'Arini': Kacamata yang Hilang dan Kompromi Ismail Basbeth

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
6 April 2018 14:10 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Poster Film Arini (2018) (Foto: Max Pictures)
zoom-in-whitePerbesar
Poster Film Arini (2018) (Foto: Max Pictures)
ADVERTISEMENT
Rating 2,5/5 -- Shandy Gasella
Arini (Aura Kasih, '3 Cewek Petualang', 'Surat Kecil untuk Tuhan') tengah membaca buku, duduk sendirian menyisakan tiga kursi kosong dalam sebuah perjalanan kereta di Jerman. Lantas seorang cowok oriental--kemudian akan kita ketahui namanya sebagai Nick (Morgan Oey, ‘Ngenest’, ‘Mooncake Story’)--tiba-tiba mengambil kursi kosong di samping Arini.
ADVERTISEMENT
Nick sok asik meminta pertolongan Arini untuk berkonspirasi agar manakala petugas pemeriksa tiket di kereta datang. Ia yang bermaksud untuk bersembunyi di toilet (kita mesti bangga, di Indonesia sendiri petugas KAI selalu menangkap basah pelaku modus ini--sedangkan orang Jerman di film ini menjadi terlihat bodoh) meminta Arini untuk kemudian mengetuk pintu toilet sebagai kode jika si petugas sudah meninggalkan gerbong.
Sebelum Nick melarikan diri ke toilet, ia menitipkan tas ranselnya dan berpesan kepada Arini agar mengatakan kepada petugas pemeriksa tiket bahwa tas tersebut milik Arini, bila ia sampai ditanya oleh si petugas. Arini tampak acuh, tapi juga seolah mengiyakan segala permintaan Nick, orang asing yang tak ia kenal sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Selang beberapa waktu petugas pemeriksa tiket datang menghampiri Arini, memeriksa tiketnya dan memberikan validasi dengan cara melubangi tiketnya sebagai tanda tiket telah diperiksa dan sah.
Si petugas tak bertanya soal keberadaan tas ransel yang terletak di atas kursi, dan pada saat ia meninggalkan gerbong pun ia tak memeriksa toilet untuk memastikan tak ada penumpang gelap yang bersembunyi di dalamnya. Lalu Nick keluar sendiri dari toilet tanpa diberi aba-aba atau kode ketukan pintu apa pun. Ia tahu persis bahwa si petugas sudah pergi menjauh.
Lantas apa tujuannya mendatangi Arini meminta pertolongannya, bila pada kenyataannya ia dapat mengatasi segala persoalan itu sendiri?
Janggal bukan? Begitulah film ‘Arini’ garapan Ismail Basbeth (‘Mencari Hilal’, ‘Another Trip to the Moon’) ini dibuka, langsung memberikan perkenalan kepada dua tokoh utama kita, Arini dan Nick.
ADVERTISEMENT
Adegan pembuka yang barangkali dimaksudkan untuk terlihat manis tentang bagaimana kedua tokoh tersebut bertemu pertama kali, dan satu di antara mereka jatuh cinta pada pandangan pertama. Semanis kelihatannya, namun penulis naskah Titien Wattimena ('Dilan 1990', 'Mengejar Matahari') dan Ismail sendiri baik sebagai co-penulis sekaligus sutradara gagal menyampaikan adegan pembuka tersebut untuk terlihat wajar dan masuk akal.
Dan bagaimana adegan di menit-menit awal dieksekusi adalah penting, setidaknya bagi saya. Bila permulaan sebuah film tak memberikan kesan yang baik, yang mana itu yang terjadi dengan film ini, saya menjadi cenderung sulit untuk diyakinkan kembali lewat adegan-adegan berikutnya. Dan sebagian besar adegan berikutnya dalam film ini tak lebih baik dari adegan pembukanya tadi.
ADVERTISEMENT
‘Arini’ adalah film buat ulang atau bisa juga diakui sebagai adaptasi terbaru dari novel karya Mira W bertajuk ‘Masih Ada kereta yang Akan Lewat’. Pada tahun 1987 adaptasi film pertama dari novel tulisan Mira W tersebut dibuat dengan judul ‘Arini (Masih Ada Kereta yang Akan Lewat)’ garapan Sophan Sophiaan dibintangi Widyawati sebagai Arini, Rano Karno sebagai Nick, Sophan Sophiaan sebagi Helmi, dan Joice Erna sebagai Ira.
Sejatinya kisah melodrama dalam novel ‘Arini’ ini terbilang pelik dan berbelit penuh intrik. Saya tak akan mengulas bagaimana Sophan Sophiaan mengadapatasinya ke dalam film, namun di tangan Ismail Basbeth, kisah kehidupan Arini yang penuh lika-liku dan pelik tersebut kandas, tergantikan oleh kesederhanaan plot yang fokus hanya pada Arini dan Nick ala ‘Dilan 1990’.
Cast Film Arini, Aura Kasih dan Morgan Oey (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Cast Film Arini, Aura Kasih dan Morgan Oey (Foto: Iqbal Firdaus/kumparan)
Alkisah Arini muda (25 tahun) dijerumuskan oleh sahabatnya sendiri, Ira (Olga Lydia, 'Perfect Dream', 'Xia Aimei'), agar mengawini pacarnya sendiri, Helmi (Haydar Salishz, 'The Window', 'Marlina si Pembunuh dalam Empat Babak'), demi menutupi perselingkuhan antara Ira dan Helmi. Ira sendiri sudah bersuamikan orang lain. Nah, agar si suami Ira ini tidak mengendus perselingkuhannya dengan Helmi yang kala itu masih bujangan, dibuatlah agar Helmi menjadi suami orang--kebetulan Arini yang ketiban sial.
ADVERTISEMENT
Premis novelnya sendiri sesungguhnya menggelikan--memang bila Helmi bukan bujangan (sudah beristri), apakah lantas ia tak bisa dicurigai atau tak bisa jadi selingkuhan istri orang lain? Tapi, mari kita lupakan itu sejenak.
Setelah tahu bahwa Arini telah diperalat dan dibodohi, Arini minta cerai. Ia lantas (barangkali) menyibukkan diri dengan pekerjaan, dan 13 tahun kemudian, saat berusia 38 tahun, ia berada di Jerman tengah meyelesaikan studinya. Di sanalah, di dalam kereta, ia bertemu Nick, mahasiswa bengal 23 tahun yang sedang mabal kuliah demi backpacking mengitari Eropa.
Aura Kasih yang berusia 30 tahun ditantang untuk memerankan Arini, wanita tegar nan mandiri namun terbelenggu trauma mendalam terhadap cinta berusia 38 tahun. Ia terbilang total berakting dan memberikan kemampuan terbaiknya di film ini.
ADVERTISEMENT
Gerak-geriknya, raut muka, dan cara ia berbicara amat meyakinkan sebagai sosok yang ia perankan. Hanya penampilan fisiknya saja yang saya rasa kurang pas. Lewat adegan-adegan flashback yang memperlihatkan dirinya kala berusia 25 tahun, hampir tak ada perbedaan fisik yang siginifikan dengan dirinya yang berusia 38 tahun. Jelas produser film ini tidak menyisakan bujet sedikit pun untuk departemen Make-up.
Atau yang paling sederhana yang dapat dilakukan untuk mengakalinya, dan hal ini dilakukan oleh Sophan Sophiaan ketika mengarahkan film ‘Arini’ (1987), aktris Widyawati yang berperan sebagai Arini mengenakan kacamata untuk memberi ilusi bahwa karakternya ialah sosok wanita paruh baya, dan itu berhasil. Kacamata yang dipakai Widyawati memberikan bobot tersendiri yang mampu membuat penampilannya sebagai wanita karir yang matang menjadi kuat sebagai karakter.
ADVERTISEMENT
Pada film lanjutannya, ‘Arini 2 (Biarkan Kereta Api itu Lewat)’ (1988) yang kemudian diarahkan Wim Umboh, dan peran Arini yang sebelumnya dimainkan Widyawati lantas digantikan Ida Iasha, sutradara sekaliber Wim Umboh pun tahu fungsi kacamata bilamana dipakai oleh wanita, maka Ida Iasha pun memakai kacamata ketika melakoni perannya sebagai Arini.
Seperti Widyawati, Ida Iasha menjelma menjadi sosok wanita dewasa yang elegan sekaligus seksi--berkat kacamata yang dikenakannya. Sayang, Ismail Basbeth tidak menyadari akan hal ini.
Sementara itu, Morgan Oey memerankan Nick si cowok berondong juga dengan begitu luwes tanpa pernah sedikit pun terlihat kesusahan berusaha, dari menit awal hingga pengujung film, dan kehadirannya dalam setiap adegan begitu mudah disukai; karakternya menyenangkan, betul-betul ibarat prototipe pacar imajinasi setiap cewek yang menginginkan sosok kekasih muda nan romantis dan humoris dan juga ganteng dalam satu paket combo.
ADVERTISEMENT
Tetapi, Morgan baru sampai pada level membuat karakter yang dimainkannya ini likeable, hanya sebatas menjadi disukai lewat pesona dan karismanya. Sejak debutnya lewat ‘Assalamualaikum Beijing’ (2014) lantas diikuti ‘Ngenest’ (2015), Morgan menjadi satu dari sedikit aktor yang karismatik yang kita miliki di industri film tanah air.
Namun, kemampuan aktingnya masih perlu dipoles lagi. Sepanjang film saya tak merasakan atau diyakinkan bahwa ada energi cinta heteroseksual antara Nick dan Arini.
Morgan sebagai Nick yang dikisahkan mengaku jatuh cinta dan tergila-gila terhadap Arini tak terlihat dari sorot matanya. Ini berbeda dengan apa yang dilakukan Rano Karno lewat peran yang sama dalam ‘Arini’ (1987), binar mata Rano Karno kala beradu dialog dengan Widyawati di film itu terlihat meyakinkan sebagai sosok pemuda yang betul-betul jatuh cinta. Penampilan Morgan Oey sebagai Nick di film ini lebih terasa seperti BFF-nya Arini.
ADVERTISEMENT
Sungguh sebuah kesempatan yang sayangnya kurang ditanggapi baik oleh Ismail Basbeth pasca ‘Mencari Hilal’, lewat film tersebut kita tahu bahwa Ismail memiliki potensi besar sebagai sineas yang memiliki visi dan idealisme yang baik, sebelum akhirnya kita tahu bahwa visi dan idealismenya tersebut dapat dikompromikan, terbukti misalnya lewat ‘Talak 3’. Harapan saya besar ketika tahu ia akan menggarap film ini, dan harapan saya kandas begitu saja di menit pertama film ini bergulir.
Tentu saja naskah skenario film ini menjadi kambing hitam segala kesalahan yang dapat kita tunjuk padanya. Sebab bagaimana tidak, hampir semua karakter dalam film ini tampil artifisial, tanpa dimensi dan tidak disertai setting yang mendukung keberadaan mereka dalam semesta film yang dibangunnya.
ADVERTISEMENT
Pengarang skenario film ini dijangkiti penyakit yang sama seperti kebanyakan pengarang skenario lain; gagal membangun “world building” tempat di mana para karakter ini hidup. Siapa Nick ketika ia tak sedang bersama Arini? Atau siapa Arini ketika ia tak sedang berada bersama Nick? Apa yang mereka lakukan?
Dalam sebuah adegan Nick menyindir Arini menyebutnya sebagai orang yang tak punya teman, "Kalau kau mati, pemakamanmu akan sepi!" Cibirnya, tetapi kenyataannya Nick sendirilah yang tak punya teman! Pengarang skenario gagal memberikan background cerita di balik karakter Nick yang keberadaannya penting di film ini.
Tak ada argumen atau bukti adegan kongkrit yang mendukung gagasan bahwa ia cinta mati terhadap Arini selain lontaran-lontaran gombalnya. Kita tak tahu bagaimana sosoknya ketika ia tengah sendiri.
ADVERTISEMENT
Ini berbeda dengan apa yang dilakukan Eddy Suhendro (‘Taksi’, ‘Di Ujung Malam’), pengarang skenario ‘Arini’ arahan Sophan Sophiaan yang mampu memberikan sedikit dimensi dan world building di balik karakter Nick yang di film itu dikisahkan sebagai pemuda pemberontak yang ingin lepas dari proteksi keluarganya yang konservatif. Ada motif dan alasan-alasan tertentu yang menjadikan Nick sebagai karakter yang demikian di film itu.
Satu-satunya usaha yang dilakukan pembuat film ini dalam rangka memberikan secuplik gambaran latar belakang Nick adalah dengan menghadirkan adegan makan malam antara Nick dan Arini bersama kedua orang tua Nick.
Adegan tersebut gagal memberikan latar belakang karakter Nick sebagai seorang anak, gagal memberikan gagasan ihwal siapa Nick sesungguhnya sebagai seorang cowok berusia 23 tahun. Satu-satunya fungsi keberadaan adegan tersebut--Anda mesti menontonnya untuk memastikannya sendiri--adalah untuk menunjukkan kepada kita bahwa Nick adalah anak adopsi -- entah sipit matanya turunan dari siapa, kedua orang tuanya tak nampak oriental.
ADVERTISEMENT
Bila karakter sepenting Nick saja diperlakukan seperti itu, jangan harap karakter lain diperlakukan lebih; karakter Helmi dan Ira sama sekali tak signifkan keberadaannya--bila mereka tak ada, kisah percintaan Arini dan Nick masih akan semanis itu--seperti Dilan dan Milea. Olga Lydia didapuk memerankan Ira seolah karena ia memiliki kemiripan dengan Joice Erna pemeran Ira dalam dua film ‘Arini’ terdahulu. Baik Ira dan Helmi keduanya ditulis sealakadarnya.
Ismail Basbeth mengeksekusi adegan demi adegan film ini seolah dengan satu instruksi kepada kru; “Tolong kasih sedikit cita rasa film Wes Anderson yo!” Banyak shot dengan komposisi simetris yang dapat kita jumpai d film ini dengan setting yang diset oleh art director dengan satu referensi; furnitur yang tampil mesti ala IKEA. Imbasnya, membuat film jadi terlihat semakin artifisial. Betul-betul sulit bagi saya untuk mempercayai bahwa para karakter di film ini hidup di dunia yang nyata.
ADVERTISEMENT
‘Arini’ bukan film yang jelek, masih ada bagian-bagian yang mampu mengundang gelak tawa (terima kasih kepada Morgan), tetapi juga bukan film yang mengesankan. Sekali tonton, film ini bakal terlupakan begitu saja, dan orang tak akan membicarakannya lagi sesudahnya.