Kecerdasan di Balik 'Bantahan' Anak

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
18 April 2020 6:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kecerdasan di Balik 'Bantahan' Anak
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Anak yang menjawab ketika diberi tahu rasanya menjadi sesuatu yang makin sering dialami oleh orang tua zaman sekarang. Ini berbeda jika dibandingkan dengan anak generasi terdahulu yang tidak berani membantah apa kata orang tua. Jangankan membantah, memandang mata orang tua saja sudah dianggap tidak sopan. Ketika dimarahi, anak menunduk melihat ujung-ujung kaki. Terima tidak terima, orang tua hanya mau anak menerima dan mendengarkan.
ADVERTISEMENT
Tapi rasanya ini sudah tidak berlaku lagi. Sofia, anak saya yang baru berumur 5 tahun sudah bisa menjawab balik.
Tiga hari yang lalu, saya menemukan celananya lembab di bagian bokong. Saya lihat tidak ada tumpahan air di sekitarnya. Saya pun bertanya, kok bisa bagian belakangnya basah? Kemudian, saya pun tahu bahwa dia lupa mengeringkan seperti yang selalu saya ajari setelah baru buang air kecil. Langsung saya “ceramahi” dia mengenai bakteri yang suka tumbuh di tempat yang lembab. Begitu selesai, Sofia menjawab, “Memangnya Ibu dokter kok Ibu bisa tahu pasti?”
Waduh. Kalau ingat referensi cara orang tua mendidik saya, ini sudah pelanggaran kesopanan tingkat tinggi. Apakah ini tanda bibit-bibit kurang ajar?
ADVERTISEMENT
Jika ditelusuri, jawaban ini sebenarnya jawaban anak cerdas dan kritis. Ada tiga unsur yang saya kagumi di sini.
Pertama, coba perhatikan bagaimana Sofia mengaitkan antara bakteri dengan profesi dokter. Ada runutan logika yang sudah berjalan di situ. Sofia sudah bisa mengaitkan bakteri dalam konteks kesehatan. Sofia tidak menjawab secara acak, “Memangnya Ibu pedagang, kok Ibu bisa tahu?” Ia secara spesifik merujuk pada “dokter”.
Kedua, Sofia sebenarnya mempertanyakan hal yang paling mendasar dari sebuah logika keilmuan. Science itu bisa lahir karena ada bukti. Buktinya apa sehingga Ibunya tahu pasti ada bakteri yang tumbuh di pakaian dalamnya? Apakah ada yang bisa diamati? Ilmuwan adalah orang yang menerapkan cara yang sistematis untuk menemukan pengetahuan. Sofia kecilku adalah seorang scientist.
ADVERTISEMENT
Ketiga, benih keberanian. Di umurnya yang baru 5 tahun, dia sudah berani meminta kejelasan dan informasi tambahan. Dia tidak menerima utuh apa yang diberi tahu oleh orang dewasa di sekitarnya. Coba ingat, berapa kali kita mengacungkan jari di dalam kelas untuk mempertanyakan guru atau dosen? Kalau saya, hampir tidak pernah.
Apa yang terjadi ketika saya membalas tanda kecerdasan ini dengan bentakan? “Sofia, kamu tidak sopan. Jangan menjawab kalau Ibu bicara. Ibu kan sayang sama kamu makanya Ibu beri tahu.”
Jika ini yang saya lakukan, saya akan menghentikan benih keberanian yang dia sudah ada, sifat kritisnya, nalar dan logikanya. Alih-alih dia akan merasa salah, sedih, dan scientist kecilku pun akan layu sebelum sempat berkembang.
ADVERTISEMENT
Saya pikir, mengharapkan anak menjadi sopan dan berbudi baik, bukan berarti mengorbankan kekritisannya. Anak kritis mesti diarahkan. Alih-alih kesal, coba tanyakan kenapa dia bisa menjawab seperti itu. “Menurut Sofia, darimana Ibu tahu?” atau “Kenapa Sofia pikir hanya dokter yang bisa tahu?”.
Kembangkan pola komunikasi yang positif dengan berdialog ketika mencari informasi. Gunakan pertanyaan terbuka, sehingga anak justru selalu punya kesempatan untuk menjawab balik. Ini akan melatih kemampuan analisa dan latihan untuk menyusun kalimat-kalimat yang bisa menunjang argumennya.
Kita semua ingin menjadi orang tua yang mampu mendidik anak dengan baik. Cerdas dan berakhlak luhur. Jangan jadikan salah satu sebagai pilihan. Jika anak belum bisa beragumen dengan elok, jangan salahkan argumennya, namun arahkan dialognya ke bagian yang masih ingin kita perbaiki. Kendalinya ada di kita. Kelola emosi dan selalu siap untuk mendengarkan mereka dengan pikiran yang terbuka.
ADVERTISEMENT
Jadi, kalau anak suka menjawab balik? Siapa takut. Jangan-jangan suatu saat nanti dia akan menjadi sehebat Newton sang ilmuwan penemu gravitasi!
Seperti diceritakan Ibu Dinar (35) pada SKATA.