Puasa Ramadan Melahirkan Kesungguhan dalam Pengabdian (20)

Shamsi Ali
Putra Indonesia ini merupakan Imam yang dihormati di AS. Dinobatkan sebagai salah 1 tokoh agama berpengaruh di New York.
Konten dari Pengguna
30 Mei 2019 11:34 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shamsi Ali tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Iktikaf Ramadan. Foto: ANTARAFOTO/Agung Rajasa
zoom-in-whitePerbesar
Iktikaf Ramadan. Foto: ANTARAFOTO/Agung Rajasa
ADVERTISEMENT
Di malam-malam terakhir bulan Ramadan, ujian semakin membesar. Kerap terjadi godaan dalam bentuk kegiatan-kegiatan yang justru merugikan. Di antaranya sebagian orang menyibukkan diri dengan ragam persiapan Idulfitri yang masih jauh harinya.
ADVERTISEMENT
Ada pula yang memang mengalami keadaan futuur (hilang semangat) di akhir-akhir Ramadan ini. Begitu semangat di awal, tapi kehilangan semangat di akhir Ramadan.
Mereka yang setengah menyerah di malam-malam akhir Ramadan ini mengalami kerugian yang sangat besar. Apalagi memang dalam pandangan Islam, amalan-amalan itu banyak dinilai pada bagian akhir.
Al-a’maalu bi khawaatiimiha” (bahwa amalan-amalan itu banyak ditentukan oleh bentuk akhirnya).
Sungguh sepuluh malam terakhir bulan Ramadan ini begitu mulia dan istimewa. Menyia-nyiakannya berarti menyia-nyiakan kesempatan emas yang Allah telah berikan kepada kita.
Salah satu amalan yang paling dianjurkan di sepuluh malam terakhir Ramadan adalah iktikaf. Sebuah amalan yang tidak pernah ditinggalkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya.
ADVERTISEMENT
Secara fikih, iktikaf dapat dipahami sebagai “berdiam diri di masjid sebagai ibadah karena Allah SWT”.
Definisi sederhana ini sesungguhnya menyimpulkan bahwa iktikaf adalah bentuk mujadah (kesungguhan) dalam meraih rida dan rahmat Ilahi.
Selain kesungguhan, amalan ini juga merupakan bentuk konsentrasi (menjauhkan diri dari berbagai gangguan) dalam beribadah kepada Allah selama hari-hari tersebut.
Rasulullah SAW menyunahkan kepada umatnya untuk beriktikaf selama sepuluh hari. Beliau pun melakukan hal yang sama. Bahkan di akhir-akhir hayat beliau, menurut riwayat yang lain, Rasulullah justru melakukan iktikaf selama 20 hari.
Dari praktik Rasulullah SAW, sebenarnya dipahami bahwa ajaran ini dimaksudkan untuk menghadirkan konsentrasi penuh dalam mujahadah menuju kepada taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah di sepuluh malam terakhir Ramadan.
ADVERTISEMENT
Saya tidak bermaksud mendiskusikan isu-isu fiqhiyah iktikaf. Tapi sekadar menyelami makna-makna yang terkandung di dalamnya. Dengan memahami makna-maknanya, amalan ritual yang agung ini tidak sekadar berakhir dengan hitung-hitungan pahala semata.
Ibadah-ibadah yang kita lakukan untuk sekadar pahala-pahala tidak memiliki nilai tambah (added value). Ibadah-ibadah itu seolah bagaikan sebuah 'jual-beli' yang kembali modal. Seolah-olah ibadah yang kita lakukan itu adalah barteran pahala dari Allah. Kita melakukannya karena mengharap diberi (rewarded).
Saya tidak mengatakan hal itu salah. Sebab hadis memang mengatakan bahwa dalam menjalankan ibadah, puasa misalnya, mengharap balasan itu wajar.
Rasulullah SAW bersabda: “Barang siapa yang berpuasa karena iman dan ihtisaaban (mengharap pahala) Allah mengampuni dosa masa lalunya”.
Kata ihtisaab mengilustrasikan seolah Allah ingin mengatakan, “Kamu lakukan, Aku bayar”.
ADVERTISEMENT
Ibadah-ibadah tersebut tidaklah salah. Bahkan menjadi penyebab ampunan. Tapi tidak memberikan dampak nyata dalam kehidupan pelakunya.
Iktikaf Ramadhan. Foto: ANTARAFOTO/Iggoy el Fitra
Tujuan Iktikaf
Pertama, iktikaf bertujuan untuk membangun kedekatan dan kebersamaan dengan Allah SWT. Ini adalah masa-masa terbaik untuk menyendiri, tanpa siapa dan gangguan apapun dalam kebersamaan dengan Allah SWT. Dengan kebersamaan ini seorang hamba akan menjadi kuat, damai, tenteram, tidak mudah goyah oleh guncangan hidup duniawi.
Kedua, iktikaf bertujuan membangun komitmen pengabdian (ibadah) dengan kesungguhan hati. Di saat inilah dunia untuk sementara dikesampingkan. Yang ada hanya jiwa ubudiyah kepada Allah SWT. Iktikaf mengajarkan agar kehidupan duniawi tidak seharusnya mengganggu hubungan kita dengan Allah SWT.
ADVERTISEMENT
Ketiga, iktikaf juga dimaksudkan ber-tafakkur. Tafakkur menjadi jalan yang mendasar dalam proses menemukan 'hidayah'. Tafakkur dan zikir adalah dua sayap yang membawa kita terbang menuju kebesaranNya. Momen iktikaf menguatkan keduanya.
Keempat, iktikaf juga dimaksudkan sebagai masa-masa introspeksi diri atau muhasabah, yaitu melakukan perhitungan terhadap diri sendiri.
Jika tafakkur berakhir dengan penemuan kebesaran Allah, maka muhasabah bertujuan untuk menemukan jati diri.
Kelima, iktikaf juga menjadi momentum untuk menemukan nurani kemanusiaan kita. Nurani itulah yang biasa disebut 'kata hati' yang selalu jujur. Dengan menemukan nurani, seseorang akan menjalani hidup dunianya dengan kejujuran (honesty).
Intinya, iktikaf adalah bagian dari proses membangun pribadi hamba yang solid. Bukan sekadar ritual yang seolah menjadi rutinitas tahunan di hari-hari terakhir Ramadan.
ADVERTISEMENT
Dan semoga Allah memberikan taufiiq-Nya kepada kita semua. Amin
Udara Doha-JFK, 30 Mei 2019
Penulis adalah Presiden Nusantara Foundation
Di bulan yang suci ini, khususnya di sepuluh malam terakhir, kami mengajak semua untuk menjadi bagian dari perjalanan dakwah ini.
Berikan donasi terbaik melalui:
Rekening rupiah:
Bank BNI Syariah(427) - 887000045
Bank Mandiri (008) - 1240000018185
An. Inka Nusantara Madani Bank Mandiri.
Jazakumullah khaer!