Mengapa Anak 'Zaman Now' Kurang Sopan?

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
19 Januari 2021 9:39 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa Anak 'Zaman Now' Kurang Sopan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Teringat tempo hari, Nanda (13 tahun), anak saya, mengundang teman-teman masa kecilnya untuk bermain di rumah. Biasanya, kalau masuk rumah atau saat pulang mereka tak lupa berpamitan. Sekarang ini, main ngeloyor saja. Masuk tanpa salam, pulang pun saya tak tahu. Pernah suatu hari, kami makan siang bersama. Alih-alih mengobrol, mereka sibuk sekali dengan ponsel masing-masing. Tertawa sendiri, tanpa melihat kanan kiri. Ke mana ya, perginya kesopanan anak-anak masa kini? (Magda, 38 tahun).
ADVERTISEMENT
Tak sedikit orang tua seperti Magda yang mengeluhkan tentang kondisi remaja saat ini. Komentar anak ‘zaman now’ yang kurang sopan bahkan seringkali berkata kasar kerap terdengar di kalangan orang tua. Hal ini senada dengan hasil survei Associated Press-NORC Center for Public Affairs Research di Amerika tahun 2016 yang menunjukkan bahwa perilaku mereka yang berusia di bawah 22 tahun kian memburuk beberapa dekade terakhir. Siapa yang harus disalahkan ketika anak tumbuh menjadi sosok yang kurang sopan? Tidak hanya lingkungan, beberapa faktor berikut bisa menjadi penyebabnya:
Penggunaan gadget sejak dini
Tak bisa dipungkiri, anak mengenal gadget di usia yang lebih dini dari generasi orang tuanya. Orang tua pun kerap memanfaatkan gadget untuk membantu mereka mengasuh anak. Ketika sulit makan, gadget menjadi pilihan. Saat rewel, tontonan TV menjadi peralihan. Akibatnya, komunikasi dua arah antara anak dan orang tua menjadi minim terjalin. Sehingga, anak terbiasa bersikap pasif dan tak acuh saat tumbuh dewasa.
ADVERTISEMENT
Belum lagi, gadget membuat anak tak terbiasa bosan dan tak bisa menunggu. Ketika bosan, (walau sedang berada di acara keluarga) mereka lebih memilih fokus pada gadgetnya, alih-alih mencoba berkomunikasi dengan yang lain. Menurut Catherine Steiner-Adair, yang menulis buku tentang pentingnya mempertahankan hubungan keluarga di era digital, anak menjadi semakin sering menyela dan menunjukkan kurangnya toleransi terhadap rasa frustasi karena otak mereka terbiasa dengan kepuasan instan (akibat pengaruh gadget).
“Children see, children do”
Ya, apa yang anak lihat, anak cenderung lakukan. Sebagai orang tua, kita memang tetap harus berkaca pada diri ketika anak sudah melakukan hal yang kurang baik. Pernahkah kita menatap layar gadget saat anak antusias menunjukkan hasil karyanya? Atau, biasakah kita menawarkan bantuan pada orang yang sedang kerepotan? Sekecil apapun tindakan yang kita lakukan akan berpengaruh terhadap tingkah laku anak. Tak berlebihan kiranya jika anak diibaratkan sebagai CCTV 24 jam bagi orang tua. Kelak, perilaku orang tua yang ia rekam di masa kecilnya akan muncul lebih jelas saat remaja, masa di mana orang mulai menganggapnya cukup dewasa untuk bisa bersikap sopan. Itulah pentingnya pendidikan dalam rumah, pembiasaan baik secara berulang yang baru dapat dilihat hasilnya saat dewasa. Anak juga bisa meniru perilaku melalui media. Inilah sebabnya orang tua masih perlu mendampingi mereka saat mengakses media. Diskusikan adegan yang menunjukkan kesopanan maupun ketidaksopanan untuk melihat pemahamannya mengenai hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Budaya multitasking orang tua
Orang tua mungkin paham bahwa anak belajar empati dari menerima empati. Sayangnya, budaya multitasking yang mengharuskan orang tua melakukan banyak hal di satu waktu membuat proses pengasuhan anak jadi tidak mindful, tidak penuh kesadaran. Kita fokus menyelesaikan semua pekerjaan pada dari itu, baik urusan kantor, sekolah anak, makanan di rumah, dan melakukannya seperti robot hingga kita lupa menyapa anak, bertanya tentang harinya, atau sekadar memberi perhatian pada tetangga yang sedang tertimpa musibah. Anak pun gagal mendapat contoh bagaimana memerhatikan orang lain, apalagi harus berempati dan bersikap sopan.
Kesopanan adalah sesuatu yang bisa kita latih pada anak. Kuncinya adalah konsistensi dan memberikan contoh di keseharian. Mulailah dari diri kita sendiri. Anak yang mendapatkan perhatian dan cerminan yang baik dari orang tua, bisa meminimalisir perilaku tidak sopan di kehidupan sosial dan menjadi remaja yang sopan.
ADVERTISEMENT