Paniknya Kekuasaan Menurut Al-Quran

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
22 Desember 2020 12:07 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Al Quran Foto: pexels
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Al Quran Foto: pexels
ADVERTISEMENT
Shamsi Ali*
Sebuah opini atau pendapat yang disampaikan, baik secara lisan atau tulisan, tidak selalu harus dimaknai sebagai serangan kepada orang-orang tertentu. Apalagi jika tafsiran itu terbangun di atas asumsi-asumsi politis.
ADVERTISEMENT
Al-Quran sendiri penuh dengan cerita masa lalu alias sejarah. Sejarah itu penting. Karena dengan sejarah manusia belajar untuk berubah dan menjadi lebih baik di masa kini dan mendatang.
Salah satu sejarah yang sering terulang dalam Al-Quran adalah sejarah kekuasaan di masa lalu. Ada kekuasaan yang berkarakter “ketakwaan”. Yaitu kekuasaan yang terbangun di atas nilai-nilai kebenaran (Al-Haq), kejujuran (al-amanah), dan keadilan (al-adl).
Tapi tidak sedikit pula kekuasaan yang terbangun di atas karakter “fujuur” (penyelewengan dan dosa). Kekuasaan ini penuh dengan ketidak jujuran dan kebohongan, ketidak adilan (kezholiman), bahkan kekejaman dan kebiadaban.
Lalu menurut sejarah juga Allah Yang Maha Rahman selalu menghadirkan dari kalangan hamba-hambaNya sendiri untuk mengoreksi kekuasaan fujuur (Korup) itu. Musa AS diutus kepada Fir’aun, Ibrahim AS kepada Namrud, dan seterusnya.
ADVERTISEMENT
Dalam usaha mengoreksi kekuasaan itulah tidak jarang terjadi resistensi keras dari kekuasaan korup itu. Bahkan sering terjadi pembungkaman, represi bahkan eliminasi (pembunuhan). Ada dengan cara kasar dan terbuka. Tidak jarang juga dengan senyuman, bahkan keluguan.
Tapi ada satu fakta sejarah yang perlu diingat. Bahwa opresi atau kezaliman dan kekejaman penguasa kepada rakyatnya terkadang bukan karena mereka kuat dan hebat. Sebaliknya, justru karena kepanikan, ketakutan, kelemahan, bahkan awal dari kejatuhan.
Kapan dan kenapa Fir’aun tenggelam di Laut Merah (Red Sea)?
Kapan dan kenapa Namrud terbunuh oleh seekor nyamuk?
Kapan dan kenapa Tsamud binasa?
Kapan, kenapa dan bagaimana para penguasa zalim dalam sejarah hidup manusia mengalami kehancurannya?
ADVERTISEMENT
Al-Quran memberikan jawaban yang pasti. Bahwa kebinasaan dan kehancuran kekuasaan zalim dan keji itu terjadi di saat rintihan dan suara rakyat kecil tidak lagi terhiraukan. Di saat mereka yang lemah dan terzalimi mengadukan nasib mereka ke Penguasa langit dan bumi.
Di saat-saat seperti itulah tabir samawi akan terbuka. Lalu antara doa-doa dan rintihan mereka dan Allah tiada lagi yang membatasi. Allah akan membuka pintu-pintu “nushrohsamawi yang wujudnya kadang di luar jangkauan logika manusia.
Seringkali juga Allah tidak secara langsung menghabisi mereka. Justru diberi kesempatan demi kesempatan untuk sadar. Ini yang dikenal dalam istilah Al-Quran dengan “al-istidraaj”. Fir’aun misalnya diingatkan berkali-kali dengan berbagai bentuk peringatan (azab). Tapi peringatan itu tidak dihiraukan. Hingga pada akhirnya ditenggelamkan oleh Allah di laut merah.
ADVERTISEMENT
Tenggelamnya Fir’aun menjadi indikasi langsung bahwa kekuasaan itu, sekuat apa pun, jika kehilangan amanah dan keadilan akan tenggelam. Bisa secara fisik. Boleh juga secara non fisik. Secara fisik mungkin dengan terjungkalnya sang penguasa. Boleh juga tenggelam secara popularitas dan kecintaan publik. Yang pada akhirnya dibenci oleh rakyatnya sebenci-bencinya.
Karakter Fir’aun yang keras kepala di hadapan berbagai peringatan mengindikasikan bahwa harapan untuk penguasa zholim berubah itu sangat kecil. Apalagi jika penguasa itu dikelilingi oleh berbagai pihak yang memang kuat dan punya kepentingan. Fir’aun misalnya dikelilingi oleh Haman sang penjilat kekuasaan dan Qarun yang memiliki kepentingan ekonomi.
Dalam situasi seperti itu hanya intervensi Ilahi yang diharapkan. Dengan rintihan dan doa-doa tulus dari mereka yang “mahzluumiin” (terzalimi) Allah akan membuka pintu langit dengan ta’yiid (penguatan) dan “nashrun” (pertolongan) untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Hal yang harusnya disadari oleh semua kalangan adalah bahwa kezaliman penguasa terhadap rakyat kecil adalah jalan kebencanaan yang besar bagi sebuah bangsa. Karena rakyat adalah “ra’iyah” (terjaga atau terlindungi) yang seharusnya memang dijaga, digembala, diurus, diperhatikan. Bukan ditekan, disemena-semenakan, dan ditelantarkan demi kelanggenan kekuasaan itu sendiri.
Hanya saja, memang kekuasaan yang sedang mengalami kepanikan akan berbuat apa saja, bahkan terkadang di luar nalar atau logika sehat manusia untuk mempertahankan kekuasaannya. terkadang rasa malu itu menjadi semakin kecil. Kebohongan, sandiwara, tipuan, dan tidak jarang urusan rakyat banyak dijadikan “mainan” demi kepentingan semata.
Sebaliknya upaya koreksi kekuasaan oleh rakyat dibalik menjadi kejahatan, usaha penggulingan, dan lain-lain. Ini adalah realita Qurani: “dan jika dikatakan kepada mereka jangan merusak, mereka berkata kami ini orang-orang yang melakukan kebaikan” (Al-Baqarah:11).
ADVERTISEMENT
Perilaku irrasionalitas kekuasaan itu tergambarkan misalnya ketika Namrud terjepit oleh logika Ibrahim AS. Dengan arogansi dan perasaan menguasai segalanya dia menjerit bak kesurupan syetanuqtuluuhu wanshuruu alihatakum” (bunuh Ibrahim dan tolonglah tuhan-tuhan kalian).
Tapi konsistensi dan ketabahan Ibrahim di jalan kebenaran (Al-Haqq), seraya terus berjalan di lorong-losing juang itu,
Pada akhirnya menemukan buahnya. “Innni jaailuka linnaasi imaama” merupakan buah dari perjuangan panjang itu.
Dan karenanya di tengah derasnya ombak di jalan juang itu, teruslah mengayuh dengan sekuat mungkin. Seraya menjaga keseimbangan, bangun optimisme bahwa di ujung samudra luas itu ada pulau impian yang akan tercapai.
Innallaha laa yukhliful miiaad” (Allah takkan pernah ingkar janji). Percayalah!
Udara Macazzart, 22 Desember 2020
ADVERTISEMENT
* Imam di kota New York USA/Presiden Nusantara Foundation