212 The Power of Love: Antirekonstruksi, Propaganda ala Pemenang

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
14 Mei 2018 17:18 WIB
comment
13
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★☆☆☆☆ | Shandy Gasella
212 The Power of Love (Foto: Dok, 212thepoweroflove.com)
“Film adalah potret peradaban sebuah bangsa, penanda sejarah yang menggambarkan seperti apa bangsa itu di masa tersebut,” demikian Usmar Ismail, Bapak perfilman nasional, pernah berujar pada suatu masa, hingga kemudian dibuatlah film ‘212 The Power of Love’ besutan Jastis Arimba yang mencederai cita-cita luhur Usmar Ismail tersebut.
ADVERTISEMENT
Film fiksi yang skenarionya berangkat dari ide cerita asli, bila ia ingin dianggap baik, setidak-tidaknya dapat memberikan referensi akan kondisi sosial yang sebenarnya terjadi di masyarakat, terlepas dari cerita filmnya yang fiktif, namun alam lingkungan yang menaungi sekaligus menjadi latar cerita seyogyanya merepresentasikan keadaan yang sebenarnya di situasi tempat dan pada suatu masa tertentu sesuai latar dalam filmnya sendiri.
Pun film dengan skenario yang berangkat dari kejadian nyata, memotret kondisi sosial lingkungan yang menjadi latar tentu saja menjadi sebuah keniscayaan.
Mengambil latar kejadian nyata yakni Aksi Bela Islam jilid 3, atau disebut juga Aksi Super Damai 212 yang terjadi pada hari Jumat tanggal 2 Desember 2016, yang mana merupakan lanjutan dari Aksi Bela Islam jilid 2 pada 4 November 2016 yang memiliki tujuan utama demi memenjarakan Basuki “Ahok” Tjahaya Purnama yang dianggap telah menodai agama Islam, khususnya penistaan terhadap Al-Quran surat Al-Maidah ayat 51.
ADVERTISEMENT
Kala itu Ahok yang sudah menjadi terdakwa, namun tidak ditahan (dipenjara), menyulut aksi lanjutan yakni Aksi 212 yang meminta agar Ahok segera dijebloskan ke penjara. Umat muslim dari berbagai penjuru tanah air tumpah ruah memadati Monas pada tanggal 2 Desember 2016.
Itulah konteks kejadian nyata yang melatarbelakangi kisah film ‘212 The Power of Love’ ini, konteks yang ternyata dikaburkan dalam film, digantikan oleh konteks lain yang sama sekali abstrak. Dalam film kita dipaksa untuk meyakini bahwa para umat Islam yang long march (pawai) ke Monas tersebut didasari satu tujuan dan bukan tujuan lainnya, yakni cinta… entah cinta terhadap apa; agama, ulama, politik(us).
Kita tak diberitahu secara pasti apa tujuan Aksi 212 tersebut, selain sepenggal kalimat yang diucapkan seorang tokoh dalam film, Kyai Zainal, kepada Rahmat, anaknya, yang mempertanyakan tujuan bapaknya yang ngotot pawai berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta, “Kamu mah tidak akan mengerti. Ini atas rasa cinta Abah.” Lantas, tanpa memahami konteksnya, kita diminta mengucap amin.
ADVERTISEMENT
Syahdan, Rahmat (Fauzi Baadila, 'Mengejar Matahari', 'I Am Hope'), seorang wartawan (katanya sih) terhebat di ibu kota, mesti pulang ke kampung halamannya di Ciamis, Jawa Barat, lantaran ibunya meninggal dunia. Pulang ke rumah adalah hal berat baginya sebab ia berselisih dengan ayahnya, Kyai Zainal (Humaidi Abbas). Tetapi, sebenarnya tak cuma dengan sang ayah, Rahmat bahkan pada dasarnya berselisih dengan semua orang. Di kantor ia berselisih dengan bosnya sendiri, juga dengan kawannya, Adhin (Adhin Abdul Hakim), fotografer berperawakan tinggi besar, gondrong, bewokan nan saleh.
Sosok Rahmat dikenalkan kepada kita sebagai orang berperangai keras, serius, urat lehernya menonjol manakala ia berbicara, dan tatapan matanya penuh sinis, nyebelin deh pokoknya. Beda dengan Adhin yang asyik, ceria, humoris, saleh pula. Terlepas dari perbedaan pandangan hidup, toh keduanya dikisahkan akrab menjalin tali silaturahim persahabatan.
ADVERTISEMENT
Pada sebuah adegan di awal film, Rahmat ditegur oleh Adhin lantaran isi artikel yang ditulisnya di majalah Republik tempat di mana mereka bekerja, dianggap telah menjelekkan citra Islam. Bosnya juga berpendapat demikian. Namun, anehnya artikel yang diprotes tersebut lolos juga dari meja editing redaksi hingga dimuat.
Padahal bila artikel tersebut dipermasalahkan semestinya di-review oleh editor/redaktur dan bisa saja tidak naik cetak bila dianggap tidak memenuhi kebijakan redaksi. Adegan tersebut ada sebatas untuk memberikan gambaran bahwa sosok Rahmat merupakan pribadi yang liberal, anti-Islam, sosok yang tidak memahami niat suci para peserta Aksi 411 (aksi sebelum 212).
Pun begitu kita tidak pernah tahu apa gagasan yang dituangkan Rahmat dalam artikel tulisannya, tak terukur nilai-nilai apa yang ia anut sebagai pijakan hidupnya, pun tingkat kecerdasannya tak teraba oleh indera kita. Beberapa kali kita mesti diingatkan bahwa dia adalah lulusan Harvard, Amerika, tahu kan? Pokoknya, dalam pemahaman duo penulis skenario film ini, Ali Eunoia (‘Bunda: Kisah Cinta 2 Kodi’) dan Jastis Arimba, lulusan Harvard berarti orang pintar, dan mereka merasa tak perlu (atau tak mampu) untuk menunjukkan isi pikiran si tokoh lewat dialog dan adegan.
ADVERTISEMENT
Di Ciamis, Rahmat bertemu dengan Yasna, muslimah cantik berhijab sekaligus kawan masa kecilnya. Adik Yasna, seorang pemuda rohis (diperankan oleh Hamas Syahid), tak senang kakaknya didekati Rahmat, maka ia pun melabraknya. “Saya tahu Akang orang seperti apa. Jauhi kakak saya. Akang teh perusak citra Islam!”
Serunya kepada Rahmat sambil memberitahu bahwa ia membaca majalah Republik -- yang ternyata bacaan mainstream, se-mainstream Kompas hingga di pelosok desa pun ada. Jangan heran bila kendaraan lapangan yang dipakai Rahmat untuk liputan adalah SUV mewah Ford Everest dengan banderol harga di atas Rp 400 Juta, sebab barangkali oplah majalah Republik memang besar hingga membuat kantor dan segenap karyawannya sejahtera. Wallahu a'lam bishawab.
“Saya lulusan Harvard, tahu kan?” Kata Rahmat kepada si pemuda rohis, lantas bertanya, “Kamu mau ngelanjutin kuliah di mana?” Si pemuda rohis menjawab, “Kairo, Mesir.” Sambil mendelik Rahmat menimpali dengan satu kata, “Keren!” Seperti itu dialog-dialog dalam film ini, nyaris tak memiliki fungsi berarti selain untuk menunjukkan bahwa mereka makhluk ciptaan Tuhan yang dapat berbicara.
ADVERTISEMENT
Struktur plot film ini sebenarnya mirip dengan film ‘Mencari Hilal’ karya Ismail Basbeth, premisnya juga mirip; seorang anak yang tak akur dengan bapaknya mesti pulang ke rumah lantas terjebak pada situasi yang mengharuskan keduanya untuk saling berinteraksi.
Dalam ‘Mencari Hilal’ sosok ayah-anak itu adalah Heli (Oka Antara) dan Mahmud (Deddi Sutomo), lewat penggarapan yang mumpuni, dibekali skenario tulisan Salman Aristo, Bagus Bramanti dan Ismail Basbeth, babak-bakak yang menghadirkan interaksi keduanya begitu kaya akan dialog yang memberikan pemahaman akan watak masing-masing tokoh, isi kepalanya, isi hatinya, tercurahkan dalam dialog dan gestur serta dalam bahasa gambar lainnya.
Konteks sosial di mana kedua tokoh tersebut hidup pun muncul, memberi warna dan melengkapi cerita film hingga reka percaya yang dihadirkan begitu mewakili keadaan yang sesungguhnya terjadi di masyarakat.
ADVERTISEMENT
Jastis Arimba tidak sepandai itu dalam mengemas film ini. Jauh, ibarat Bumi dan Planet Namek.
Kembali ke cerita film ‘212 the Power of Love’, alkisah Kyai Zainal bersikeras ingin pawai berjalan kaki dari Ciamis ke Jakarta. Rahmat dan Adhin ikut mendampingi sang ayah lantaran khawatir akan kondisi kesehatannya yang kian menurun. Di tengah perjalanan, dalam sebuah adegan diperlihatkan para rombongan tengah sholat berjamaah, kecuali Rahmat, ia tak ikut menjadi makmum.
Pengadeganannya sendiri dibuat dramatis, rombongan sholat dalam shaf yang teratur, berbusana koko dengan warna putih menjadi background adegan, lantas dalam foreground Rahmat muncul dari sisi kiri layar, berbaju warna hitam, ia membuka botol air kemasan lantas mengucurkan airnya membasuh wajahnya yang nampak lelah tersengat sinar matahari sepanjang hari. Tak ada seorang pun dari rombongan yang mengajak Rahmat untuk ikut sholat berjamaah, sebab dalam film ini, semua tokohnya digambarkan sebagai individu-individu yang toleran. Subhanallah.
ADVERTISEMENT
Juga dalam adegan-adegan lain, misalnya, ketika seorang tokoh wanita, teman seprofesi Rahmat, tengah meliput Aksi 212 di Monas, dalam sebuah adegan ia tampak ketakutan hingga kemudian papasanlah ia dengan beberapa peserta aksi, ia gelagapan sampai kemudian satu diantara peserti aksi tersebut berujar, “Tidak apa-apa, kami hanya ingin menawarkan makanan kepada Mbak. Silakan untuk meliput ya, Mbak.” Subhanallah, begitu damainya dan begitu bersahabatnya para peserta aksi 212 tersebut.
Kontras dengan apa yang menimpa seorang reporter Metro TV di kehidupan nyata ketika tengah meliput Aksi 212 tersebut dan dianiaya secara verbal oleh banyak sekali peserta aksi. Kisahnya sendiri menjadi viral. Maka, film ini dengan segala tawaran ceritanya dibuat seakan hanya untuk membuat masyarakat lupa akan kejadian yang sesungguhnya.
ADVERTISEMENT
Nyaris tak ada nilai artistik yang menonjol dari film ini, selain usahanya untuk menjual propaganda semata. Performa Fauzi Baadila sebagai tokoh utama menjadi kelemahan terbesar film ini yang nilainya setara dengan capaian-capaian teknis filmnya sendiri, yakni nihil. Betapa tidak, departemen kamera tak punya gagasan tertentu ihwal framing adegan, semuanya tampak awut-awutan tanpa pola tertentu yang terencana, gambarnya sendiri tak tersentuh seni pewarnaan tone, boro-boro memikirkan grading, nampaknya gambar yang penting terang pun sudah alhamdulillah.
Musiknya sungguh-sungguh berisik menggangu gendang telinga, minim harmoni dan tak memberi ritme apa-apa terhadap adegan selain memberikan satu-satunya fungsi yang dipahami oleh penata musik film ini; asal bunyi saja.
Saya ingin menutup review ini dengan kembali ke paragraf awal tulisan, sebab menurut teori penulisan jurnalistik yang saya pelajari, mestinya ada korelasi antara paragraf pembuka dengan paragraf penutup. Maka, dapat saya katakan film ini jelas tak bisa dijadikan referensi sebagai film yang dapat memoret peradaban sebuah bangsa, penanda sejarah yang menggambarkan seperti apa bangsa itu di masa tertentu.
ADVERTISEMENT
Di masa Aksi 212 yang terjadi pada 2 Desember 2016, di mimbar di atas panggung kita ingat bahwa tokoh-tokoh seperti Habib Riziq, Aa Gym, Opick, Ust. Arifin Ilham merupakan beberapa diantaranya yang sempat bersuara lewat mikrofon di hadapan jutaan umat Muslim yang hadir kala itu.
Tetapi, Kyai Zainal dari Ciamis, ayahanda Rahmat, tidak pernah mendapatkan kesempatan tersebut untuk berbicara di mimbar Aksi 212. Inilah kesalahan terbesar yang dilakukan Jastis baik sebagai penulis skenario maupun sutradara dengan mengarang atau mengubah kejadian yang sesungguhnya pernah terjadi.
Akan lebih kreatif bila ia misalnya mereka adegan di mana karakter Kyai Zainal misalnya bertegur sapa dengan Aa Gym, atau dengan Habib Riziq atau dengan tokoh siapa pun yang hadir di Aksi 212 tersebut, bila Anda pernah menonton ‘Forrest Gump’ yang dibintangi Tom Hanks tentu Anda tahu apa yang saya maksud. Apa yang dilakukan Jastis lewat film ini tentu tak jauh berbeda maknanya dengan berdusta.
ADVERTISEMENT
Sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
عَلَيْكُمْ بِالصِّدْقِ ، فَإِنَّ الصِّدْقَ يَهْدِيْ إِلَى الْبِرِّ ، وَإِنَّ الْبِرَّ يَهْدِيْ إِلَى الْجَنَّةِ
Hendaklah kalian selalu berlaku jujur, karena kejujuran membawa kepada kebaikan, dan kebaikan mengantarkan seseorang ke Surga.
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkan umatnya berlaku jujur dalam perkataan, perbuatan, ibadah, dan dalam semua perkara. Jujur itu berarti selaras antara lahir dan batin, ucapan dan perbuatan, serta antara berita dan fakta.
***
Untuk membaca review lain dari Shandy Gasella, klik di sini.