news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Kulari ke Pantai: Film Main-main dan Pura-pura

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
2 Juli 2018 17:20 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kulari ke Pantai (2018) (Foto: imdb.com)
zoom-in-whitePerbesar
Kulari ke Pantai (2018) (Foto: imdb.com)
ADVERTISEMENT
★★☆☆☆ | Shandy Gasella
Film anak-anak amat langka dibuat di negeri ini, barangkali lantaran tak banyak sineas yang paham betul untuk membuatnya. Terbukti, sejak kemunculan ‘Petualangan Sherina’ 18 tahun silam, setelahnya, jumlah film anak-anak yang diproduksi hingga kini tak melebihi angka 50-- bayangkan, dalam kurun waktu hampir dua dekade!
ADVERTISEMENT
Padahal, kemunculan ‘Petualangan Sherina’ dianggap sebagai kebangkitan perfilman nasional, kala itu penonton berbondong-bondong memasuki bioskop, disadarkan bahwa tontonan tak mesti melulu film Hollywood. Semua orang menyukai ‘Petualangan Sherina’ garapan Riri Riza itu.
Setelah ‘Petualangan Sherina’, toh tak setiap bulan kita dapat menjumpai film anak-anak, pun ketika ada, belum tentu ia dibuat dengan semangat pakem film anak-anak.
Untuk menyebut satu contoh terkini, ’Wondeful Life’ garapan Agus Makkie yang rilis dua tahun silam misalnya, mengisahkan tentang Aqil (Sinyo), seorang anak disleksia, mesti berkendara bersama ibunya (diperankan Atiqah Hasiholan) yang workaholic dalam rangka menemui sejumlah orang untuk menyembuhkan Aqil.
Di perjalanan ibu-anak yang sehari-hari jarang berkomunikasi ini kemudian berinteraksi. Tetapi, film ini lebih sering mengantarkan kisahnya lewat kacamata orang dewasa, yakni sang ibu, bukan Aqil.
ADVERTISEMENT
‘Wonderful Life’ hanya satu contoh, alih-alih menyuguhkan film untuk anak-anak dari perspektif mereka, banyak film anak-anak yang mengenakan sudut pandang orang dewasa dalam penceritaannya.
Tetapi, sesuai pepatah, membuat film yang simpel justru tidaklah simpel. Bahkan, bagi seorang sutradara kenamaan Riri Riza, alumnus IKJ yang sempat studi pada program master penulisan skenario di Royal Holloway, University of London, Inggris.
‘Kulari ke Pantai’ karya terbarunya ini, yang ditulis keroyokan bersama Gina S Noer, Mira Lesmana, dan Arie Kriting, memiliki masalah krusial. Selain sudut pandang, juga naskah skenario yang membawa cerita terseok-seok, tersendat di hampir banyak bagian hingga tak mengalir secara lancar.
ADVERTISEMENT
Film dibuka lewat opening title dengan animasi yang menampilkan ikon-ikon tema liburan seperti gambar mobil, jalanan, papan penunjuk jalan, dan musik up beat. Lantas dalam montase (dan musik masih kencang), tokoh utama kita, Sam (debut Maisha Kanna), cewek dalam seragam SD muncul, ia baru bubar sekolah, pamitan pada teman-temannya.
Saat pamitan itu, kita tahu lewat logatnya ia bukanlah anak Jakarta. Sepulang sekolah Sam lantas mengambil sepeda langsung menuju ke pantai. Sam anak pantai yang senang berselancar.
Ia tinggal di pesisir pantai Rote, Nusa Tenggara Timur, bersama kedua orang tuanya, Uci (Marsha Timothy, ‘Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak’, ‘Nada untuk Asa’), dan Irfan (Ibnu Jamil, ‘Bidah Cinta’, ‘Hari Ini Pasti Menang’), pasangan muda yang tampaknya sudah jengah dengan hingar bingar Jakarta.
com-Salah satu adegan syuting 'Kulari ke Pantai' (Foto: Pemkab Banyuwangi)
zoom-in-whitePerbesar
com-Salah satu adegan syuting 'Kulari ke Pantai' (Foto: Pemkab Banyuwangi)
Montase selesai. Di pantai, Sam dan kedua orang tuanya berbincang. Nenek Sam di Jakarta akan mengadakan jamuan pesta ulang tahun. Mereka merencanakan kepergian ke Jakarta.
ADVERTISEMENT
Tetapi tak cuma itu, Uci punya rencana perjalanan lain baginya dan Sam, yakni berkendara dari Jakarta sampai ke Banyuwangi demi Sam menemui idola peselancarnya di pantai G-Land.
Tanpa perlu ada adegan ke bandara, pun tanpa adegan pesawat mendarat di Cengkareng, adegan berikutnya yang kita temui, Sam dan keduanya sudah berada di dalam mobil di tengah-tengah kemacetan Jakarta.
Tentu saja adegan kemacetan itu belum sah tanpa ditekankan lewat dialog, “Duh, Jakarta macet.” Keluh Uci di dalam mobil mewah yang mengantar mereka ke rumah mewah orang tuanya.
Hidangan mewah tersaji di rumah nenek, di sana kita dipertemukan dengan Arya (Lukman Sardi, ‘Laskar Pelangi’, ‘Quickie Express’), kakaknya Uci, dan istrinya, Kirana (Karina Suwandi, ‘Dear Nathan, ‘Dear Love’), juga anak mereka sekaligus keponakan Uci, Happy (debut Lil’li Latisha), cewek seumuran Sam, namun dengan perangai tipikal anak ibu kota tajir yang penuh dengan previlage.
ADVERTISEMENT
Lewat sebuah adegan kita diperlihatkan bahwa Irfan tak disukai oleh Arya, pun anggota keluarga yang lain. Tak ada kehadiran Sam, Happy atau Uci dalam adegan ini, sudut pandang berpindah, entah punya siapa.
Jumpa pers film kulari ke pantai  (Foto: Munady)
zoom-in-whitePerbesar
Jumpa pers film kulari ke pantai (Foto: Munady)
Dari sini, saya mulai merasakan ketidakberesan bagaimana film ini mengantarkan narasinya, ternyata tak melulu melalui sudut pandang Sam, lebih sering acak, atau barangkali memang tak ada konsep sudut pandang dari satu atau dua tokoh utama film ini.
Adegan lantas berganti. Di hadapan banyak orang, Happy berulah dengan mengejek dan merendahkan Sam. Akibatnya, Arya dan Kirana berdiskusi serius di dalam kamar mereka merencanakan “hukuman” apa yang pantas diberikan kepada Happy untuk mengajarinya semacam cara bersikap menghormati orang lain.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi adegan ini tampil entah lewat sudut pandang siapa, padahal bila Happy ikut hadir di dalam kamar itu dan terlibat percakapan dengan kedua orang tuanya, itu akan memberikan rasa dan kesan tersendiri yang diperlukan, mengingat Happy bersama Sam merupakan tokoh utama film ini.
Happy akhirnya dihukum untuk ikut bepergian semobil bersama Sam dan Uci road trip ke Banyuwangi. Tentu saja Happy tidak happy. Dari sinilah kisah film sesungguhnya baru bergulir.
Kita tentu tahu film ini akan bercerita tentang bagaimana perjalanan tersebut pada akhirnya mengubah kehidupan para tokoh utama kita. Bagaimana kisah perjalanan tersebut disampaikan kepada kita adalah jualan utama film ini, dan ekspektasi saya tinggi mengingat nama-nama besar di belakang film ini.
ADVERTISEMENT
Plot film bergerak seiring dan sejalan dengan produk-produk yang mensponsorinya, dan banyaknya product placement di film ini bahkan melebihi jumlah sponsor film James Bond terakhir, ‘Spectre’ arahan Sam Mendes.
Banyaknya jumlah sponsor yang tak terhitung dalam film ini kemudian memaksa pembuat film untuk mengada-adakan sejumlah adegan yang sama sekali tak memberikan dampak signifikan terhadap cerita, pun juga terhadap perkembangan kakakter para tokoh film.
Sepanjang film kita akan disuguhi montase-montase, tentu saja sambil diiringi musik yang up beat atau soundtrack untuk mengakomodasi sejumlah product placement.
ADVERTISEMENT
Misalnya adegan di “pasir berbisik” Bromo yang mengharuskan adanya tokoh pendukung, seorang fotografer dengan kamera Sony-nya, yang keberadaannya hanya untuk “jualan” kamera Sony, sebab Fujifilm sudah dipegang Sam yang saban perjalanan menggunakannya sekali-sekali.
Montase adalah cara gampangan pembuat film dalam bercerita yang sangat saya benci kehadirannya, satu dua kali biasanya dapat saya tolerir, tetapi ‘Kulari ke Pantai’ memiliki banyak sekali montase yang mengkhianati tujuan montase itu sendiri dalam filmmaking.
Syukuran Film 'Kulari ke Pantai' (Foto: Sarah Yulianti Purnama/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Syukuran Film 'Kulari ke Pantai' (Foto: Sarah Yulianti Purnama/kumparan)
Montase yang menampilkan beberapa karakter berjalan mendaki bukit, musik up beat kencang mengiringi, lalu ditutup footage pemandangan alam, montase-montase semacam ini berkali-kali hadir, dan terlihat bahwa film ini terlalu bergantung pada musik dan original soundtrack demi menyembunyikan kelemahannya sendiri dalam mengantarkan narasi film.
ADVERTISEMENT
Kepiawaian penata gambar Aline Jusria (‘Sweet 20’, ‘Catatan Harian si Boy’) tak tampak kali ini. Ia gagal menyusun potongan demi potongan adegan hingga hasil akhir yang kita dapatkan adalah sebuah film yang kelamaan, membuat film ini jadi nampak seperti showcase pariwara terpanjang yang pernah saya saksikan sepanjang hidup saya.
Hanya ada satu babak dalam film ini yang saya apresiasi lebih, yakni ketika Uci, Sam, dan Happy, menginap di sebuah penginapan yang dikelola oleh Mukhidi (Dodit Mulyanto, ‘Mata Dewa’, ‘Susah Sinyal’).
Babak ini lucu luar biasa, dan terkesan hasil tulisan sendiri, barangkali salah seorang dari keempat penulis naskah skenario film ini, sebab selepas babak ini, tak ada satu pun adegan lain yang diselipi humor sebaik dan dalam selera humor yang sama.
ADVERTISEMENT
Memang kemudian ada satu tokoh pendukung lain bernama Dani (Suku Dani), turis bule yang pintar berbahasa Indonesia, yang hadir sebagai comic relief, tetapi keberadaannya berdiri sendiri dari plot, ia bisa dan selalu tiba-tiba ada out of nowhere, tanpa tujuan tertentu selain untuk melucu demi kelucuan itu sendiri.
Lil’li Latisha sebagai Happy tampil mengesankan. Keberadaannya membuat pengalaman menonton saya jadi sedikit lebih bearable. Maisha Kanna sebagai Sam, sang tokoh utama justru masih terlihat pura-pura.
Keberadaan Uci yang diperani Marsha Timothy kurang tergali, hampir tak ada kedalaman latar belakang dan dialog-dialognya mudah terlupakan begitu saja. Konfliknya bersama sang kakak, Arya, hanya diperlihatkan sekelebat, dan diselesaikan sekelebat juga hasil jerih payah lazy writing dari para penulis film ini.
ADVERTISEMENT
‘Kulari ke Pantai’ berada jauh di bawah kualitas ‘Petualangan Sherina’. Ironis, keduanya ditangani sutradara yang sama. Sayang, bakat, keahlian, dan idealisme yang sempat ditunjukkan Riri lewat sejumlah film seperti ‘Gie’, ‘3 Hari untuk Selamanya’, ‘Drupadi’, ‘Laskar Pelangi’, hingga ‘Athirah’, tak kembali ia perlihatkan kepada kita. Film “enteng”, kata dosen saya dulu ketika kuliah, tak lantas mesti dibuat secara enteng pula.