news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Banyak Anak, Banyak (Cari) Rezeki

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
14 Januari 2020 8:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi banyak anak, banyak (cari) rezeki. Dok Skata
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi banyak anak, banyak (cari) rezeki. Dok Skata
ADVERTISEMENT
Bagi generasi terdahulu, memiliki anak banyak merupakan hal yang wajar. Banyak anak banyak rezeki, begitu katanya. Kita yang terlahir antara tahun 1980 hingga 2000 mungkin masih memiliki orangtua yang memiliki saudara kandung lebih dari tiga orang.
ADVERTISEMENT
Ketika berkumpul di hari raya, dapat dilihat betapa banyaknya anggota keluarga yang biasanya diawali dari tiga atau empat generasi sebelumnya. Saking besarnya, belum tentu setiap anggota keluarga saling mengenal.
Bagaimana dengan generasi sekarang?
Memiliki anak lebih dari dua merupakan suatu prestasi. Jika ada teman atau kerabat yang memiliki anak tiga, misalnya, pasti akan mendapatkan komentar, “Hebat, ya..!”. Jika anaknya empat, langsung diacungi jempol, sekaligus pertanyaan tentang bagaimana caranya mengasuh anak sebanyak itu.
Hal tersebut tidak berlebihan, mengingat kebanyakan pasangan saat ini merupakan produk program KB. Dalam pola pikir generasi ini, sebuah keluarga idealnya memiliki anak dua orang.
Dengan hanya dua orang anak, pemenuhan kebutuhan hidup akan lebih mudah dilakukan. Jika suami dan istri sama-sama berkarier pun, anak masih memungkinkan mendapat perhatian yang cukup dari orangtua.
ADVERTISEMENT
Meskipun demikian, istilah banyak anak banyak rezeki masih tetap ada hingga saat ini. Ungkapan tersebut terkadang dijadikan kelakar ketika seseorang memiliki banyak anak.
Artinya, di tengah kebutuhan ekonomi yang meningkat, banyaknya anak tidak menghalangi sebuah keluarga untuk membesarkan anak-anak mereka karena setiap anak dilahirkan dengan membawa rezeki. Bahkan, ketika orangtua nanti sudah memasuki usia tidak produktif, jumlah anak yang banyak diyakini akan menjadi “penolong” secara finansial.
Kondisi tersebut mungkin ada benarnya. Pada generasi kakek nenek kita, memiliki banyak anak bukan untuk mengejar rezeki, melainkan karena mereka belum mengenal apa itu kontrasepsi. Dengan jumlah anak yang banyak, kebanyakan masa kecil mereka dihiasi oleh cerita hidup pas-pasan dan penuh kerja keras.
Membantu orangtua dilakukan dalam usia yang masih tergolong kanak-kanak karena jumlah adik yang banyak. Orangtua pun habis energinya untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga.
ADVERTISEMENT
Sehingga, ketika anak-anaknya sudah dewasa dan mapan, orangtua pun bisa beristirahat dan bergantian dirawat oleh anak-anaknya.
Apakah konsep tersebut masih relevan saat ini?
Dengan jumlah penduduk Indonesia yang mencapai 260 juta jiwa, persaingan ekonomi pun menjadi semakin kompetitif. Lapangan kerja terbatas, sementara lulusan perguruan tinggi semakin banyak yang menjadi pengangguran.
Biaya kesehatan dan pendidikan pun semakin mahal. Banyak orangtua yang akhirnya tidak memiliki waktu berkualitas dengan anak karena harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan.
Itu baru dari sisi keluarga yang mampu. Bagaimana dengan mereka yang tergolong tidak mampu?
Di kawasan pedesaan maupun daerah pinggiran, masih banyak satu rumah yang ditinggali beberapa kepala keluarga: ayah, ibu, anak, menantu, cucu. Ibu pun akhirnya bertugas merawat cucu di usia yang tidak lagi muda, sementara anaknya ikut mencari nafkah. Kalau sudah seperti ini, banyak anak artinya banyak mencari rezeki.
ADVERTISEMENT
Jika kebutuhan tidak terpenuhi, hal semacam ini bisa berujung pada kemiskinan.
Karena itu, merencanakan seberapa besar keluarga kita kelak merupakan hal yang mutlak dilakukan oleh pasangan manapun, dari golongan ekonomi apa pun. Jika kita dan pasangan ingin memiliki empat orang anak, itu adalah pilihan masing-masing. Namun, pastikan jarak antar kelahiran minimal dua tahun, agar setiap anak mendapatkan haknya atas ASI dan tubuh ibu kembali prima untuk proses persalinan berikutnya.
Kita bisa memilih alat kontrasepsi yang sesuai untuk menjarakkan kelahiran. Memiliki banyak anak tetap harus terencana, bukan?
Sebaliknya, jika keluarga kecil dengan dua anak adalah pilihan kita, tetap pastikan setiap anggota keluarga terpenuhi kebutuhannya. Kebutuhan di sini mencakup kebutuhan primer, sekunder, dan tersier.
ADVERTISEMENT
Kemajuan zaman membawa pengaruh pula terhadap meningkatnya jenis kebutuhan, seperti tabungan pendidikan, asuransi, serta rekreasi. Jangan lupa, kualitas komunikasi dengan pasangan dan kecakapan orangtua dalam pengasuhan anak (parenting skill) juga menjadi salah satu kebutuhan.
Globalisasi membawa kemajuan sekaligus tantangan bagi orangtua dalam membesarkan anak mereka. Melakukan perencanaan keluarga dengan baik tidak saja membuat kita sebagai orangtua merasa lebih tenang dan bahagia, namun juga kelak akan menghasilkan generasi penerus yang berkualitas karena terpenuhi kebutuhannya.
Jadi, masih mau punya banyak anak?