news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Sabtu, 18 November 2017

Siro Manungso
We all have to die at some stage..............
Konten dari Pengguna
18 November 2017 22:36 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siro Manungso tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sabtu, 18 November 2017
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Dalam sebuah percakapan, di sebuah kereta dalam kota, dengan mata kami masing-masing memandang kejauhan, ia berucap: ‘’Kapan dan bukan jika. Karenanya rela dan selalu bersiaplah.’’
ADVERTISEMENT
Tak perlu ia jelaskan apa yang dimaksud. Aku mengerti. Aku hanya terkejut karena kata-kata itu keluar dari mulutnya – atau sebenarnya terkejut dengan muatan kasih dalam hatinya saat ia mengucapkan.
Bertahun-tahun kami tak bertemu. Tegur sapa hanya sebatas lewat layar penghubung maya. Ia dan istrinya sahabat aku dan istriku.
Hari itu ia berkunjung. Sendirian. Aku menjemputnya di stasiun kereta antar negara. Untuk kemudian berpindah ke kereta dalam kota.
Ia menyeberang negara hanya untuk mengunjungi aku dan istriku. Menjenguk istriku yang sedang tidak sehat.
‘’Rasa kasih dan sayang memang terkadang begitu menyakitkan, ketika kau tahu kesementaraan membatasinya.’’
Awalnya aku pikir ia berbicara padaku. Mungkin karena dalam beberapa percakapan sebelum ia berkunjung aku terdengar sangat mengkhawatirkan kondisi istriku.
ADVERTISEMENT
Namun lambat laun aku sadar ia sedang berbicara pada dirinya sendiri.
Aku tahu ibunya belum lama meninggal. Ia tak sempat hadir di pemakaman. Setelah bercerai dari ayahnya, ibunya tinggal jauh di seberang dunia.
Ia telah berdamai dengan kenyataan itu. Tetapi sulit untuk bisa menyembunyikan rasa sesalnya.
‘’Kehidupan dan kematian selalu berpagut. Itu aku mengerti. Itu aku terima,’’ ia bergumam, ‘’Waktunya saja yang tidak bisa kita atur. Itu menyakitkan.’’
Kami lalu melamun lagi. Sinar matahari menerobos kaca kereta ketika kereta keluar dari jalur bawah tanahnya ke permukaan, pelan-pelan menghangatkan musim semi yang terasa lebih dingin dari biasanya.
‘’Jadi bagaimana istrimu?’’
‘’Sangat membaik. Kondisinya bagus sekali,’’ jawabku.
‘’Anakmu?’’
‘’Di jalan yang baik untuk menjadi pemuda yang bisa dibanggakan orang tuanya,’’ jawabku lagi. ‘’Keluargamu?’’
ADVERTISEMENT
‘’Paling berharga dalam hidupku,’’ katanya.
Pembicaraan di kereta itu, pembicaraan dipagi itu, pembicaraan dengan sahabatku itu, memberi kekuatan dan kepasrahan mengarungi hidup yang tak terhingga hingga sekarang. Beberapa kalimatnya selalu aku ingat. Terpahat di relung batin paling dalam.