Invasi Rusia ke Ukraina: Menurunnya Optimisme Negara atas Keamanan Internasional

Denisha Audrina Xaviera
Mahasiswa S1 Ilmu Hubungan Internasional Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
23 Juni 2022 16:12 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Denisha Audrina Xaviera tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi | Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi | Istimewa
ADVERTISEMENT
Ukraina dan Rusia merupakan negara dengan letak geografis yang berdekatan dan memiliki sejarah yang sama. Namun, walaupun begitu hubungan keduanya tidak dapat dikatakan harmonis karena konflik sering terjadi di antara keduanya. Hubungan antara Rusia dan Ukraina semakin memanas ketika Rusia mengetahui fakta bahwa pemimpin Ukraina sekarang berada di sisi Amerika Serikat dan keinginan Ukraina untuk bergabung dengan North Atlantic Treaty Organizations (NATO). Fakta tersebut tentu memberikan kekhawatiran untuk Rusia karena dengan semakin dekatnya hubungan Amerika Serikat dengan Ukraina dan bergabungnya Ukraina dalam NATO berarti kekuatan Amerika Serikat di kawasannya akan semakin memiliki pengaruh, hal tersebut tentu dapat mengganggu keamanan Rusia.
ADVERTISEMENT
Hubungan yang menegang sejak tahun 2014 tersebut pun pecah pada tahun 2022 di mana Rusia memutuskan untuk melakukan invasi terhadap Ukraina. Berita akan keputusan Rusia untuk Ukraina yang mengejutkan tersebut mendapat sorotan dunia internasional, termasuk negara-negara besar seperti Amerika Serikat dan Uni Eropa yang menanggapi hal ini dengan memberikan sanksi seperti melakukan kontrol atas ekspor pada Rusia. Lalu, Uni Eropa juga melakukan pelarangan pada Society for Worldwide Interbank Financial Telecommunication (SWIFT) serta layanan pesan keuangan lainnya untuk melayani lembaga keuangan Rusia. Selain itu, Inggris dan Uni Eropa juga secara bersamaan telah melakukan penangguhan pada penyiaran jaringan milik Rusia.
Di sisi lain, Rusia tidak memberikan tanggapan apa pun terhadap respons yang diberikan oleh negara-negara Barat. Namun, melihat bagaimana pergerakan Rusia selama konflik dengan Ukraina, dapat dikatakan bahwa strategi yang dimiliki oleh Rusia masih belum jelas ke mana arah atau tujuannya. Hal ini dikarenakan strategi militer Rusia sendiri masih sering mengalami permasalahan logistik. Mengabaikan sanksi dari Barat, Rusia melibatkan mitra dekatnya, yaitu Cina. Walaupun Cina memang tidak terjun secara langsung, tetapi Cina terlibat dalam mendukung Rusia, bahkan Cina sendiri mengutuk negara-negara Barat yang memberikan sanksi terhadap Rusia.
ADVERTISEMENT
Rusia sendiri melibatkan Cina terkait hal ini dengan meminta Cina untuk memberikan bantuan ekonomi serta militer pada Rusia. Sebenarnya, jika melihat dari sisi Cina, keterlibatan Cina dalam konflik ini bukan hanya mengenai hubungan kedekatan antara Cina dan Rusia, tetapi juga dijadikan sebagai upaya untuk mengikis kekuatan Amerika Serikat dengan menunjukkan pada dunia internasional bahwa Cina dapat mengatasi konflik ini dan mempunyai kekuatan yang cukup untuk menggantikan posisi leadership yang selama ini dipegang oleh Amerika Serikat.
Keterlibatan Barat dan Cina dapat dikatakan membuat situasi dalam konflik Rusia dan Ukraina menjadi semakin rumit. Hal ini memberikan dampak pada negara-negara yang terlibat, terutama dengan terjadinya krisis kemanusiaan. Konflik dengan melibatkan kekuatan-kekuatan besar ini memberikan pengaruh pada dunia internasional, seperti dalam perdagangan internasional di mana harga minyak dan gas yang semakin tinggi, terguncangnya harga saham, dan semakin melambatnya pertumbuhan ekonomi global. Selain itu, konflik ini juga berdampak pada berkurangnya gandum yang dapat menyebabkan kelaparan karena bagi sebagian negara di dunia, gandum merupakan makanan pokok mereka.
ADVERTISEMENT
Beralih kembali pada sisi Rusia, walaupun telah disebutkan sebelumnya bahwa strategi yang dilakukan Rusia masih belum diketahui secara jelas arahnya ke mana, tetapi dapat dipastikan bahwa Rusia melakukan invasi pada Ukraina karena perasaan terancam oleh kedekatan Ukraina dengan Amerika Serikat yang memiliki ideologi berbeda dengan Rusia, yang menyebabkan hubungan tidak baik antara Rusia dan Amerika Serikat sejak lama. Hal tersebut membuktikan bahwa optimisme yang telah dibangun dan dipercayai sejak berakhirnya masa perang melalui kerja sama, sudah mulai berkurang dan didukung dengan terlibatnya kekuatan besar seperti Amerika Serikat dan Cina dalam konflik ini, yang dikhawatirkan akan dapat memicu kembali pecahnya Perang Dunia.
Hal lain yang mendukung bahwa konflik Rusia dan Ukraina sebagai awal mula bukti berkurangnya optimisme adalah jumlah pembelanjaan senjata negara-negara atau anggaran militer dunia menurut Stockholm juga meningkat setiap tahunnya. Pada tahun 2021 telah diperhitungkan bahwa pengeluaran anggaran militer global untuk pembelanjaan senjata naik sekitar 0.7% yang mana mencapai angka $2.113 Miliar. Pembelanjaan tersebut dilakukan secara seimbang oleh negara-negara besar seperti Cina, Amerika Serikat, dan Inggris. Berdasarkan data tersebut, dapat disimpulkan bahwa optimisme negara semakin mengikis. Dalam menanggapi situasi ini Ukraina harus mengalah. Jika Ukraina tetap menanggapi Rusia, maka konflik ini akan terus berlanjut. Oleh sebab itu, sebaiknya Ukraina mundur dan mengembangkan diri sebagai negara “buffer state” di antara Rusia dan NATO, serta hanya berfokus pada pembangunan saja. Jika Ukraina masih tetap ingin melawan Rusia, maka akan terjadi krisis yang menyeluruh di dunia, termasuk untuk Ukraina itu sendiri, serta yang paling dikhawatirkan adalah pecahnya Perang Dunia III.
ADVERTISEMENT