Waspada Depresi! Kenali Penyebab dan Cara Menanganinya

Shintia Adriani
Mahasiswa Magister Psikologi Universitas Muhammadiyah Surakarta
Konten dari Pengguna
24 Desember 2021 19:30 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Shintia Adriani tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber gambar: https://pixabay.com/id/vectors/takut-kecemasan-depresi-wanita-6562668/
zoom-in-whitePerbesar
Sumber gambar: https://pixabay.com/id/vectors/takut-kecemasan-depresi-wanita-6562668/
ADVERTISEMENT
Depresi di Indonesia
Tidak terasa, sudah dua tahun kita menghadapi pandemi Covid-19. Walaupun saat ini angka penularan sudah menurun tajam, tetapi terdapat banyak kisah sedih dibalik "Pandemi Covid" ini. Kita sempat melalui waktu di mana angka kematian akibat Covid-19 sangat tinggi. Selain angka kematian yang tinggi, saat itu Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kementerian Kesehatan (Kemenkes) juga menyatakan bahwa pandemi menyebabkan angka kasus gangguan jiwa dan depresi mengalami peningkatan hingga 6,5 persen di Indonesia. Maxi Rein selaku Pelaksana Tugas (Plt) Dirjen P2P Kemenkes, juga mengatakan gangguan mental dan depresi pada masa pandemi ini berada di angka sekitar 12 juta orang dalam usia produktif. Ternyata penyebabnya sebagian besar adalah masalah keterbatasan sosial karena terlalu lama diam di rumah, serta karena banyak yang kehilangan pekerjaan. Mereka yang mengalami gangguan jiwa dan depresi di masa pandemi ini mulai usia 15 tahun hingga 50 tahun atau bisa dikatakan pada usia produktif. Sebuah penelitian menyatakan jika pemberlakuan pembatasan sosial, meningkatnya kasus positif, kematian dengan cepat, dan berita media sosial yang melonjak selama pandemi dapat mempengaruhi kesehatan mental seseorang. Seorang peneliti bernama Li juga mengatakan, karantina juga dapat menyebabkan tekanan emosional dan kesehatan mental seperti depresi, kecemasan, insomnia, dan stres pasca trauma.
ADVERTISEMENT
Apa itu Depresi?
Depresi merupakan gangguan mood yang gejalanya dapat mempengaruhi pikiran, perasaan, aktivitas sehari-hari seperti pola tidur, pola makan dan pekerjaan. Seseorang didiagnosis mengalami depresi apabila gejalanya menetap selama paling tidak dua minggu. Banyaknya tekanan kehidupan, stres interpersonal dan penolakan sosial ternyata menjadi faktor risiko terbesar mengalami depresi.
Terdapat beberapa gejala atau tanda depresi. Depresi berat secara signifikan memengaruhi kehidupan seseorang, seperti keluarga, hubungan pribadi, pekerjaan, aktivitas, kehidupan sosial, dan kesehatan fisik. Gejala utama depresi yang dirasakan orang yang mengalami depresi adalah gangguan tidur, kurang percaya diri, lelah tidak bertenaga, dan kehilangan minat. Seseorang yang depresi biasanya menunjukkan suasana hati yang sangat rendah, dan ketidakmampuan untuk mengalami kesenangan dalam kegiatan yang sebelumnya dapat dinikmati. Orang depresi sibuk dengan pikiran dan perasaan bahwa dirinya tidak berharga, merasa bersalah penyesalan yang terus menerus. Selain itu orang depresi juga memiliki gejala fisik seperti mudah lelah, sakit kepala, masalah pencernaan, mengalami penurunan berat badan, serta yang seringkali terlihat adalah badan lesu dan wajah yang gelisah.
ADVERTISEMENT
Mengapa Seseorang bisa Mengalami Depresi?
Secara psikologis, depresi terjadi karena tekanan akibat stres yang berlarut dan tidak teratasi. Stres secara klinis dimotori oleh sistem saraf simpatis dan sistem endokrin dalam tubuh kita. Sistem saraf simpatis tersebut memberi stimulus kepada kelenjar adrenalin untuk mengelurkan hormon stres yang disebut epinephrine, norepinefrin dan kortisol. Secara neurofisiologi, seseorang yang mengalami depresi, diawali dengan adanya ketidakseimbangan zat kimia pada otak. Depresi itu sendiri terjadi akibat stres yang dapat memicu peningkatan produksi hormon stres yaitu biasa disebut kortisol. Kortisol ini ternyata dapat merusak dan membuat hippocampus mengecil. Kenapa bisa seperti itu?
Ternyata hal tersebut terjadi karena hormon kortisol ini menghambat pembentukan sel saraf dan jaringan saraf baru. Akibatnya, hippocampus yang mengecil tadi memiliki reseptor serotonin yang lebih sedikit. Serotonin sendiri merupakan zat kimia otak yang berfungsi untuk menenangkan seperti dopamin. Dopamin sendiri merupakan neotransmitter yang membantu mengontrol pusat kesenangan dan kepuasan di otak kita. Dopamin juga berfungsi untuk membantu mengatur tindakan dan komunikasi antara saraf di otak dengan tubuh yang mendorong untuk beraktivitas.
ADVERTISEMENT
Bahkan terdapat sebuah penelitian yang mengatakan bahwa hormon stres kortisol diproduksi secara berlebihan pada orang yang mengalami depresi. Dalam penelitian tersebut, meyakini bahwa kortisol memiliki efek toxic atau beracun bagi hippocampus. Apabila hippocampus ini mengecil dan rusak, maka otak akan memiliki reseptor serotonin ataupin dopamin yang lebih sedikit. Akibatnya, seseorang akan rentan mengalami stres. Disisi lain, ketika seseorang itu stres, seringkali sistem imunitas kita juga akan bereaksi. Sistem imunitas sangat sensitif pada perubahan dan rangsangan yang mengenai tubuh. Fungsi kekebalan seringkali berkurang karena stres, namun akan meningkat apabila mengalami peristiwa yang positif. Kekebalan yang berkurang akan menimbulkan reaksi seperti sakit fisik dan sakit mental (stres), sedangkan kekebalan yang meningkat menjadikan tubuh lebih sehat.
ADVERTISEMENT
Nah, jika stres tidak segera teratasi dan berlarut, maka gangguan depresi bisa saja terjadi kapan saja. Untuk itu, mari kita ketahui lebih lanjut mengenai upaya apa saja yang dapat dilakukan untuk menangani depresi.
Penanganan dan Psikoterapi pada Depresi
Apa yang dapat kita lakukan jika kita atau orang terdekat mengalami depresi? Sebenarnya, depresi merupakan reaksi yang normal apabila berlangsung dalam jangka waktu yang pendek dengan segera diatasi atau mendapatkan pertolongan dari profesional di bidangnya.Penting bagi setiap individu menyadari dan mengenali kondisi mental masing-masing. Deteksi awal perlu dilakukan untuk mengetahui bahwa seseorang mengalami depresi atau tidak. Apabila didiagnosis ada gangguan depresi baik ringan hingga berat, disarankan untuk segera berkonsultasi dengan psikolog atau profesional di bidangnya. Nah, di bawah ini ada beberapa psikoterapi yang dapat dilakukan untuk menangani depresi, antara lain:
ADVERTISEMENT
Cognitive Behavioral Therapy (CBT)
Terapi CBT dapat membantu seseorang untuk mengenali serta mengolah pikiran dan perasaan negatif (maladaptif) menjadi lebih adaptif. Pada terapi ini seorang psikolog atau terapis akan membantu seseorang untuk dapat mengidentifikasikan permasalahan, fokus pencarian solusi, mencari cara praktis yang bisa memperbaiki cara pikir seseorang setiap harinya dan mendorong seseorang melatih dan mempraktikkan kebiasaan yang positif.
Terapi Interpersonal
Terapi ini diharapkan dapat mencari tahu permasalahan yang terjadi antara diri sendiri dan orang-orang di sekitarnya. Terapi interpersonal berfokus pada cara seseorang untuk berinteraksi dengan orang terdekat seperti keluarga dan teman. Dalam hal ini, seseorang yang berkomunikasi dengan orang lain dapat memengaruhi suasana hati dan perasaannya. Terapi ini juga dapat meningkatkan keterampilan komunikasi lebih baik.
ADVERTISEMENT
Psikoterapi Islam
Ternyata, ada beberapa penelitian yang menyatakan bahwa dengan membaca dan mengkaji Al-Quran dapat menyembuhkan penyakit jiwa manusia, sebagai pencegahan dan perlindungan dari suatu musibah, ujian yang berat yang dapat mengakibatkan terganggunya kesehatan jiwa, bimbingan tentang berbagai permasalahan yang dihadapi manusi serta penyembuhan terhadap penyakit fisik dan spiritual.
Pencegahan Depresi
Hingga saat ini depresi merupakan suatu gangguan yang tidak mudah dicegah. Beberapa di antaranya karena cukup sulit mengenali penyebab seseorang mengalami depresi. Namun, dengan membiasakan pola hidup sehat, diharapkan dapat membantu dalam pencegahan depresi. Kiat-kiat yang dapat dilakukan adalah dengan cara melakukan relaksasi otot atau pernapasan (misal melakukan yoga), berolahraga secara teratur, tidur yang cukup, menghindari konsumsi alkohol, sering berinteraksi dengan orang terdekat, menggunakan media sosial dengan bijak dan dibatasi, menghindari orang yang dapat memberikan pengaruh buruk, serta tidak ragu untuk berkonsultasi dengan psikolog atau psikiater jika merasa sedih ataupun stres berkepanjangan.
ADVERTISEMENT