maka itu adalah ekstrem. Sebaliknya, minum alkohol, pergaulan bebas, ikut pesta di bar-bar, dan semua yang dilakukan oleh orang yang tidak diikat aturan agama itulah moderasi.
ADVERTISEMENT
Mendengar itu saya kemudian teringat banyak peristiwa yang terjadi di dunia ini. Saya diingatkan betapa memang ada orang-orang yang berusaha menampakkan agama itu, tidak saja Islam tapi semua agama, sebagai lawan dari kebebasan. Dan karenanya menjalankannya adalah bentuk radikalisme yang melawan kebebasan manusia.
Saya juga diingatkan ketika banyak pemimpin dunia, termasuk dunia Islam, mempropagandakan perlunya moderasi. Tapi ternyata di benak terdalam para politisi dan pemimpin dunia itu moderasi dimaknai sebagai enteng saja dengan nilai-nilai dan ajaran agama. Karena ketika nilai dan ajaran agama ditegakkan, banyak borok pemimpin itu akan semakin tersingkap.
Kenapa demikian? Karena agama itu ruhnya adalah "mendukung kebenaran dan keadilan, melawan kebatilan, dan kezaliman." Dan inilah yang ditakutkan oleh banyak pemimpin dunia.
ADVERTISEMENT
Untuk meredam kemungkinan itu mereka bernafsu tinggi untuk menegakkan apa yang mereka sebut sebagai moderasi. Moderasi yang dalam definisi mereka adalah tidak peduli agama, kebenaran, dan keadilan. Acuh dengan tanggung jawab amar-ma’ruf dan nahi mungkar.
Yang paling disayangkan tentunya adalah ternyata sebagian pemimpin agama juga, termasuk agama Islam, menghendaki hal yang sama. Kata moderasi sering kali dipakai sebagai senjata untuk menyerang sesama untuk tujuan yang satu. Yaitu menekan kelompok lain dalam komunitasnya sendiri agar tetap lemah, terpinggirkan dan dicurigai.
Tentu tujuannya adalah agar kelompok merekalah yang mu’tabar (diakui) dan dijadikan rujukan oleh penguasa dan pihak-pihak yang punya kepentingan lainnya.
Maknanya jika kita gali lebih jauh tentang fenomena ini, akan didapati bahwa ujung-ujungnya juga demi keuangan yang maha kuat. Intinya adalah moderasi sering kali dijadikan senjata bagi pihak-pihak tertentu untuk mengail keuntungan sempit. Yang lebih berbahaya ketika moderasi dijadikan senjata untuk mematikan lawan.
ADVERTISEMENT
Mereka yang memiliki komitmen dengan ajaran agama, menjalankan agama sesuai keyakinan dan ajarannya, cenderung dianggap ekstrem atau radikal. Terlebih lagi mereka yang bangkit membela apa yang dianggap benar dan adil. Dunia akan menyatu untuk menjatuhkan palu jika mereka ini tidak saja radikal. Tapi musuh dan ancaman yang harus dieliminasi.
Islam itu moderate
Ilustrasi Bela Islam (Foto: mojok.co)
Sesungguhnya ketika menyebut Islam, maka bagi seorang yang paham tentang agama ini secara otomatis akan memahaminya sebagai petunjuk hidup moderate. Moderate dalam arti "imbang" dan tidak melampaui batas-batas kealamiaan kemanusiaan. Dalam segala aspek ajarannya Islam itu berkarakter "imbang" (moderate).
Perhatikan misalnya aspek ketuhanan dalam Islam. Di satu sisi Tuhan digambarkan dengan beberapa penggambaran "khalqi" (ciptaan), misalnya dengan karakter melihat, mendengar, punya tangan, marah, senang (ridho), dan seterusnya. Namun di sisi lain juga semua yang memungkinkan Tuhan untuk diasosiasikan dengan makhluk tertutup rapat. Tuhan adalah "Ahad" (unik) yang "lam yakun lahu kufuwan ahad" (tiada yang mirip dengannya). Bahkan penggambaran Tuhan dengan makhluk apa saja salah dan dilarang.
ADVERTISEMENT
Ibadah-ibadah dalam Islam semuanya berkarakter moderasi. Jangan lakukan sesuatu yang melampuai kapasitas Anda. "Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya." (Al-Baqarah).
Pesan Rasulullah SAW: "agama itu mudah". Oleh karenanya jangan dilebih-lebihkan dan dipersulit. Bahkan ketika di hadapan Rasulullah ada dua pilihan, beliau selalu memilih yang termudah.
Mungkin yang menyimpulkan semua itu adalah perintah menjaga "tawazun" (keseimbangan) dalam Al-Quran. "Dan langit Allah tinggikan dan timbangan diletakkan. Agar kamu jangan melampaui timbangan (keseimbangan)" (Ar-Rahman).
Hadits Rasulullah bahkan mengingatkan: "Berhati-hatilah dengan al-ghuluw (ekstremisme). Karena ektremisme membawamu kepada kehancuran (at-tahlukah).
Dari semua ini saya menyimpulkan bahwa moderasi itu adalah komitmen kepada agama apa adanya, tanpa dikurangi atau dilebihkan. Agama dilakukan dengan penuh komitmen, dengan mempertimbangkan hak-hak vertikal (ubudiyah) dan hak-hak horizontal (ihsan).
ADVERTISEMENT
Dilemanya memang ketika manusia tidak jujur dalam mendefenisikan moderasi. Atau sebaliknya ketika kata "radikalisme" menjadi santapan kepentingan sesaat, termasuk politik. Lalu moderasi atau sebaliknya radikalisme didefenisikan berdasarkan kepada "kepentingan" masing-masing.
Banyak orang yang melihat biarawati itu moderate dalam beragama. Tapi ketika melihat wanita muslimah menolak membuka aurat di umum, dengan mudah dituduh "ekstrem".
Banyak orang yang tidak peduli dengan Yahudi orthodox dengan janggutnya. Atau Kristen orthodox dengan jubah dan sorbannya. Tapi ketika seorang Muslim berjanggut panjang dan berjubah, boleh jadi itu adalah perilaku ekstrem.
ADVERTISEMENT
Oleh karenanya, saya khawatir jika pengistilahan ini bagi banyak orang tidak lebih dari sebuah alat untuk kepentingan yang lebih besar. Persis ketika oposisi di Suriah dituduh radikal dan teroris. Atau ketika Ikhwanul Muslimun dengan mudah dilabeli oleh Presiden Sisi sebagai gerakan radikal dan teroris.
Dalam situasi dunia seperti itu Indonesia harusnya berkaca. Bahwa kemerdekaan negara ini tidak lepas dari komitmen bergama para pejuang terdahulu. Mereka bukan radikal atau antinegara. Justru mereka dengan semangat agamanya memperjuangkan kemerdekaan.
Ingat gema takbir Bung Tomo. Ingat komitmen dzikirnya Jenderal Sudirman. Ingat akidah KH Agus Salim yang tidak pernah goyah. Demikian semua pejuang yang dengan air mata dan darah mereka kita menikmati kemerdekaan saat ini.
ADVERTISEMENT
Maka menuduh umat yang komitmen terhadap agamanya sebagai radikal adalah kegagalan total dalam memahami sejarah perjuangan, sekaligus kegagalan total dalam mengapresiasi perjuangan pendahulu bangsa. Karena bagi Muslim Indonesia sejati, komitmen beragama tidak mengurangi loyalitas secuil pun kepada negara.
Kalau di Amerika ada slogan: “For God and Country”. Maka umat Islam Indonesia mengatakan dengan iman dan Islam kita bangun bersama bangsa dan negara tercinta.
Akhirnya saya ingin meyakinkan kita semua bahwa hanya dengan pemahaman sekaligus praktik yang benar, agama akan membawa kepada kebajikan umum. Jika ada pengakuan beragama tapi membawa kemudhoratan, termasuk kebencian, dan permusuhan, maka itu bukan Islam yang sesungguhnya.
Demikian pula sebaliknya, pengakuan Islam seraya menginjak-injak dan merendahkan ajarannya, termasuk merendahkan bahkan memusuhi mereka yang berkomitmen dengan ajarannya, juga bukan Islam yang sesungguhnya. Tapi boleh jadi itu kemunafikan atas nama moderasi. God forbids!
ADVERTISEMENT
New York, 14 Januari 2019
Presiden Nusantara Foundation