Avengers: Endgame, Film Pamungkas yang Emosional

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
29 April 2019 13:02 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★☆ | Shandy Gasella
Film 'Avengers: Endgame' dari Marvel. Foto: Marvel
Kulminasi dari 21 film sejak 'Iron Man' besutan Jon Favreau dirilis pada 2008, 'Avengers: Endgame' menutupnya bak season finale sebuah serial tv. Tetapi alih-alih lewat satu musim sebagaimana serial tv dihadirkan, penutup serial Marvel Cinematic Universe 'season 1' ini perlu 11 tahun untuk merangkum 21 film, dan memberi kita sebuah finale yang melampaui segala ekspektasi. Dalam sejarah perfilman, sejak film pertama kali ditemukan oleh Lumiere bersaudara, apa yang Disney/Marvel Studio lakukan, belum pernah dilakukan oleh studio manapun di dunia.
ADVERTISEMENT
Konon saat ini kita hidup di era terbaik, khususnya bagi para geek yang menyukai komik dan budaya pop Amerika.
“Ayo kita hajar si bajingan itu!” seru Steve Rogers atau Captain America (Chris Evans) kepada rekan-rekan sejawatnya, persis di awal film yang kembali dibesut oleh Anthony dan Joe Russo ini. Capt, tentu saja sedang ingin menghajar Thanos (Josh Brolin), si raksasa ungu yang dengan satu jentikkan jari tangannya, dapat menghapus setengah populasi dunia, di akhir film Avengers: Infinity War yang menggantung, tahun lalu.
Para korban, termasuk banyak di antaranya para pahlawan super kita, beberapa di antaranya sudah dijadwalkan bakal hadir kembali lewat film-film Marvel Studio di masa mendatang. Jadi, kita tahu, tanpa perlu di-spoiler, beberapa di antara mereka akan tetap hidup, sehat walafiat seperti sedia kala.
ADVERTISEMENT
Menekankan pada bagaimana beberapa karakter yang selamat dari jentikkan jari tangan Thanos, bagaimana mereka menghadapi rasa kehilangan, dan rasa bersalah, Endgame memberi kita 'akhir' yang elegan. Dibuka dengan adegan yang menghadirkan Clint atau Hawkeye (Jeremy Renner) sedang quality time bersama istri dan kedua anaknya, lantas mereka menghilang. Oops, spoiler!
Lantas ketika Scott Lang atau Ant-Man (Paul Rudd) juga mendapati bahwa anak dan istrinya ikut hilang bersama separuh penghuni bumi lainnya, film ini dimulai dengan benar! Kita diajak untuk ikut merasakan kepedihan yang dialami oleh para penyintas pasca-Infinity War. Endgame adalah film yang, bukan gelap, tetapi lebih ke abu-abu, sunyi, lebih banyak dialog, dan adegan aksi disimpan untuk sekuel pamungkas. Saya suka film yang seperti ini! Tidak melulu 'dar-der-dor' dan 'bak-bik-buk' sepanjang waktu.
ADVERTISEMENT
Tiga jam menonton film ini, di mana para aktor kaliber Oscar yang alih rupa menjadi karakter-karakter dunia komik yang sudah begitu kita akrabi ini, saling berinteraksi dalam situasi yang realistis (jarang film Marvel Studio dibuat se-membumi ini) adalah sesuatu yang — entahlah, bahkan kata 'fantastis' saya rasa kurang cukup mewakili. Kita perlu satu kosa kata baru yang merepresentasikan sesuatu yang melebihi kata 'fantastis' itu sendiri.
Thanos menjanjikan dunia yang lebih baik saat ia menjentikkan jarinya. Konon katanya, sumber daya alam akan lebih melimpah bagi manusia, tak perlu berebut. Manusia akan lebih bahagia. Tetapi, kenyataannya malah sebaliknya. Bumi menjadi rumah duka, semua orang di seluruh dunia berkabung dan menderita karena kehilangan orang-orang terkasih.
ADVERTISEMENT
Para Avengers yang tersisa, merasa bertanggung jawab secara pribadi serta merasa bersalah yang bercampur dengan duka. Ketika Steve Rogers atau Captain America menghadiri pertemuan support group (itu lho yang selalu ada di film-film Hollywood di mana orang-orang ngumpul di satu ruangan lalu mereka saling curhat), ia mencoba untuk meyakinkan semua orang bahwa mereka harus move on. Padahal ia sendiri tampak kesulitan untuk move on.
Film yang naskahnya ditulis oleh Christopher Markus (Captain America the First Avenger) dan Stephen McFeely (The Chronicles of Narnia: the Lion, the Witch, and the Wardrobe) ini, dipenuhi adegan-adegan emosional semacam itu. Dan itu memberi bobot lebih terhadap cerita secara keseluruhan.
Sulit mengelaborasi lebih jauh apa yang membuat film ini begitu istimewa tanpa membahas beberapa adegan atau plotnya secara lebih rinci. Padahal dalam mengulas film, plot, dan adegan memang perlu didedahkan. Tetapi, saya pun tak ingin dimarahi orang-orang akibat dianggap memberikan spoiler. Ribet ya.
ADVERTISEMENT
Tanpa menyebutkan nama karakter, ada satu dua, selepas film ini usai, tak akan kita jumpai kembali dalam film-film Marvel Studio di masa mendatang. Menyedihkan. Tetapi, seperti Steve Rogers bilang, hidup terus berjalan, dan kita mesti move on.