Dikenal Ramah dan Penyayang, Ketika Ada COVID-19 Justru Menghilang: Tetangga

Siti Alisha Chairinnisa
Mahasiswa Psikologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Konten dari Pengguna
18 Desember 2021 12:42 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Siti Alisha Chairinnisa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Ilustrasi tetangga. Sumber: www.freepik.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi tetangga. Sumber: www.freepik.com
Apa yang pertama kali terbayang di benakmu bila mendengar kata tetangga?
ADVERTISEMENT
Ramah? Penyayang? Penuh rasa kekeluargaan? Ya! tetangga memang identik dengan ciri-ciri tersebut. Mereka dapat menjadi teman, saudara, bahkan keluarga sekalipun. Mereka adalah tempat bagi kita untuk berbagi cerita, bersuka ria, hingga berkeluh kesah. Hidup rasanya tidak akan komplit tanpa hadirnya tetangga. Akan tetapi, semua itu berubah ketika pandemi Covid-19 melanda. Mereka, para tetangga yang dikenal ramah, kini terkenal mudah marah.
Mereka yang dikenal gemar membantu, kini justru semakin menjauh. Lama-kelamaan tetangga tidak lagi diartikan sebagai orang yang tempat tinggalnya berdekatan atau bersebelahan, melainkan asing dan berjauhan. Richard Whately berkata bahwa seseorang dikatakan egois bukan karena sedang mengejar kebaikan sendiri, melainkan karena ia mengabaikan sesamanya. Mungkin perkataan ini cocok untuk menggambarkan sikap tetangga terhadap sesamanya di masa pandemi Covid-19 sekarang.
ADVERTISEMENT

Penyintas Covid-19 vs Tetangga

Bicara tentang Covid-19 dan tetangga, saya sebagai seorang penyintas juga memiliki cerita yang cukup pahit. Tetangga yang juga menjadi saudara saya, pergi menjauh ketika hari pertama kami sedang isolasi mandiri di rumah. Mereka sama sekali tidak peduli dan justru mengucilkan kami. Kejadian ini tidak hanya berlaku di keluarga saya, tetapi juga kepada keluarga yang lain di kompleks perumahan kami. Tidak ada kata saling membantu. Hanya ada beberapa tetangga saja yang benar-benar peduli dan mau membantu, itu pun hanya hitungan jari. Justru kerabat yang tempat tinggalnya jauh yang lebih bersedia membantu kami.
Tampaknya kejadian ini juga berlaku di berbagai daerah lain. Contohnya kisah CB (27), seorang warga asal Cikupa, Tangerang. Dilansir dari (Kompas.com), CB dan keluarga mengaku dikucilkan oleh tetangga dan warga sekitar ketika sedang menjalankan isolasi mandiri. Ia mengatakan bahwa banyak tetangga yang kerap mengawasi rumahnya hingga membuat ibunya sering menangis. Hanya ada tetangga depan rumah yang bersedia membantu, sementara selebihnya tidak ada.
ADVERTISEMENT
Serupa halnya yang dirasakan oleh Yeni. Dilansir dari (PikiranRakyat.com), banyak tetangga memperlakukan Yeni dan keluarganya seperti orang yang harus dijauhi. Ia menjelaskan jika anak-anaknya selalu diminta untuk membuang sampah di tempat yang lebih jauh dengan alasan karena mereka khawatir jika dalam tumpukan sampah tersebut terdapat virus Covid-19 dan akan menular ke mereka. Lebih disayangkan lagi, pengucilan tersebut tidak hanya berlangsung ketika Yeni sedang sakit, namun terus berlanjut hingga ia dinyatakan sembuh.
Dari beberapa cerita di atas, dapat disimpulkan jika tidak semua tetangga ramah dan penyayang. Daripada membantu, mereka lebih memilih untuk mengucilkan, menghindar, bahkan menghilang. Akan tetapi, apa alasan mereka lebih memilih menghindar dan “menghilang”?

Tetangga, Stigma yang Tercipta, dan Dampaknya

Penelitian yang dilakukan oleh (Dai, 2020) mengatakan bahwa pandemi Covid-19 memunculkan suatu fenomena sosial negatif yang disebut dengan stigma sosial. World Health Organization mendefinisikan stigma sosial (dalam suatu wabah) sebagai orang-orang yang dilabeli, diberi stereotip, didiskriminasi, serta diperlakukan berbeda karena memiliki keterikatan dengan penyakit tertentu (WHO, 2020). Ya, Covid-19 memang terbilang baru dan asing di kalangan masyarakat. Tak heran jika mereka cenderung merasa takut dan waswas terhadap penyakit ini. Terlebih jika ada orang di sekitar yang terpapar, mereka akan semakin merasa takut hingga memunculkan stigma seperti penderita Covid-19 merupakan aib masyarakat atau penderita Covid-19 harus dijauhi meskipun ia sudah sembuh total.
ADVERTISEMENT
Selain rasa takut yang berlebih, stigma sosial juga timbul akibat kurangnya kemampuan masyarakat dalam menerima dan memilih informasi seputar Covid-19. Dosen Fakultas Psikologi Universitas 17 Agustus 1945 (Untag) Surabaya, Dr. Andik Matulessy, M.Si., Psikolog, mengatakan bahwa masyarakat masih sangat tergantung pada informasi yang didapat tanpa melihat kembali apakah informasi tersebut aktual dan kredibel. Selain itu, media yang kerap menyebarkan informasi yang simpang siur seputar Covid-19 diikuti dengan kurangnya etika penyampaian berita, justru menyebabkan stigma sosial semakin bermunculan.
Mungkin, inilah yang membuat tetangga “menghilang” ketika tetangganya yang lain sedang terpapar Covid-19. Berawal dari sedikitnya pengetahuan mengenai Covid-19, simpang siurnya informasi, hingga kurangnya kemampuan memilah berita, justru menyebabkan munculnya virus “pemberian stigma negatif” yang dilakukan masyarakat terutama tetangga kepada orang-orang di sekitarnya. Akhirnya, banyak tetangga yang khawatir dan cemas berlebih. Daripada ikut membantu lalu tertular Covid-19, mereka lebih memilih tidak membantu, menjauh, bahkan “menghilang” dari hadapan orang-orang di sekitarnya.
ADVERTISEMENT
Padahal, seseorang yang terpapar Covid-19 sangat memerlukan bantuan orang lain, terutama tetangga sebagai orang yang terdekat. Tetangga seharusnya dapat memberikan support dan hadir ketika tetangganya yang lain sedang sakit, bukannya mengucilkan dan memutus kontak lalu pamit, karena hal tersebut berdampak besar kepada orang yang sedang terpapar maupun penyintas Covid-19. Beberapa dampak yang dapat muncul di antaranya seperti rasa sedih yang berlebihan, merasa kesepian, menjadi lebih tertutup, mudah putus asa, bahkan dapat menyebabkan turunnya imunitas tubuh dan akan memperlambat proses penyembuhan.

Kita Sebagai Tetangga Juga

Ya, memang sebagai tetangga, pastinya rasa takut, cemas, dan khawatir tidak dapat terhindarkan. Terlebih lagi dengan maraknya pemberitaan tentang Covid-19 varian Omicron, pastinya perasaan tersebut semakin sering bermunculan. Namun, alangkah baiknya bila kita tidak berprasangka buruk, mau menolong dan membantu, serta tidak menjauh dan menghilang begitu saja. Sebagai tetangga yang baik, sudah seharusnya kita ada untuk mereka. Bayangkan bila kita berada di posisi mereka. Harus menahan sakit dan berjuang untuk kesembuhan, tetapi malah dikucilkan dan ditinggalkan. Tentunya kita juga akan merasa sangat sedih bukan?
ADVERTISEMENT
Seperti dalam ungkapan, sebaik-baiknya tetangga adalah yang berbuat baik terhadap tetangganya. Kita dapat membantu dimulai dari hal-hal kecil seperti menanyakan kabarnya, mengirimkan makanan, memberi obat-obatan, mengajaknya mengobrol, menebarkan hal-hal yang positif, dan lain sebagainya.

Referensi

Cerita Penyintas Covid-19 di Bandung, Setelah Sembuh Tetap Dikucilkan Tetangga - PRFM News. (n.d.). Retrieved December 17, 2021, from https://prfmnews.pikiran-rakyat.com/bandung-raya/pr-131332403/cerita-penyintas-covid-19-di-bandung-setelah-sembuh-tetap-dikucilkan-tetangga
Curhat Penyintas Covid-19 yang Hanya Bisa Isolasi Mandiri, Dikucilkan Tetangga dan Bahan Gunjingan Halaman all - Kompas.com. (n.d.). Retrieved December 17, 2021, from https://megapolitan.kompas.com/read/2021/01/13/15303281/curhat-penyintas-covid-19-yang-hanya-bisa-isolasi-mandiri-dikucilkan?page=all
Dai, N. F. (2020). Stigma Masyarakat Terhadap Pandemi Covid-19. Prosiding Nasional Covid-19, 66–73. https://www.ojs.literacyinstitute.org/index.php/prosiding- covid19/article/download/47/32
Magister Psikologi Untag Surabaya. (n.d.). Retrieved December 17, 2021, from https://mpsi.untag-sby.ac.id/berita-1488-webinar-fakultas-psikologi-untag-surabaya-tentang-covid19.html
World Health Organization (WHO). (2020). Stigma Sosial terkait dengan COVID-19 Panduan untuk mencegah dan mengatasi stigma sosial.
ADVERTISEMENT