Solo: A Star Wars Story, Film yang Tak Perlu Dibuat

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
26 Mei 2018 11:09 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Solo: A Star Wars Story. (Foto: Dok. Movie Poster)
zoom-in-whitePerbesar
Solo: A Star Wars Story. (Foto: Dok. Movie Poster)
ADVERTISEMENT
★★☆☆☆ | Shandy Gasella
‘Solo: A Star Wars Story’ menjadi film kedua setelah ‘Rogue One: A Star Wars Story’ (Gareth Edwards, 2016) dalam antologi kisah sampingan di luar kisah utama ‘Star Wars’ yang senatiasa dijadwalkan hadir setiap dua tahun sekali semenjak ‘Star Wars: Episode VII - The Force Awakens’ garapan J.J. Abrams dikenalkan kepada penonton generasi baru pada 2015 silam. Ada gap 10 tahun antara tahun perilisan ‘The Force Awakens’ dengan ‘Star Wars: Episode III - Revenge of the Sith’ yang dirilis pada 2005.
ADVERTISEMENT
Setelah dibelinya Lucasfilm oleh Disney di tahun 2012 dengan mahar sebesar 4 miliar dolar AS, Disney mau tak mau harus segera memonetisasi properti barunya tersebut, di antaranya dengan merilis satu film ‘Star Wars’ setiap tahun, yang imbasnya menjadikan momen perilisan film ‘Star Wars’ menjadi kurang greget lagi. ‘Star Wars’ menjadi tak lebih istimewa ketimbang film-film blockbuster lain yang setiap minggu dirilis di bioskop-bioskop kesayangan.
‘The Force Awakens’ secara umum lumayan disambut baik oleh penonton, ‘Rogue One’ juga mendapatkan tanggapan yang lumayan baik dari penonton awam maupun fanboy 'Star Wars' dan kritikus. ‘Star Wars: Episode VIII - The Last Jedi’ membelah fanboy ke dalam dua kubu, satu kubu menyukainya, kubu lainnya begitu membencinya. Saya termasuk ke dalam kubu yang pertama, masa bodoh dengan para hater ‘The Last Jedi’, tetapi perlu saya katakan bahwa ‘Solo: A Star Wars Story’ ini jelek luar biasa!
ADVERTISEMENT
Konon, sebuah resensi film tak elok menghakimi sebuah film dengan label jelek atau bagus, seyogyanya ia hanya mengulas bagian-bagian mana yang menarik, mana yang lemah, dan biarkan pembaca atau penonton sendiri yang menghakiminya kemudian. Tetapi, saya sedang bermurah hati, agar Anda tak perlu repot ikut menimbang-nimbang kualitas film ini, saya katakan dengan mantap bahwa film ini jelek dan membosankan. Tentu saya punya alasan.
Han Solo di Millenium Falcon (Foto: Lucasfilm)
zoom-in-whitePerbesar
Han Solo di Millenium Falcon (Foto: Lucasfilm)
Tak selamanya film jelek itu membosankan, dan tak selalu film membosankan itu berarti jelek, tetapi dua predikat tersebut tersemat dalam film ini. ‘Solo: A Star Wars Story’ menjadi salah satu film yang memiliki pacing (tempo) terburuk yang pernah saya saksikan dalam sebuah film blockbuster yang dirilis setidaknya dalam kurun 10 tahun terakhir ini. Berdurasi sekitar 2 jam 15 menit, tetapi rasanya seperti menonton sebuah film drama cinta Bollywood yang berdurasi 3,5 jam tetapi tanpa adegan tari dan nyanyi--apa serunya?
ADVERTISEMENT
Naskah skenario yang ditulis ayah-anak Lawrence Kasdan (‘Star Wars: Episode V - The Empire Strikes Back’, ‘Star Wars: Episode VI - Return of the Jedi’) dan Jonathan Kasdan (‘In the Land of Women’) ini seolah tidak memiliki tujuan menceritakan narasi yang terstruktur dengan baik. Alih-alih menyajikan plot yang terencana yang saling membangun dari satu plot ke plot lain, kita malah disodori serangkaian montase, kisah-kisah pendek tersendiri atau cuplikan-cuplikan aksi terbaik Han Solo yang kemudian dirajut sedemikian rupa agar tampak seperti sebuah kisah film dalam tiga babak khas Hollywood. Tetapi, nyatanya bukan itu yang terjadi.
Para fanboy ‘Star Wars’ baik yang kini sudah tua renta maupun yang masih muda belia memiliki perdebatan atau teori ihwal bagaimana "Jalur Kessel" yang melegenda itu dilalui Han dengan Millenium Falcon kurang dari 12 parsec, bagaimana pula Han mendapatkan Millenium Falcon-nya, para fanboy atau bahkan sekedar penonton biasa sudah tahu tonggak-tonggak legenda tersebut melalui trilogi awal ‘Star Wars’, satu-satunya hal yang paling penting tentang film ini adalah, bagaimana semua legenda tentang Han diperlihatkan kepada kita?
ADVERTISEMENT
Selama ini, ‘Star Wars’ memiliki keajaiban yakni membuat penontonnya tidak mengetahui apa yang mereka harapkan ketika tengah menonton, lantas setiap kali mereka selesai menonton satu Episode ‘Star Wars’ mereka dibuat untuk menganlisis sendiri atau bersama teman-teman. Bahkan ‘The Last Jedi’ pun masih memiliki keajaiban itu, ia masih punya elemen kejut dan selepas film berakhir menggoda penonton untuk mengira-ngira apa atau bagaimana kisah selanjutnya akan bergulir.
Dengan ‘Solo: A Star Wars Story’ yang dibesut Ron Howard ('A Beautiful Mind', 'Apollo 13') ini, keajaiban itu hilang. Kita sudah tahu bahwa Han dan Chewie akan selamat dan baik-baik saja sampai film berakhir, kita tahu bahwa Han bukanlah sosok pahlawan yang lurus-lurus saja seperti Luke, ia seorang kriminal, pemberontak, dan akhirnya menjadi seorang penyelundup paling legendaris di semesta ‘Star Wars’, tetapi ia juga baik hati.
ADVERTISEMENT
Kita tahu dia akan mendapatkan Millenium Falcon di film ini, kita tahu wanita yang dicintainya adalah Leia Organa, bukan Qi’ra atau "The Mother of Dragons". Tidak ada misteri di sini, makanya banyak pula yang berpendapat bahwa film ini sesungguhnya tidak perlu ada.
Bukan hal yang sulit dan mustahil untuk membuat film yang mengisahkan kehidupan awal seorang tokoh ikonik macam Han Solo yang karakter dan sekilas kehidupannya kita sudah ketahui (makanya ia disebut ikonik). Ambil contoh bagaimana James Bond dikisahkan sebelum ia menjadi James Bond Agen 007, dalam film ‘Casino Royale’ (Martin Campbell, 2006).
Han Solo muda diperankan Alden Ehrenreich (Foto: Lucasfilm)
zoom-in-whitePerbesar
Han Solo muda diperankan Alden Ehrenreich (Foto: Lucasfilm)
Film tersebut menjadi contoh yang sahih bagaimana cara untuk menunjukkan awal mula James Bond menjadi James Bond si Agen 007 seperti yang kita kenal. Ketika film dimulai, James belum lah menjadi karakter yang kita kenal selama ini, ada serangkaian peristiwa dan kontribusi orang-orang di sekitarnya yang pada akhirnya mengubahnya. Baru di pengujung film, James memperkenalkan dirinya sebagai “James Bond” dalam gaya penyebutan namanya yang ikonik itu. Selepas film usai kita tahu dan mafhum mengapa ia menjadi tokoh James Bond dengan segala perangainya itu, tidak ujug-ujug demikian.
ADVERTISEMENT
Sementara ‘Solo: A Star Wars Story’ dikisahkan tidak dalam gaya ‘Casino Royale’, atau barangkali karena penulis naskahnya minim referensi, bisa jadi juga mereka belum pernah menonton ‘Casino Royale’ -- apa pun itu, film ini yang jelas kesulitan menemukan bentuknya sendiri untuk menjadi medium pengenalan akan karakter Han lantas menjadikannya menarik.
Usaha terbaik pembuat film ini pada akhirnya hanya sebatas melakukan fan service demi fan service dengan memberikan adegan-adegan yang menampilkan Han Solo bergaya dalam pose-pose ikoniknya seperti berkacak pinggang khas Koboy itu, dan adegan semacam ini diulang-ulang terus. Parahnya, kita tidak pernah diberi konteks mengapa ia demikian, apa yang membuatnya begitu. Han Solo dalam film ini pada dasarnya adalah orang dengan watak yang sama dari awal hingga akhir film!
ADVERTISEMENT
Sementara James Bond dalam ‘Casino Royale’, lihat hubungan yang ia jalin dengan Vesper di film tersebut, ada konteks tersendiri dan ketika hubungan mereka berakhir ada dampak signifikan yang pada akhirnya mengubah karakter James Bond selamanya. Hal-hal seperti ini yang semestinya dikuasai betul oleh para pembuat film Hollywood malah tidak dieksplorasi. Maka, keberdaan karakter Qi’ra yang dimainkan Emilia Clarke sang “Ibu Naga” menjadi receh, tak memiliki signifikansi apa-apa, ia sama sekali tak penting.
Sampai di sini, apakah sudah mafhum mengapa saya katakan film ini jelek?
Dan lagi tak ada karakter antagonis betulan di film ini, keberadaan Dryden Vos yang diperankan Paul Bettany (‘Avegers Infinity War’) -- bila kita singkirkan keberadaannya di film ini, sama sekali tak akan mengubah jalan cerita secara signifikan. Tokoh Beckett (Woody Harrelson, ‘Three Billboards Outside Ebbing Missouri’) lumayan menarik sebenarnya, paling tidak keberadaannya yang paling memiliki signifikansi ke dalam plot, sayangnya ia memiliki watak yang paling tidak konsisten di antara semua karakter yang ada.
ADVERTISEMENT
Awal kemunculannya berhasil memberi impresi bahwa ia merupakan karakter yang penting, dan Woody Harrelson sendiri memang memiliki pembawaan yang meyakinkan yang membuat penampilannya dalam setiap film jadi mengesankan. Tapi tidak dalam film ini. Bagaimana kisahnya berakhir di film ini, bagaimana wataknya dipelintir sedemikian rupa demi bumbu twist, alih-alih menjadikannya keren, yang ada malah gajebo.
Sampai di sini, tentu sekarang Anda mafhum kan mengapa saya katakan film ini jelek?
Lando Calrissian diperankan Daniel Glover (Foto: Lucasfilm)
zoom-in-whitePerbesar
Lando Calrissian diperankan Daniel Glover (Foto: Lucasfilm)
Ada hal ironis dalam film ini. Jadi, ada satu adegan manakala Qi’ra hendak mengenalkan Lando Calrissian (Donald Glover, ‘The Martian’) kepada Han, Qi’ra menyebut Lando sebagai orang yang berkarisma -- yang mana memang betul, Donald Glover memiliki karisma sesuai dengan apa yang dikatakan Qi’ra. Ironisnya, casting director, sutradara, produser atau siapa pun yang bertanggung jawab malah tidak menyadari betapa tidak karismatiknya Alden Ehrenreich (dari film ‘Beautiful Creatures’) si pemeran Han Solo di film ini.
ADVERTISEMENT
Apa yang dicapai Alden lewat perannya sebagai Han Solo di film ini setara dengan apa yang dicapai Aaron Paul sebagai peran utama di film ‘Need for Speed’, atau seperti Sullivan Stapleton lewat peran utamanya dalam ‘300: Rise of an Empire’. Dibutuhkan karisma tersendiri untuk berperan sebagai tokoh utama dalam sebuah film.
Oh, hampir lupa, ingat film ‘Pompeii’ arahan Paul W.S. Anderson yang rilis 2014 silam? Kit Harington si Jon Snow dari ‘Game of Thrones’ berperan sebagai tokoh utama di film tersebut, tetapi tetap saja ia tampil kurang karismatik. Padahal siapa coba yang tak mencintai Jon Snow? Nah, kira-kira seperti itulah kesan yang dibuat Alden Ehrenreich lewat film ini.
Ia sama sekali tak berakting, bukan salahnya juga -- mengingat begitu tipisnya cerita yang dibuat oleh penulis skenario, maka sepanjang film kita hanya menyaksikannya berpose, tersenyum, berpose lagi, begitu terus dan menjemukan.
ADVERTISEMENT
Oh, ada juga adegan awal mula bagaimana Han dan Chewbacca (Joonas Suotamo, ‘Star Wars: Episode VIII - the Last Jedi’) bertemu di film ini, naasnya, adegan tersebut sekaligus memberikan kesan bahwa Chewbacca, karakter yang kita cintai tersebut, ternyata bodoh!
Dikisahkan bahwa ia tak bisa melarikan seorang diri dari kerangkeng yang tak sulit-sulit amat untuk dijebol. Bila itu bukan karena lazy writing, maka menjadi penghinaan tak terperi, dan yang melakukan penghinaan tersebut sang penulis naskah dua film terakhir dari trilogi original ‘Star Wars’. Gila!
Bila Anda tipe penonton yang gampang dipuaskan oleh adegan action kebut-kebutan tanpa konteks--yang penting seru, barangkali Anda masih bisa mentolerir segala kejanggalan yang menjangkiti film ini. Namun, bagi Anda yang kritis, yang lebih mengedepankan daya pikir, dan berselera tinggi, jangan bilang Anda belum saya peringatkan.
ADVERTISEMENT
***
Untuk melihat ulasan lain dari Shandy Gasella klik di sini.