Mengapa Pernikahan Dini Masih Sering Terjadi?

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
20 November 2021 9:29 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mengapa Pernikahan Dini Masih Sering Terjadi?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
”Bosan sekolah daring, anak remaja usia 14 tahun memutuskan menikah.” Membaca tajuknya saja, membuat rasa hati miris membayangkan. Sayangnya, ini bukan sekedar tajuk semata, melainkan sebuah kisah nyata. Selama awal pandemi, di Sumatera Utara ada sekitar 800 anak SMA/SMK yang menikah. Secara nasional, dari Januari-Juni 2020, Badan Peradilan Agama Indonesia menerima sekitar 34.000 permohonan dispensasi kawin, yaitu izin bagi mereka yang ingin menikah di bawah usia 19 tahun. Tak heran, kalau tingkat pernikahan anak di Indonesia menempati urutan ke-7 tertinggi di dunia bahkan ke-2 di ASEAN. Mengapa pernikahan dini semacam ini masih banyak terjadi?
ADVERTISEMENT
“Kalau menikah, mungkin bisa membantu secara ekonomi”
Sebelum pandemi, faktor ekonomi menjadi salah satu alasan orang tua mengizinkan anaknya untuk menikah walau di usia yang sangat muda. Ditambah lagi dampak ekonomi akibat pandemi, hal ini kian menguatkan.
“Banyak orang tua yang melihat anak sebagai beban ekonomi, jadi ketika dinikahkan otomatis tanggung jawab ekonomi akan berkurang. Pahadal, pernikahan dini rentan kekerasan dalam rumah tangga hingga perceraian. Kalau ini terjadi, anak akan kembali ke rumah dengan membawa anak yang justru menambah beban ekonomi,” ujar Owena Ardra dari proyek pencegahan perkawinan usia anak di Plan International Indonesia dalam bbc.com.
Selain itu, dengan tingkat pendidikan yang rendah, anak justru sulit mencari pekerjaan di usia dini. Kalau begini, bagaimana mau menafkahi dengan baik?
ADVERTISEMENT
“Biar hasrat seksual bisa disalurkan..”
Memasuki usia pubertas, anak mulai merasakan hasrat atau dorongan seksual. Ini yang membuat mereka bisa naksir lawan jenis, ingin punya pacar, suka curi-curi menonton hal yang "berbau dewasa", bahkan mulai mencoba aktivitas seksual. Orang tua paham akan hal ini, sekaligus takut jika anaknya melakukan seks pranikah yang berujung kehamilan tak diinginkan.
Karena itu, "nikahkan saja" masih menjadi solusi di berbagai pelosok Indonesia. Apalagi, jika lingkungan sosial atau adat setempat menganggap tabu interaksi lawan jenis. "Apa kata tetangga", "sudah runtang-runtung berdua", bisa membuat orang tua meminta anak untuk melegalkan hubungan dengan pacarnya dalam ikatan pernikahan, meskipun masih berstatus pelajar. Bagi mereka, sanksi sosial dari masyarakat bisa menjadi "noktah merah" selamanya.
ADVERTISEMENT
Padahal, tujuan menikah bukan semata menghalalkan hubungan seksual, namun lebih menciptakan keluarga sehat dan bahagia yang kelak bisa melahirkan generasi penerus yang berkualitas.
Dengan tujuan mulia semacam itu, akan sulit bagi remaja belasan tahun untuk bisa bersikap dewasa dan bijak berumah tangga sementara yang biasa dihadapinya selama ini hanyalah buku pelajaran. Yang ada, orang tua yang sejatinya "masih anak-anak" akan membesarkan anak pula. Jika lingkungan sekitar kurang positif, bukan tak mungkin anak akan mendapat luka pengasuhan dari orang tua yang tak siap jadi orang tua. Perilaku berisiko seperti pergaulan bebas, narkoba, minuman keras, dan pornografi bisa menjadi sarana pelarian anak.
“Indahnya nikah muda di media sosial..”
ADVERTISEMENT
Banyak dari mereka yang memutuskan untuk menikah muda lantas berbagi kebahagiaan di media sosial. Pesan ini dapat ditangkap oleh followers mereka bahwa nikah muda itu lebih enak, bisa pacaran namun sudah sah. Sayangnya, kenyataan yang dibentuk di media sosial tidak menggambarkan hal yang sebenarnya terjadi. Tentu saja, masalah rumah tangga tak akan dipamerkan, dan masalah itu ada. Namun, remaja yang masih terbatas literasi medianya dan gambaran tentang pernikahan yang sebenarnya bisa saja ikut tergoda untuk nikah muda saja, meskipun mereka belum menyelesaikan pendidikan.
Adakah peran orang tua dalam pernikahan anak?
Tentu saja ada. Izin menikah dikeluarkan oleh orang tua. Malah, di berbagai daerah di Indonesia yang angka pernikahan anaknya masih tinggi, orang tualah yang meminta anaknya untuk menikah.
ADVERTISEMENT
Karena itu, orang tua perlu paham bahwa menikahkan anak bukanlah sekadar memindahkan tanggung jawab ekonomi dan menghindarkan anak dari perzinaan. Pernikahan adalah fondasi bagi anak untuk membangun rumah tangga yang bahagia, sehingga bisa menghasilkan keturunan yang kelak menjadi pribadi yang berkualitas.
Inilah tugas orang tua, untuk mendidik anak hingga menjadi orang yang dewasa dan siap membangun keluarganya sendiri. Tentu saja, cara yang paling efektif adalah dengan memberi contoh, yaitu membangun pernikahan yang sehat sehingga anak bisa melihat bagaimana interaksi dalam keluarga dibangun.
Itulah mengapa, idealnya batasan usia pernikahan adalah 21 tahun bagi wanita dan 25 tahun untuk pria. Sesuai dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, usia kurang dari 18 tahun masih tergolong anak-anak dan tidak dianjurkan untuk menikah.
ADVERTISEMENT
Berdasarkan usia kesehatan pun serupa. Usia ideal yang dianggap matang secara biologis dan psikologis adalah antara 20-25 tahun bagi wanita dan 25-30 tahun untuk pria. Usia ini dianggap masa yang paling baik untuk berumah tangga karena sudah bisa berpikir dewasa secara rata-rata.
Bagaimana jika anak yang meminta?
Orang tua perlu memberi pemahaman pada anak bahwa menikah adalah tanggung jawab yang besar. Sehingga, kesiapan tak hanya fisik namun juga mental. Diskusi mendalam tentang hal ini pun tak bisa dalam satu waktu, namun harus dilakukan secara bertahap. Tak ada salahnya jika orang tua menceritakan pada anak tentang apa saja tantangan dalam berumah tangga. Bukan agar anak takut menikah, namun agar ia bisa mempersiapkan diri dengan baik.
ADVERTISEMENT
Inilah pentingnya peran orang tua untuk mengajak anak membuat rencana hidup sejak dini, adakah cita-cita yang ingin dicapai. Bagi anak perempuan, jika memang ia ingin menjadi ibu rumah tangga, mereka harus paham bahwa seorang ibu haruslah pintar karena ialah pendidik pertama anak dalam keluarga. Jadi, tidak seharusnya mengabaikan pendidikan. Ia pun harus sehat, karena mengandung, melahirkan, dan mengasuh anak bukan perkara mudah. Kurangnya kesehatan dan pengetahuan ibu bisa menghasilkan anak yang stunting (gagal tumbuh karena kurang gizi kronis).
Begitu pula dengan anak laki-laki, tanggung jawab menafkahi dan bersama istri membesarkan anak hingga siap "lepas landas" tak semudah memasang caption romantisnya menikah muda di media sosial.
Karenanya, menikahlah di usia dan saat yang tepat!
ADVERTISEMENT
Photo created by bristekjegor - www.freepik.com