Huangpu, Tempat Terindah

Sinta Augina Yulianti
Mahasiswi jurusan sastra Inggris UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Konten dari Pengguna
25 November 2022 13:27 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sinta Augina Yulianti tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua insan manusia yang menggebu-gebu menyatukan lamanya di sebuah ranjang yang menjadi saksi bisu dahsyatnya abadiah cinta mereka.
ADVERTISEMENT
The Bund, Shanghai
Hamparan sungai Huangpu seolah menembus sinar pagi matahari. Bangunan bergaya klasik Eropa berjejer di pinggir sungai itu. Bias cahaya pagi menyorot mata seorang perempuan yang tengah terlelap dalam tidurnya. Novi namanya, perempuan berusia pertengahan 20 ini lantas terbangun dengan perasaan yang melelahkan. Kemarin, seharian suntuk habiskan untuk menyelesaikan urusan pekerjaannya di kota Shanghai ini. Sudah empat hari berlalu namun ia masih tetap saja bosan dan tidak menemukan gairah yang menyenangkan selama berada di sana. Bahkan pikirannya saat ini sudah dipusingkan dengan kewajiban memberikan laporan pada atasannya tentang bagaimana tata kota di Shanghai untuk kemudian diterapkan di tanah air.
Perempuan berkacamata ini bekerja sebagai agen perumahan di salah satu perusahaan terkemuka di Jakarta. Perawakan Novi cukup mungil, hanya 164 cm dengan rambut lurus yang selalu ia ikat dan kacamata minusnya yang telah menjadi kawan sejatinya sejak masa kuliah dulu.
ADVERTISEMENT
Pagi harinya Novi kali ini masih terasa biasa saja, tempat tidur yang acak-acakan, rambutnya yang kusut macam singa, kemasan makanan instan yang tak habis di meja samping kasur, juga keheningan pagi yang membosankan. Sejak hari pertamanya ia menginjakkan kaki di negeri asing ini, Novi menginap di sebuah hotel yang letaknya tepat berada di pinggiran sungai Huangpu. Siang ini ia harus merampungkan pekerjaannya, agar kemudian dirinya bisa untuk sejenak menikmati waktu senggang di kota Shanghai. Pikirnya akan sangat merugi sekali bagi orang-orang yang dapat pergi ke luar negeri tapi tidak bisa menikmati barang satu jam saja untuk berlibur. Ya, ia bertekad bahwa hari ini adalah hari penghabisan, dan besok adalah hari pembalasan. Walaupun sebenarnya ia seorang diri di negeri orang. Kesendirian bagi dirinya adalah kesempurnaan dalam mengejar karier.
ADVERTISEMENT
Setelah beres melakukan rutinitas pagi, Novi lalu beranjak menuju restoran hotel yang memang disediakan gratis untuk para tamu hotel. Dan setiap pagi pula, Novi selalu merasakan sesuatu yang ganjil saat dirinya menyantap sarapan di hotel tersebut. Ia merasa seperti selalu melihat seseorang yang ia kenal di masa lalu. Merasa bahwa sebagian masa lalunya datang kembali menghantui dirinya. Setiap pagi, dia selalu memerhatikan sosok lelaki yang juga tengah menikmati sarapannya di meja bagian luar restoran itu. Lelaki itu mengenakan sweater dan selalu melemparkan pandangannya pada hamparan luas sungai Huangpu. Novi merasa ia mengenali lelaki ini, walaupun ia hanya dapat memerhatikan punggunggnya saja, tetapi perasaan kuat tetap tidak bisa ia tahan. Tapi Novi bukan perempuan yang suka blak-blakkan, nyalinya selalu menciut saat berniat untuk menyapa lelaki itu.
ADVERTISEMENT
Tapi hari ini adalah hari yang berbeda. Hari ini adalah hari penghabisan, pikir Novi. Maka setelah memakan setengah sarapannya lalu minum teh hangat, pandangannya terus menatap punggung lelaki itu. Ia bingung dan ragu, tapi sekali lagi, hari ini adalah hari penghabisan. Hingga akhirnya Novi memberanikan diri untuk menghampiri lelaki itu. Ia menepis jauh-jauh perasaan ragunya itu, langkah kakinya tegas memutuskan berjalan pada arah yang dituju, tapi detak jantungnya tetap berdegup kencang saat ia menyapa lelaki itu.
“Hai.”
“Ehh… Hai.”
Kemudian yang terjadi adalah keheningan yang seketika menyeruak memenuhi restoran hotel itu.
Goresan kuas pada kanvas selalu menjadi hal yang indah baginya. Warna-warna kehidupan ia lukiskan lewat jemari tangannya yang gemulai. Menjadi seorang pelukis sepertinya telah melekat pada tubuh lelaki bernamanWayan ini. Dari potret-potret hasil karyanya ia bisa hidup sampai saat ini. Bukan hanya bagi dirinya, tapi dari lukisan pula lah ia mampu menafkahi keluarganya. Lewat kuas, kanvas, cat, dan berbagai media lainnya telah mampu membuat lelaki ini hidup berkecukupan. Bahkan saat ini, ia hingga mampu melakukan perjalanan lintas negara pun karena kepentingan yang masih berhubungan dengan proses kreatif melukisnya.
ADVERTISEMENT
Wayan, lelaki asli Bali namun telah lama tinggal di Bandung ini adalah seorang seniman tulen. Ayahnya seorang seniman pahat dan ibunya adalah penari yang mempunyai sanggar di kampung halamannya. Wayan mulai menggemari dunia gambar sejak usia remaja memutuskan untuk melanjutkan studinya ke belahan tanah jawa bagian barat. Ia ingin memperdalam ilmu seni rupa di salah satu perguruan tinggi paling bergengsi yang ada di Bandung.
Semenjak Wayan tinggal di kota kembang, ia memiliki beragam kenangan manis yang tidak akan pernah bisa ia lupakan. Salah satunya adalah saat dirinya menjalin hubungan asmara dengan perempuan asli parahiyangan. Ternyata memang benar kata orang, bahwa cerita cinta saat beranjak remaja tidak mungkin bisa dilupakan, begitulah kira-kira yang Wayan percayai hingga saat ini. Walaupun dirinya telah mempunyai istri dan anak gadis berusia 6 tahun, namun Wayan selalu memiliki sisa ruang di sudut hatinya untuk kenangan masa lalunya.
ADVERTISEMENT
Wayan yang kerapkali melukiskan perasaannya pada sebidang kanvas ini bukan sosok lelaki yang tampan. Tapi kerendahan hatinyalah yang membuat Novi-cinta masa lalunya-dan istrinya saat ini jatuh hati terhadapnya. Saat ini, ia sedang melakukan perjalanan lintas negara karena kewajiban profesinya sebagai dosen di universitasnya dahulu. Melalui kedua jalan inilah, yakni sebagai dosen dan seniman lukis dirinya mampu menjalani hidup yang berkecukupan. Kehadirannya di Shanghai saat ini tidak lain adalah untuk melakukan tugas penelitian bersama salah satu universitas di China.
Hampir seminggu lamanya ia telah berada di negeri orang, dan hampir rampung pula kewajibannya. Sebelum melakukan rutinitasnya, setiap pagi di hotel tempat ia menginap, Wayan selalu menyempatkan untuk sekadar mencorat-coret secarik kertas setelah selesai menyantap makan pagi. Kebiasaan ini selalu dilakukan Wayan apabila dirinya sedang merasakan sesuatu yang sangat penting. Saat ini lukisannya itu hampir rampung, dan ketika dia tengah menggoreskan pensilnya pada secarik kertas itu, Wayan dikejutkan oleh sapaan seorang perempuan yang datang dari arah belakang.
ADVERTISEMENT
“Hai.”
“Ehh… Hai.”
Kemudian yang terjadi adalah keheningan yang seketika menyeruak memenuhi restoran hotel itu.
canva.com