Wonder Woman 1984: Film Superhero yang Kita Butuhkan saat Ini

Shandy Gasella
Penikmat dan pengamat film - Aktif meliput kegiatan perfilman di Jakarta dan sejumlah festival film internasional sejak 2012
Konten dari Pengguna
17 Desember 2020 15:09 WIB
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shandy Gasella tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
★★★★★ | Shandy Gasella
Penantian panjang itu tuntas juga. 'Wonder Woman 1984', film solo kedua yang masih disutradarai Petty Jenkins, dari semesta karakter superhero DC Comics ini sempat tujuh kali revisi tanggal tayang, untuk beberapa alasan seperti menghindari clash dengan jadwal tayang film lain seperti 'Star Wars: Episode IX-The Rise of Skywalker', 'No Time to Die', hingga terakhir terkena pukulan keras pandemi Covid-19 yang mewabah di seantero dunia.
Still adegan Wonder Woman 1984 yang memperlihatkan Diana menangkap penjahat di sebuah mall | Dok. Warner Bros
Penonton di Indonesia cukup beruntung dapat menyaksikan satu-satunya film superhero Hollywood yang tayang di bioskop sepanjang tahun ini, lebih dulu ketimbang warga Amerika yang kebagian tanggal rilis di hari Natal seminggu mendatang. Seperti kita ketahui, bioskop di Indonesia belum lama ini baru dibuka kembali, itu pun hanya sebagian, dan jumlah penonton dibatasi per studio demi menjaga protokol kesehatan dapat terlaksana, dan memberikan rasa aman dan nyaman bagi penonton yang kangen merasakan kembali nonton di bioskop di tengah pandemi yang masih belum mereda ini.
ADVERTISEMENT
Dari pengamatan hari pertama film ini ditayangkan pada Rabu kemarin (16/12/2020) di salah satu bioskop di Jakarta, kapasitas satu studio IMAX di jam pertama penayangannya hampir seluruhnya terisi, menandakan animo penonton, terutama para penggemar film superhero atau film Hollywood pada umumnya cukup tinggi, dan rasa kangen yang mereka tahan demikian lama itu mereka tuntaskan lewat kehadiran film yang megah ini. Dan semoga kehadiran 'Wonder Woman 1984' membuka babak baru industri film pascapandemi, dapat pulih dan bangkit perlahan-lahan.
Still adegan Wonder Woman 1984 | Dok. Warner Bros
Kisah film 'Wonder Woman 1984' melanjutkan film pertamanya, melompati puluhan tahun dari masa perang dunia pertama, dan sejelas judulnya, kini kita dibawa ke tahun 1984, sebuah masa yang dianggap sebagai kulminasi perekonomian Amerika pada era modernisasi. Maka, tak heran bila lawan yang mesti dihadapi Diana Prince alias sang Wonder Woman (Gal Gadot) kali ini salah satunya ialah sesosok bos korporasi serakah bernama Maxwell Lord (diperankan sang 'Mandalorian' Pedro Pascal).
ADVERTISEMENT
Max seorang tukang tipu investasi, mendirikan perusahaan tambang dengan menjanjikan keberadaan sumur-sumur minyak di banyak lokasi kepada para investornya, padahal tak satu pun sumur-sumur itu menyimpan minyak seperti yang diakuinya. Harapannya untuk dapat bertahan di dunia bisnis bukan pada kemampuan dirinya, melainkan hanya bergantung pada keajaiban, dan keajaiban itu ia temukan ketika Diana berhasil membekuk komplotan pencuri perhiasan di sebuah mal. Rupanya para pencuri itu membawa serta sebuah benda kuno yang dapat mengabulkan sebuah permintaan, namun sang peminta mesti kehilangan sesuatu yang berharga darinya sebagai ganti atas permintaannya yang terkabul. Max sudah lama mencari-cari benda ajaib tersebut.
Still adegan Wonder Woman 1984 | Dok. Warner Bros
Benda itu oleh FBI lantas diminta diteliti oleh para ahli di museum Smithsonian yang berlokasi di Washington DC, dan di sanalah Diana yang juga bekerja di museum tersebut, berkenalan dengan Barbara Minerva (Kristen Wiig, 'The Secret Life of Walter Mitty', 'Ghostbusters'), karyawan baru, ahlinya ahli dengan sederet gelar Doktor, namun pembawaan dirinya bak Betty La Fea, entah Anda paham referensi jadul ini atau tidak, pada intinya ia tampil tak menarik dengan selera berpakaian yang norak, berkacamata, dan krisis kepercayaan diri. Namun, Diana yang baik hati menaruh perhatian lebih padanya, dan keduanya lantas berteman.
ADVERTISEMENT
Bagi penggemar komik atau serial animasi DC, pasti tahu dan menunggu-nunggu betul momen di mana pada akhirnya Barbara bakal berubah menjadi sesosok metahuman sekaligus musuh bebuyutan Wonder Woman bernama Cheetah, mewujud sebagai "siluman" macan tutul. Dan batu kuno pengabul permintaan yang sempat disebut sebelumnya adalah kunci atas origin story terhadap kelahiran Cheetah, kejahatan yang dilakukan Max, juga kembalinya Steve Trevor (Chris Pine, 'Star Trek', 'People Like Us'), sang pilot pujaan hati Diana yang mati mengorbankan dirinya di akhir film 'Wonder Woman'.
Oh, saya sedang tak bicara spoiler lho, informasi-informasi itu memang telah dipublikasikan secara resmi dalam berbagai media promo filmnya sendiri. Saya membahasnya bukan dalam rangka menceritakan ulang sinopsis film, tetapi menggarisbawahi bahwa kisah film berdurasi dua setengah jam ini berkutat pada persoalan tadi. Bila 'Wonder Woman 1984' harus diberi sub-judul, saya kira 'Wonder Woman 1984: The Magic Stone' pas dipakai.
ADVERTISEMENT
Walau terkesan gampangan dengan menghadirkan sebuah batu ajaib yang dapat mengabulkan permintaan apa pun sebagai plot device (penggerak cerita), dan lucunya, dalam sebuah adegan Barbara secara sengaja sempat berujar, seolah mengkritik filmnya sendiri, bahwa munculnya batu ajaib itu sebagai sesuatu yang lame (payah, kuno) yang memang betul perlu diakui demikian, tetapi kejeniusan penulisan skenario oleh Petty Jenkins, Geoff Johns ('Aquaman', serial 'Titans') dan Dave Callaham ('Shang-Chi and the Legend of the Ten Rings', 'Mortal Kombat') membuatnya tak terkesan sepayah itu, dan dalam konteks periode 80-an, hal itu juga dapat diartikan sebagai homage atau penghormatan ke masa tersebut di mana film-film superhero pada masa itu memang sangat "lame" jika dibandingkan dengan standard saat ini.
ADVERTISEMENT
Dikisahkan Max dalam tempo sesaat sejak ia memperoleh batu ajaib, kerakusannya memporakporandakan dunia, dan perang dunia ketiga tak terelakkan. Barbara meminta kepada sang batu agar dirinya dapat menjadi sekuat Diana, oops... maaf, spoiler, saya lupa memberi peringatan sebelumnya, dan Diana sempat meminta pula agar sang kekasih yang sangat ia rindukan selama berpuluh-puluh tahun, Steve Trevor, agar kembali ke dekapannya. Percayalah, secuil spoiler ini tak bakal mengganggu kenikmatan Anda menontonnya, sebab apa yang tampil dari mulai opening sequence hingga ending betul-betul tak dapat tergambarkan lewat kata-kata, setidaknya oleh saya. Anda mesti menyaksikannya dan mengalaminya sendiri!
Adegan pembuka yang membawa kita kembali ke tanah Themyscira, negeri kepulauan nan indah bagi para kaum bidadari pejuang Amazon, dan sekali lagi kita menyaksikan Diana kecil (diperankan dengan amat menggemaskan dan penuh daya pikat oleh Lilly Aspell), tantenya sekaligus mentor Antiope (Robin Wright, 'House of Cards', 'Forrest Gump') dan tentu saja sang ibu Hippolyta (Connie Nelsen, 'Gladiator', 'One Hour Photo'), para fans bakal dibuat jejeritan menyaksikan sekuen action yang menampilkan kelihaian Diana kecil beradu skill dalam sebuah kompetisi a la Ninja Warrior tapi lebih ekstrim melawan orang-orang dewasa, dan di akhir sekuen kita menyaksikan betapa Diana dalam usianya yang begitu muda memperoleh pelajaran hidup yang begitu berarti, dan kita jadi lebih memahaminya sebagai karakter, tak hanya sebagai sosok jagoan Wonder Woman, tetapi batin dan pergumulan hidupnya sebagai seorang individu dapat kita pahami lebih baik.
Lilly Aspell sebagai Diana kecil yang begitu mencuri perhatian | Dok. Warner Bros
Masih ingat trek musik 'Is She With You' sebagai latar musik pengantar kemunculan Wonder Woman dalam 'Batman v Superman: Dawn of Justice' (Jack Snyder, 2016) yang fenomenal itu? Kali ini Hans Zimmer mengaransemen trek baru yang diberinya judul 'Open Road' yang terdengar seperti 'Is She With You' namun jauh jauh jauh berkali-kali lipat jauh lebih bertenaga dan megah seolah ia sedang ngamuk ketika menciptakan salah satu mahakaryanya itu. Dengarkan sendiri di bioskop yang dilengkapi tata suara terbaik demi merasakan ledakan-ledakan ritmik orkestra megah yang mengiringi sepanjang durasi film.
ADVERTISEMENT
Petty Jenkins berhasil membuat film superhero seolah kembali ke marwahnya, dapat dinikmati segala umur, namun tetap mengemasnya secara penuh kedewasaan, menghibur tanpa mengesampingkan nilai seni estetikanya, menghadirkan kisah baik melawan jahat tanpa mengesampingkan kemanusiaan, dan terutama film ini dipenuhi semangat, harapan, dan cinta yang kita dambakan senantiasa hadir di dunia. 'Wonder Woman 1984' adalah kulminasi film dalam semesta DC Comics sejak 'Man of Steel' yang memberi napas dan harapan baru era keemasan film superhero, yang pada mulanya lahir dengan harapan dapat memberi inspirasi dan kompas moral bagi kemanusiaan.
Jika kita belum dapat berharap sepenuhnya pada sosok Superman yang semestinya menjadi representasi atau teladan atas nilai-nilai kebaikan dan kebajikan dari budaya pop superhero kontemporer, setidaknya kita memiliki Wonder Woman yang diperani Gal Gadot ini sebagai penggantinya. Apa boleh buat, salahin keputusan para petinggi DC/Warner Bros. Gal Gadot bersama Petty Jenkins adalah anugerah terbaik yang pernah ada dalam sinema superhero masa kini, setidaknya bagi Warner Bros.
ADVERTISEMENT
Jangan terburu beranjak begitu credit title bergulir, ada satu selipan adegan ekstra yang layak ditunggu!