Lima: Falsafah Pancasila dalam Drama Keluarga

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
4 Juni 2018 10:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
LIMA (Foto: Akun official twitter @addiems )
zoom-in-whitePerbesar
LIMA (Foto: Akun official twitter @addiems )
ADVERTISEMENT
★★★☆☆ | Shandy Gasella
Ternyata judul 'Lima' dipilih bukan tanpa alasan, ialah untuk mewakili tawaran kisah film yang berangkat dari nilai-nilai Pancasila mulai dari sila pertama hingga sila kelima. Film ini juga disutradarai oleh lima orang yakni Shalahuddin Siregar (‘Negeri di Bawah Kabut’, ‘Represi’), Tika Pramesti (‘Sanubari Jakarta’), Lola Amaria (‘Labuan Hati’, ‘Jingga’), Harvan Agustriansyah (‘Pangreh’, ‘Hi5teria’), dan Adriyanto Dewo (‘Tabula Rasa’, ‘Sanubari Jakarta’).
ADVERTISEMENT
Biasanya film yang diarahkan oleh lebih dari dua orang akan berakhir menjadi omnibus (kumpulan film pendek dengan cerita masing-masing yang berbeda namun masih dalam satu tema), namun ‘Lima’ menjadi berbeda dari sebuah omnibus, sebab ia mengisahkan satu cerita utuh tentang sebuah keluarga.
Ketuhanan Yang Maha Esa
Film dibuka lewat pengenalan Bu Maryam (Tri Yudiman, ‘Yowis Ben’, ‘Toba Dreams’) yang tengah terbaring di rumah sakit. Adi (debut Baskara Mahendra), putra bungsunya, hadir di sisinya memberikan penghiburan. Sembari ngobrol dan bergurau, kuku-kuku jemari ibunya ia kutekin.
Hari itu Adi hadir untuk membawa ibunya pulang ke rumah, hingga datanglah seorang pendeta, bertanya apakah Bu Maryam mau didoakan terlebih dahulu sebelum ia pulang, dan mereka bersatu di dalam doa.
ADVERTISEMENT
Sesaat kemudian, adegan beralih ke kediaman Bu Maryam yang entah terletak di Jakarta bagian mana sebab sepanjang film terlihat begitu asri nan sejuk. Tiba di rumah, Bu Maryam malah menghembuskan napas terakhirnya.
Drama menegangkan lalu hadir manakala Bu Maryam mesti dikebumikan. Ternyata Bu Maryam seorang muslimah, hajjah pula.
Fara (Prisia Nasution, ‘Sang Penari’, ‘Merah Putih Memanggil’), anak sulung Bu Maryam, meminta Bi Ijah (Dewi Pakis) untuk mengurus penyolatan ibunya ke pengurus masjid, namun ditolak dengan alasan bahwa Bu Maryam pernah pindah agama (Kristen) sewaktu menikah dulu. “Tapi kan Bu Maryam sudah kembali menjadi Muslimah, hajjah pula.” Kata Bi Ijah kepada marbot Mesjid. “Tetapi mazhabnya beda!” Kilah sang marbot kemudian.
ADVERTISEMENT
Perkara penguburan Bu Maryam semakin pelik manakala Aryo (Yoga Pratama, ‘Bidah Cinta’, ‘Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak’), adik Fara yang beragama Kristen, ingin ikut turun ke liang lahat mengantarkan jenazah ibunya.
Fara menolak dengan alasan bahwa tata cara Islam melarangnya melakukan hal tersebut. Maka, terjadilah adu argumentasi antar kakak-adik yang berbeda agama yang tak hanya menegangkan, namun juga penuh keharuan.
Fara yang pada akhirnya luluh, duh… maaf, spoiler! Mengesampingkan keyakinan agamanya sendiri dan mengedepankan rasa kemanusiaan dengan merelakan sang adik turun ke liang lahat.
Walaupun ditentang juga oleh tantenya yang sholehah, Tante Ita (penampilan singkat nan mengesankan dari Ken Zuraida), menjadi highlight pesan penting yang ingin disampaikan pembuat film sekaligus mengkritik masyarakat yang masih kaku dan saklek dalam beragama.
ADVERTISEMENT
Barangkali segmen ini menjadi pemicu diberikannya rating Dewasa oleh Lembaga Sensor Film terhadap film ini, betapa tidak, sebab penggambaran kehidupan beragama yang ditampilkan memang dapat mengguncang jiwa-jiwa penonton yang masih berpikiran kolot dan sempit.
Pernahkah Anda menyaksikan film yang memperlihatkan adegan penguburan di mana ada seorang Kyai yang memimpin doa sekaligus ada pula di antara yang hadir berdoa dalam cara Kristen?
Babak awal pembuka film ini amat cermat ditulis oleh Sinar Ayu Masie ('3 hari untuk selamanya', 'Cinta Dari Wamena') dan Titien Wattimena (‘Dilan 1990’, ‘Salawaku’), juga sama cermatnya diarahkan Shalahuddin Siregar yang baru “hijrah” dari pembuatan film dokumenter ke film fiksi.
Adegan demi adegan tampil solid, mencengkeram, dan meninggalkan kesan yang akan lama sekali mengendap di benak kita. Untuk menyaksikan satu babak ini saja yang barangkali berdurasi sekitar 20-25 menit sudah cukup menjadi alasan untuk Anda pergi ke bioskop.
ADVERTISEMENT
Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
Disutradarai Tika Pramesti, babak ini fokus terhadap Adi yang masih dirundung kesedihan sepeninggal ibundanya. Alkisah di sekolah Adi tengah bermain piano sendirian di ruang musik, hingga datanglah dua temannya yang bandel mengusik dan mem-bully-nya.
Babak ini terlihat jomplang dibandingkan babak pembuka yang tampil begitu mengesankan baik dari segi penulisan naskah maupun penyutradaraan.
Adegan bully yang diterima Adi terasa mengada-ada, seakan pembuat film tak pernah duduk di bangku SMA dan mengalami bagaimana sesungguhnya kenakalan anak cowok di SMA -- bukan seperti yang tampil di film ini yang sekedar seolah-olah.
Mendengar dialog antara Adi dan teman bandelnya, juga bagaimana pengadeganan diarahkan meruntuhkan reka percaya yang sudah baik dibangun di awal film.
ADVERTISEMENT
Adegan berikutnya yang menampilkan Adi berdialog dengan seorang karakter yang lebih tua darinya di sebuah studio/toko musik, berbincang soal betapa sikap diam atau acuhnya kita manakala mendapati situasi, peristiwa, atau orang lain yang diperlakukan secara tidak baik, tak membuat keadaan menjadi lebih baik, dan kita tak jauh lebih baik dari orang yang menyengsarakan orang lain tersebut.
Semestinya adegan tersebut tak perlu ada bila fungsinya hanya sebatas menggurui soal mana yang baik dan mana yang batil. Berisik sekali, dan disampaikan dengan cara yang gak asyik. Padahal setelah adegan ini berakhir, kita masih diberikan adegan lain yakni tentang perwujudan pesan dalam adegan yang isinya ceramah tadi itu.
Sepulang dari toko musik tersebut, di tengah jalan Adi menyaksikan seorang cowok seumurannya dikejar-kejar massa. Adi kemudian ikut lari mengejar, namun bukan untuk menyerang melainkan untuk menolongnya dari amukan massa yang tak terkendali.
ADVERTISEMENT
Adegan ini lebih baik dalam menyampaikan pesan sila kedua Pancasila ketimbang adegan sebelumnya, sebab kita diperlihatkan -- bukan diceramahi, dan lagi pula film yang ideal kan “to show” not “to tell”.
Tapi, lagi-lagi cara Tika mengarahkan adegan kejar-kejaran antara maling dan massa masih terasa amatiran. Mengejar maling tapi massa dilengkapi senjata tajam layaknya para begundal sekolah yang suka tawuran.
Andai saja si korban yang dikejar ini dikisahkan seorang pelarian dari aksi tawuran, masih lebih masuk akal ketimbang menjadi maling.
Persatuan Indonesia
Disutradarai Lola Amaria, babak ini berfokus kepada Fara, seorang pelatih renang di sebuah klub yang mesti menentukan siapa atlet renang yang akan dikirim ke pelatnas. Pilihannya jatuh kepada Kevin (Raymond Lukman), atlet keturunan Cina yang ia anggap jauh lebih kompeten dan berdedikasi ketimbang Andre (Gerdi Zulfitranto), pilihan pemilik klub, yang memilihnya atas dasar preferensi kesukuan dan kepentingan pribadi demi menyenangkan calon sponsor.
ADVERTISEMENT
Babak ini tampil laiknya babak pembuka, kisah yang disampaikan utuh dan meyakinkan, naskah skenario dan penyutradaraan kembali cemerlang. Lola berhasil mengarahkan Prisia bersama dua aktor pendatang baru Raymond dan Gerdi, hingga interaksi di antara mereka terlihat begitu wajar dan luwes.
Pesan sila ketiga Pancasila disampaikan dengan cukup baik, dan tak ada ceramah di segmen ini; syukur alhamdulillah.
Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan/Perwakilan
Disutradarai Harvan Agustriansyah, segmen ini menjadi penawar di kala kita tegang disuguhi drama serius sedari awal, lalu tiba-tiba kita diajak santai sejenak dan melemaskan urat-urat syaraf dengan sedikit tawa. Seorang notaris (Rangga Joned, ‘Sanubari Jakarta’, ‘Kisah 3 Titik’), datang menemui Fara, Aryo, dan Adi untuk membicarakan pembagian warisan yang ditiggalkan Bu Maryam untuk mereka.
ADVERTISEMENT
Tensi antara kakak-adik memang masih tegang, terlebih Adi yang merasa belum siap membicarakan warisan di kala ia masih dalam suasana duka. Aryo membujuknya untuk mau bermusyawarah, namun malah dicurigai oleh Adi bahwa ia sedang kepepet butuh uang lantaran bisnis usahanya hancur.
Adegan dipenuhi dialog sahut-sahutan antara kakak-adik yang terasa amat nyata seperti dalam keseharian, dan sampai di sini duo penulis naskah betul-betul melakukan kerja yang mumpuni. Penampilan Yoga Pratama, Prisia Nasution, dan Baskara Mahendra kembali hadir secemerlang penampilan mereka di awal film.
Kehadiran Joned membawa gelak tawa, elemen film yang saya nanti-nantikan, namun baru muncul di separuh akhir durasi film.
Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
Bi Ijah tiba-tiba kangen kampung halamannya di Bandung. Maka, berangkatlah ia meninggalkan Fara, Aryo, dan Adi. Semua merasa kehilangan lantaran Bi Ijah sudah seperti anggota keluarga sendiri. Tadinya saya kira segmen penutup film ini akan berkisah soal Bi Ijah, namun ternyata bukan.
ADVERTISEMENT
Segmen terakhir yang disutradarai Adriyanto Dewo ini ternyata mengisahkan cerita dua anak Bi Ijah yang kedapatan mencuri buah kakao di sebuah perkebunan, lantas ia didakwa di hadapan persidangan. Segmen ini tak saya duga-duga, terlalu ujug-ujug.
Kita tak diberitahu sebelumnya ihwal Bi Ijah yang mempunyai dua orang anak di kampung. Semestinya di separuh awal atau tengah, kita diberikan secuil informasi ihwal keberadaan dua anak Bi Ijah ini.
Informasi itu bisa disajikan sekilas-sekilas saja agar kita dapat menebak-nebak siapa mereka hingga tibalah saatnya kisah mereka disampaikan di akhir film, bukan tiba-tiba begitu saja mereka ada, hingga membuat segmen terakhir ini menjadi yang paling berjarak, tak menyatu dengan keseluruhan plot utama film ini.
ADVERTISEMENT
Sinar Ayu Massie dan Titien Wattimena tidak cukup konsisten secara cermat membangun babak demi babak hingga keharusan cerita yang dibagi per segmen yang berangkat dari falsafah Pancasila terakomodasi dengan baik.
Naskah skenario terasa ditulis dengan tergesa-gesa -- untuk tak menyebutnya kurang teliti, khususnya untuk dua segmen yakni yang disutradarai Tika Pramesti dan Adriyanto Dewo.
Bukan film yang jelek, terlebih sebagai film yang memilki misi memberikan pesan moral secara literal, ‘Lima’ cukup enak dinikmati dan masih lebih baik ketimbang sejumlah film lain yang tengah tayang berbarengan.
***
Untuk membaca ulasan film lainnya dari Shandy Gasella klik di sini.