3 Cara Merespons Konflik dengan Anak dan Remaja, Yang Mana Cara Anda?

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
14 Desember 2019 7:22 WIB
comment
6
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
3 Cara Merespons Konflik dengan Anak dan Remaja, Yang Mana Cara Anda?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Semakin anak bertambah usia, semakin sering Anda berseberangan pendapat dengan mereka. Apalagi, saat mereka memasuki usia remaja. Hal yang tadinya sangat mudah dipahami anak, seperti pentingnya ikut acara keluarga, mengapa tidak boleh makan makanan tidak sehat, mendadak mengundang protes dari remaja. Mulai tumbuhnya keinginan untuk mengambil keputusan sendiri membuat konflik dengan remaja menjadi hal yang tidak terhindarkan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, konflik juga dapat muncul karena adanya perbedaan kepentingan (interest) antara orang tua dan remaja. Misalnya, Anda menganggap belajar tiap malam penting bagi performanya di sekolah, sementara anak menganggap les bimbel setiap sore sudah cukup untuk belajar. Perbedaan ini bisa menjadi konflik terbuka jika Anda stres (karena khawatir nilainya jelek saat ujian besok) dan lelah beraktivitas seharian sehingga tersulut emosi dan menyampaikan pendapat Anda dengan nada tinggi.
Dalam merespons konflik semacam itu, Imelda Hutapea, M.Ed dalam Modul Komunikasi Efektif Keluarga menjelaskan tiga cara merespon konflik yang orang tua kerap lakukan

1. Menghindari konflik

Sikap menghindari konflik bisa dilakukan orang tua karena sejumlah alasan, seperti tidak ingin terjadi pertengkaran berlarut-larut, tidak berani dengan anak, sudah berusaha sedemikian rupa hingga akhirnya lelah dan memilih untuk membiarkan saja konflik yang terjadi dengan harapan akan terselesaikan dengan sendirinya. Padahal, membiarkan masalah berlalu tanpa diselesaikan secara tuntas ibarat menumpuk bom yang sewaktu-waktu bisa meledak.
ADVERTISEMENT
Beberapa kalimat yang biasa diucapkan orang tua saat menghindari konflik (selain mendiamkan anak) adalah:
“Maaf ya, Kak. Mama yang salah.” (walaupun Anda tidak benar-benar merasa salah dan terkadang diucapkan dengan nada ketus)
“Udah deh. Kamu mau belajar terserah, enggak juga terserah. Ayah udah enggak peduli lagi.”
“Ibu sudah capek nasehatin masalah ini terus. Sekarang kamu sendiri ambil keputusan. Jangan minta bantuan Ibu kalau kamu gagal ya.”

2. Konfrontasi

Merespons konflik dengan mengungkapkan semua isi hati tanpa disertai pengendalian emosi hanya akan membuat remaja merasa diserang, disalahkan, dan membuat suasana semakin panas. Anda yang melakukan konfrontasi bisa memicu remaja untuk melakukan hal yang sama hingga terjadi pertengkaran. Kemungkinan kedua, cara Anda meluapkan amarah membuat remaja tidak memiliki kesempatan bicara dan memilih untuk diam saja dan mengabaikan Anda. Contoh kalimatnya:
ADVERTISEMENT
“Kamu selalu saja bikin masalah. Mama sudah capek kerja, masih ngurusin kamu yang ga bener belajarnya. Belum lagi laporan wali kelasmu…” (padahal anak tidak membuat masalah 7x24 jam, tetapi orang tua sering menggunakan kata “selalu”)
“Kamu tahu kan, Ayah enggak suka kamu bergaul sama anak itu? Kamu dekat dengan dia tandanya kamu enggak hormat sama Ayah! Sudah nggak usah banyak alasan!” (tidak ada ruang bagi anak untuk menjelaskan)

3. Menyelesaikan masalah

Menyelesaikan masalah merupakan cara merespons konflik yang paling ideal, karena memang masalah sejatinya ada untuk dicari jalan keluarnya. Dalam menyelesaikan masalah, ada tiga keterampilan penting yang perlu dikuasai, yaitu keterampilan mendengar (active listening), menyatakan pendapat dengan i-message (menggunakan kata ganti “aku” agar anak tidak merasa disalahkan/diserang), dan kemampuan problem solving atau penyelesaian masalah.
ADVERTISEMENT
Ketiga hal di atas bisa dilakukan hanya jika Anda sudah merasa tenang, tidak lagi emosi, dan memantapkan diri untuk menyelesaikan masalah, bukan lagi menyalahkan anak apalagi mengungkit “dosa-dosa” masa lalu anak.
Sebenarnya, konflik bukanlah hal yang buruk. Dari konflik, orang tua belajar untuk menyesuaikan diri dengan kebutuhan remaja akan kemandirian dan bergantung pada diri sendiri (self reliance). Remaja juga berlatih untuk mengasah logikanya dengan peraturan dan sudut pandang orang tua, terkadang dengan cara protes, menolak, negosiasi, atau mempertahankan pendapatnya. Anda sebagai orang tua lah yang menjadi “lahan pembelajarannya”.
Jadi, jangan sampai momen penting pengembangan dirinya ini tidak termanfaatkan dengan baik hanya karena Anda salah memilih cara merespons konflik. Pastikan tujuan akhirnya untuk kebaikan remaja, bukan semata memenangkan adu argumen atau permintaan maaf.
ADVERTISEMENT