Mungkinkah Memaafkan Kesalahan Fatal Pasangan?

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
21 November 2022 9:36 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mungkinkah Memaafkan Kesalahan Fatal Pasangan?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Ratna (36 tahun), pernah melakukan kesalahan yang cukup fatal, berselingkuh dari suaminya hingga melakukan hubungan fisik dengan pria lain. Hanya satu kali, tapi tentu saja kesalahannya fatal di mata dia dan suaminya. Atau Ari (38 tahun), ia pernah berselingkuh dari sang istri, tak sampai berhubungan badan tapi melakukannya lebih dari satu kali. Lain halnya dengan Willy (40 tahun) yang membuat keluarganya bangkrut akibat lalai dalam bermain saham. Semua kesalahan ini, mungkin fatal di mata pasangannya. Bisakah kemudian dimaafkan?
ADVERTISEMENT
Kapan sih kesalahan dikatakan “fatal”?
Menurut Cut Maghfirah Faisal, M.Psi, Psikolog dari KALM online counseling, tidak ada definisi yang jelas mengenai kesalahan “fatal”. Hal ini lebih tergantung kepada persepsi dan penghayatan si korban, serta dampak dari kesalahan tersebut. Penghayatan korban merupakan hal yang sangat penting dan harus dianggap valid dalam hal ini. Apabila korban merasa sangat tersakiti dan juga dampak yang dirasakan besar, maka kesalahan tersebut dapat tergolong fatal.
Alasannya “khilaf”, padahal semua tindakan adalah pilihan. Tandanya, bisa terjadi lagi.
Kita cukup sering mendengar alasan “khilaf” untuk menghindari kesalahan. Padahal, semua tindakan manusia merupakan pilihan yang telah ia ambil. Kita semua punya pilihan untuk berselingkuh atau tidak,melakukan hal buruk atau baik, dan manusia mempunyai kekuatan untuk memilih salah satu dari kedua pilihan tersebut. Kalau ditanya apakah “khilaf” bisa berulang? Bisa jadi 50% kemungkinan jawabannya “iya” jika kita kembali memilih sesuatu yang salah.
ADVERTISEMENT
Jika ini terjadi pada kita, bagaimana cara memaafkannya?
Memaafkan merupakan proses yang cukup kompleks dan membutuhkan waktu, terutama jika kesalahan yang terjadi merupakan kesalahan yang fatal. Hal pertama yang perlu kita lakukan adalah dengan mengakui dan menerima segala perasaan yang kita rasakan. Di situasi seperti ini, sangat wajar jika kita merasakan berbagai emosi seperti sedih, kecewa, marah, hingga benci kepada pasangan.
Kita juga dapat melakukan beberapa usaha agar perasaan kita menjadi lebih lega, misalnya dengan curhat ke teman, konseling, menangis sewajarnya, dan yang lain. Setelah perasaan lebih lega, barulah kita bisa mencoba memikirkan masalah ini dengan kepala dingin. Pasangan dapat saling mengevaluasi apa hal yang perlu diperbaiki dari hubungannya. Perlahan kita juga perlu menanamkan mindset bahwa kita memaafkan kesalahan orang lain bukan demi dia, tapi demi ketenangan diri kita sendiri.
ADVERTISEMENT
Religiusitas bisa menjadi salah satu faktor yang memengaruhi mudah tidaknya memaafkan Akan tetapi hal ini bukan satu-satunya faktor, ada faktor lain yang lebih berpengaruh, seperti besar atau kecilnya kesalahan yang diperbuat, frekuensi melakukan kesalahan, penghayatan korban, dan dampak dari kesalahan.
Berat sekali rasanya memaafkan, kenapa ya?
Hal ini dapat terjadi karena kesalahan yang dilakukan dipersepsikan sebagai kesalahan yang besar atau fatal oleh kita, dan menorehkan luka atau dampak yang sangat besar. Dalam menyikapi hal ini, kita perlu menyadari bahwa perasaan kita adalah perasaan yang valid.
Jika ini terjadi pada orang terdekat kita, hendaknya kita tidak menghakimi bahwa ia terlalu ‘lebay’ dalam menanggapi masalah. Sebaliknya, kita perlu memberikan dukungan, termasuk mengajaknya untuk mencari pertolongan profesional.
ADVERTISEMENT
Mulut dan hati bisa berbeda, kita perlu tahu tanda kita benar sudah memaafkan
Salah satu tanda bahwa kita telah memaafkan adalah, kita tidak lagi menjadi over-sensitif terhadap masalah tersebut. Apabila hal-hal kecil masih sering memicu kita untuk mengungkit masalah tersebut, maka kemungkinan besar kita belum sepenuhnya memaafkan. Hal ini juga merupakan hal yang wajar karena butuh waktu untuk memaafkan secara utuh. Tanda lainnya yaitu kita dapat memandang kejadian tersebut secara netral atau bahkan positif, karena kita dapat melihat adanya hikmah yang dibawa oleh kejadian tersebut.
Apa dampaknya pada hubungan jika kita belum memaafkan tapi dipaksakan tetap bersama?
Apabila kita belum sepenuhnya memaafkan, ada kemungkinan bahwa kita akan sering terpicu akan hal-hal kecil yang mengingatkan kita pada kesalahan pasangan. Akibatnya kita bisa menjadi over-sensitif, terlalu cepat marah atau emosional, sering mengungkit kesalahan pasangan, hingga akhirnya memancing konflik dengan pasangan.
ADVERTISEMENT
Bisakah kita memastikan pasangan tak lagi mengulangi kesalahan?
Pada prinsipnya kita tidak dapat memaksa orang lain untuk berubah jika ia tidak ingin berubah, karena hal itu berada di luar kendali kita. Hal yang dapat kita lakukan adalah fokus pada hal-hal yang berada di bawah kendali kita, seperti mengajak pasangan untuk melakukan terapi pasangan, saling melakukan introspeksi satu sama lain, dan mengapresiasi perubahan kecil yang pasangan tunjukkan, sehingga ia menjadi lebih termotivasi untuk berubah.
Jika sulit untuk melakukannya, coba ikuti kelas belajar mandiri “Komunikasi dengan Pasangan” Bersama Karina Adistiana, M.Psi, Psikolog di www.demikita.id.