Fakta tentang Kekerasan Seksual pada Remaja

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
28 Desember 2019 8:29 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Fakta tentang Kekerasan Seksual pada Remaja
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja tahun 2019 (SPNHAR 2018) oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) menunjukkan satu dari 17 anak lelaki dan satu dari 11 anak perempuan pernah mengalami kekerasan seksual.
ADVERTISEMENT
Siapa pelakunya? Kebanyakan adalah teman atau sebayanya (47%-73%) dan sekitar 12%-29% adalah kekasihnya. Terdapat 3.528 kasus menurut Catahu Komnas Perempuan di tahun 2018, 76% diantaranya adalah kekerasan terhadap perempuan di ranah publik seperti pencabulan, pelecehan seksual, perkosaan dan persetubuhan.
Organisasi non pemerintah yang membantu penanangan kasus kekerasan terhadap perempuan, Rifka Annisa Women's Crisis Center, setidaknya menangani 40 kasus kekerasan seksual tiap tahunnya. Di tahun 2019, sebanyak 47 kasus ditangani Rifka Annisa dan 24 di antara korbannya adalah anak dan remaja.
Miris sekali, karena sebagian besar kasus yang dialami anak dan remaja merupakan kasus incest, dimana pelakunya adalah orang yang masih memiliki hubungan darah atau kerabat dengan korban, seperti ayah kandung, ayah tiri, paman, kakek dan atau yang mengenal korban dengan baik seperti tetangga, bahkan kekasih ibu korban yang sudah menjanda. Tak terkecuali, guru dan staf pengajar. Alasannya, salah satunya adalah relasi kuasa yang menjadikan pelaku memiliki kekuasaan dan dimanfaatkan untuk berbuat kejahatan dan mengancam korban.
ADVERTISEMENT

Kebanyakan kasus, apakah dibawa ke ranah hukum?

Sebagian besar, ya. Karena saat ini masyarakat sudah sadar hukum, tak seperti dulu yang lebih mengutamakan musyawarah dan jalan damai. Untuk kasus yang terjadi pada remaja di bawah umur, proses hukum tetap berjalan walau namun kemudian dilakukan diversi (penyelesaian di luar pengadilan). Diversi di sini bahwa aparat penegak hukum menegaskan siapa yang salah dan siapa yang benar. Ini penting untuk memenuhi rasa keadilan orang tua dan korban.

Apa dampak kekerasan seksual pada remaja?

Tentu, kekerasan seksual pada remaja tak hanya berdampak pada korban namun juga orang tua dan sang pelaku.
Pada korban, dampaknya adalah:
ADVERTISEMENT
1. psikologis (stres, depresi, kecemasan, panik, keinginan bunuh diri, self harm, gangguan klinis lainnya)
2. fisik (tertular IMS, kehamilan tidak dikehendaki, aborsi, melahirkan di usia dini)
3. sosial (stigma negatif dari keluarga dan masyarakat, dikucilkan, dikeluarkan dari sekolah, menjadi orangtua tunggal di usia dini)
4. hukum (terlibat proses hukum, berlanjut dengan KDRT dan perceraian)
Pada orang tua, dampaknya adalah:
1. psikologis (malu, sedih, cemas, stres, depresi), sosial (mendapat stigma buruk di masyarakat, dikucilkan)
2. hukum (terlibat proses hukum yang panjang, bahkan terkadang proses hukum terhenti karena kekurangan alat pendukung bukti dan saksi)
3. ekonomi (menanggung biaya yang ditimbulkan, termasuk ketika terjadi kehamilan hingga ke pemeliharaan bayi dan anak)
ADVERTISEMENT
4. fisik (terdampak pada kesehatan fisik, menjadi lebih sakit-sakitan)
Pada pelaku, dampaknya adalah:
1. hukum (berproses pidana)
2. sosial (malu di masyarakat, kehilangan pekerjaan)
3. psikologis (stres karena dipidana, atau pada salah satu kasus pelaku ayah tiri mengalami depresi, tidak mau makan, hingga meninggal dunia)
Bagaimana penanganan dampak fisik dan psikologis yang terjadi?
Untuk dampak fisik, pemeriksaan medis dilakukan di puskesmas atau rumah sakit. Di sebagian wilayah di Indonesia seperti di Yogyakarta, pembiayaan medis bagi perempuan dan anak korban kekerasan gratis bagi pasien, dijamin oleh Bapeljamkesos, melalui rekomendasi dari Forum Perlindungan Korban Kekerasan (FPKK).
Beberapa rumah sakit di DIY memiliki unit khusus untuk menangani perempuan dan anak korban kekerasan, dengan tenaga medis terlatih dan mekanisme layanan yang ramah pada korban. Sementara itu, penanganan psikologis dilakukan oleh konselor atau psikolog yang memiliki lembaga layanan, seperti P2TP2A. Nantinya, akan ditetapkan apakah perlu rujukan psikolog atau psikiater.
ADVERTISEMENT
Lalu apa yang harus kita lakukan, jika anak adalah korban kekerasan seksual dan mengalami trauma?
Orang tua dapat menyampaikan cinta dan dukungan tanpa syarat pada si anak, merangkulnya, dan menjadi pendengar yang baik. Ajak anak untuk memeriksakan kondisi kesehatannya dan memberi pengertian pada anak ketika memilih proses hukum, agar anak bisa memahami bahwa upaya orang tua adalah demi kebaikannya.
Dukung anak agar siap dalam menjalani prosesnya. Orang tua dapat menghubungi lembaga layanan pendampingan untuk mendampingi mereka menghadapi anak, maupun menentukan sikap dan membuat keputusan-keputusan penting lainnya. Ingat, segala proses harus dilakukan dan diputuskan bersama dengan anak, bukan keputusan sepihak dari orang tua.