Sadarkah Bahwa Selama Ini Kita Dilatih Untuk Berbicara dengan Robot?

Shiddiq Sugiono
Lebih menyukai untuk mengamati dan mengeksplorasi
Konten dari Pengguna
7 Agustus 2021 21:19 WIB
ยท
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shiddiq Sugiono tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: <a href='https://www.freepik.com/vectors/technology'>Technology vector created by vectorjuice - www.freepik.com</a>
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: <a href='https://www.freepik.com/vectors/technology'>Technology vector created by vectorjuice - www.freepik.com</a>
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Ok Google", frasa tersebut tidak asing terdengar di telinga kita karena sudah sering ditampilkan dalam iklan komersial di siaran televisi maupun media lainnya, bahkan sebagian dari kita telah menyampaikan frasa tersebut kepada masing-masing ponselnya. Frasa "Ok Google" merupakan sebuah perintah yang akan memunculkan "seorang" asisten virtual untuk menjawab seluruh pertanyaan penggunanya. Kita akan dibuat kagum oleh kecanggihan teknologi tersebut karena mampu memproses setiap perkataan yang kita lontarkan. Bahkan mungkin ada yang menjadikannya sebagai teman bicara karena mampu membalas pertanyaan-pertanyaan ringan seperti "sudah makan belum ?" dan lain sebagainya.
ADVERTISEMENT
Cyber-Physical System atau CPS, istilah tersebut mungkin jarang terdengar di telinga kita, namun istilah tersebutlah yang membedakan periode Revolusi Industri ke-4 dengan revolusi industri yang lainnya. Singkatnya, CPS, dalam beberapa literatur disebut sebagai robot, adalah suatu makhluk digital tak berwujud yang memiliki kecerdasan (buatan) layaknya manusia dibalik suatu gawai digital. Hal inilah yang menjadikan ponsel atau gawai kita sepintar sekarang. Kita mungkin tidak sadar dengan kehadiran makhluk digital ini, namun ketika kita membuka aplikasi belanja online, aplikasi untuk memesan makanan, atau aplikasi lainnya, ada suatu pesan rekomendasi yang muncul di layar ponsel kita. Sebenarnya siapa sih yang menyarankan konten-konten tersebut? CPS jawabannya. Hal ini juga yang menyebabkan "asisten" virtual di ponsel kita dapat memberikan jawaban atas berbagai pertanyaan.
ADVERTISEMENT
Dalam perkembangannya, tentu kita tidak menerima CPS secara langsung dan sadar. Pertama-tama kita dimanjakan dengan kecanggihan hingga kecerdasannya dalam merajut kata-kata. Lalu kita mengikuti rekomendasi tersebut hingga mendapatkan yang kita butuhkan atau inginkan. Pada akhirnya CPS menjadi teman hidup dalam setiap situasi. Hal ini sontak mendatangkan suatu pertanyaan, bagaimana bisa kita percaya dengan suatu mesin ? padahal mereka hanya benda mati bahkan tidak memiliki derajat sosial seperti manusia.
Kita tidak sadar bahwa cara komunikasi digital kita merupakan suatu latihan untuk berkomunikasi dengan CPS
Saat ini secara tidak sadar kita terus dilatih untuk berkomunikasi tanpa tahu sebenarnya siapa lawan bicara kita. Mungkin kita bisa yakin bahwa orang yang kita kirimkan pesan melalui media digital adalah orang tua kita atau orang terdekat kita, namun apakah kita sendiri bisa menjamin jika yang akan membalas itu adalah orang yang dimaksud? Hal ini yang menyebabkan komunikasi digital penuh dengan ketidakpastian atau anonimitas dan kita terus menerus dihadapkan dengan realitas seperti itu. Realitas tersebut pada akhirnya meyakinkan kita bahwa dibalik avatar suatu akun ada orang yang kita percaya hidup. Kita dilatih untuk percaya bahwa lawan bicara kita sesuai dengan identitas digital yang tampil di layar kaca.
ADVERTISEMENT
Kita coba padukan teori akademis dengan kasus empiris untuk menganalisis lebih dalam. Human-Machine Communication/HMC adalah sebuah teori yang memiliki gagasan utama di mana saat ini teknologi kecerdasan buatan mampu mengubah peran suatu mesin atau gawai yang awalnya sebagai media penyampai pesan menjadi "seorang" komunikator. Hal ini menyebabkan peran sosial manusia akan tergusur oleh hadirnya gawai-gawai pintar. Kita lihat contohnya pada chatbot Covid-19 yang dikembangkan oleh berbagai lembaga di dunia untuk menyampaikan informasi resmi mengenai pandemi Covid-19. Melalui pemanfaatan chatbot, lembaga-lembaga tersebut dapat mengurangi tenaga-tenaga teknis seperti penyuluh kesehatan karena informasi resmi sudah mampu disampaikan oleh satu akun whatsapp dengan cepat dan tepat. Masyarakat akhirnya menggunakan chatbot tersebut untuk mendapatkan informasi dan sebagian dari mereka mungkin bergantung pada fasilitas tersebut. Adapun Chatbot ini merupakan salah satu produk dari CPS.
ADVERTISEMENT
Dari fenomena tersebut kita dapat melihat bahwa chatbot Covid-19 adalah suatu praktik dari hasil latihan kita berkomunikasi melalui media sosial. Kita menganggap pesan yang mereka sampaikan memiliki makna, sehingga proses komunikasi pun terjadi. Tanpa kehadiran sesosok manusia, kita dapat percaya apa yang tertulis dan disampaikan oleh suatu akun berteknologi CPS. Hal ini menunjukkan bahwa kita sebenarnya telah siap untuk maju ke peradaban selanjutnya atau peradaban robot.
Lalu apakah ini dampak teknologi komunikasi yang harus diterima atau ditolak secara mentah-mentah ?
Manusia adalah makhluk yang memiliki akal untuk terus memilih mana yang baik dan buruk. Perspektif kita dalam melihat sebuah teknologi jangan hanya melihat kecanggihannya saja, karena banyak aspek yang bisa menusuk kita dari belakang. Sebagai contoh, saat ini tidak sedikit akun twitter yang dikendalikan oleh robot atau kecerdasan buatan dalam memproduksi sebuah teks. Karena kita sudah terbiasa menganggap bahwa dibalik suatu avatar ada seseorang yang mengendalikannya maka kita balas komentar-komentar yang diproduksinya sehingga suatu isu negatif dapat viral, hal ini terjadi karena semua orang melakukan yang sama. Singkatnya, kita harus menerima teknologi karena dapat membantu suatu pekerjaan yang kompleks, namun kita pun harus terus waspada dengan berpikir secara kritis terhadap semua kemungkinan dari dunia digital.
ADVERTISEMENT