news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Jika Calon Suami ternyata 'Anak Mami'

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
25 Mei 2022 9:13 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Jika Calon Suami ternyata 'Anak Mami'
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
"Jeng, calon suami aku kayanya 'anak mami', deh. Awalnya aku jatuh hati sama perhatiannya ke ibunya. Tapi, kok semakin ke sini dia ‘terlalu nurut’ ya sama ibunya.. Suaraku kaya enggak ada artinya..”
ADVERTISEMENT
Melihat lelaki yang perhatian pada ibunya, siapa yang tak jatuh hati? Kalau dia bisa bersikap seperti itu pada ibunya, apalagi dengan kita kan? Sayangnya, kenyataan ternyata membuat kita harus menerima kondisi lebih dari itu. Ya, dia cinta sekali dengan ibunya, sangat mencintainya sehingga menaruh ibu di atas segalanya (termasuk kita) membuat kita jadi mempertanyakan bagaimana nanti ketika sudah menikah?
Menikah dengan ‘anak mami’ sebenarnya bukan hal yang buruk. Pria yang dekat dengan ibunya, menurut studi memiliki mental yang lebih sehat dan punya empati yang baik. Mereka punya hubungan yang baik dengan wanita yang dicintainya.
Hanya saja, ada kondisi yang menjadikannya tak sehat, ini yang bikin jadi masalah. Kalau mereka “tidak bisa berfungsi” tanpa ibunya, kita perlu khawatir. Ketika ia tak bisa membuat batasan, terlalu bergantung pada ibunya bisa jadi membahayakan hubungan atau pernikahan. Penting untuknya bisa menciptakan batasan yang sehat antara dia dan ibunya juga dengan kita.
ADVERTISEMENT
Apa, sih ciri-ciri ‘anak mami’?
Ia punya beberapa ciri-ciri ‘anak mami’? Tenang..
ADVERTISEMENT
Kita masih bisa, kok memperbaiknya dan membangun hubungan yang sehat dengannya (juga sang ibu), begini caranya..
1. Buat batasan yang jelas
Menurut Dr. Herb Goldberg, kita tak perlu mencap suami bahwa ia adalah anak mami di depannya. Tapi, penting untuk menetapkan batasan yang jelas dengannya. Misal, ia boleh kapan saja menghubungi ibunya tapi tidak di momen penting kita bersamanya.
Atau, ketika ia punya masalah sebaiknya ceritakan dulu pada kita sebelum ke ibunya. Terpenting, ketika kita ‘terpaksa’ harus tinggal bersama dengan ibunya ia harus tetap paham posisinya sebagai suami dan kepala keluarga serta menentukan prioritasnya.
2. Sering bertemu boleh saja, asal…
ADVERTISEMENT
Bisa mengatur waktu sebaik mungkin agar tetap adil dengan keluarga. Berkunjung ke rumahnya seminggu sekali, oke.. tapi bukan tiap saat ia boleh datang dan mengganggu aktivitas. Bukan karena kita terganggu dengan kehadirannya, hanya saja kita perlu punya batasan dan waktu untuk bisa berkembang sebagai keluarga tanpa ada pengaruh sang ibu.
3. Keputusan tetap ada di tangan pasangan, bukan ibunya
Memberi input bukan hal yang salah, tapi mengatur beda soal. Jika segala sesuatu harus sesuai dengan perintah ibu, ini bisa jadi masalah. Apalagi, jika masalah kecil seperti pilihan baju, sepatu, hingga urusan makanan ibu juga yang mengatur (padahal sudah ada kita, istrinya). Lagi-lagi, punya batasan itu penting! Jangan sampai urusan pernikahan ikut di ‘cawe-cawe’ alias ibunya ikut campur.
ADVERTISEMENT
Kesulitan untuk bicara dengan pasangan karena merasa ikatan dengan ibunya terlalu mengkhawatirkan?
Konsultasi dengan profesional bisa jadi solusi. Kadang kala, pasangan sulit melihat dengan jernih kalau masukan datangnya dari kita. Dianggap tidak menghargai ibunya, atau merasa tak memahami kondisinya, bisa jadi malah mempersulit keadaan. Orang ketiga (dalam hal ini tenaga profesional) bisa membantu menjembatani komunikasi yang terhambat.
Photo created by pressfoto - www.freepik.com