Tanda Kita Sebenarnya Tak Siap Jadi Orang Tua

Skata
SKATA adalah sebuah inisiatif digital yang mendukung pemerintah Indonesia dalam membangun keluarga melalui perencanaan yang lebih baik. SKATA lahir tahun 2015 melalui kerjasama antara Johns Hopkins CCP dan BKKBN.
Konten dari Pengguna
16 September 2021 8:45 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Skata tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Tanda Kita Sebenarnya Tak Siap Jadi Orang Tua
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pernahkah kita merasa lelah mendahulukan segala kepentingan anak? Lelah selalu dipanggil dan dikuntit kemana pun kita pergi? Kadang, muncul pikiran untuk kembali “bebas” berkarya dan bergaul seperti dulu lagi? Hmmm, nampaknya ini bukan sekadar kurang me-time. Tapi, ini mungkin tanda kita sebenarnya belum siap untuk menjadi orang tua.
ADVERTISEMENT
Dalam masyarakat kita, tidak ada persiapan formal untuk menjadi orang tua. Konseling pranikah oleh KUA tidak mencakup hal ini, persiapan kehamilan pun hanya berkutat masalah nutrisi dan memberi ASI. Ketika akhirnya anak lahir, orang tua yang selama ini sibuk belajar selama 12-16 tahun pun kaget. Ooh, ternyata seberat ini ya jadi orang tua? Pada titik ini, belajar parenting dengan segala teori, trial and error-nya pun mulai dilakoni.
Tapi, mengasuh anak bukan seperti membaca buku dan paham. Tak sedikit orang tua yang kenyang ilmu parenting tapi tetap merasa kewalahan menghadapi anaknya. Memang, persiapan jadi orang tua membutuhkan waktu. Karena itu, tak masalah untuk jujur mengakui bahwa sebenarnya kita tidak (atau belum) siap menjadi orang tua. Ini beberapa tandanya.
ADVERTISEMENT
1. Belum siap berkorban
Dua tahun pertama memiliki anak, pengorbanan ini akan sangat terasa. Tak ada lagi bangun siang, beli sarapan selaparnya, nge-game sampe bosen, nge-mall sampe gempor, lembur sampai kerjaan perfect. Melewatkan waktu ngumpul bersama teman bisa sangat menyiksa jika kita tipe sosialita, pun mendedikasikan 24 jam untuknya (dan hanya menyisakan beberapa menit untuk diri sendiri). Ini belum termasuk waktu berduaan dengan pasangan yang berkurang, dan pengorbanan finansial yang tak ada habisnya.
2. Belum bisa menjadi role model
Saat punya anak, tentu kita berharap ia menjadi sosok yang lebih baik dari kita. Tapi, memberi contoh kebaikan-kebaikan itu tak mudah! Kita ingin anak makan sehat (tapi kita seminggu 3x makan mi instan), ingin anak bisa meregulasi emosinya (tapi kita mudah meledak), ingin anak aktif bergerak (tapi kita sibuk dengan gadget). Berubah itu memang berat, namun bukan berarti tidak bisa asalkan niat. Tapi, kalau kita menaruh sederet harapan baik tanpa segera memantaskan diri untuk menjadi role model anak, mungkin kita memang belum siap menjadi orang tua..
ADVERTISEMENT
3. Menganggap kehidupan orang tua itu berat
Kalau kita belum bisa menjaga kamar kita tetap rapi, memastikan pakaian tercuci dan siap saat dibutuhkan, juga menyediakan makanan layak pada waktunya, mungkin kita belum siap memiliki anak. Menjadi orang tua membutuhkan pikiran yang selangkah lebih maju (juga bangun lebih pagi, menabung sejak dini, "printilan" lebih banyak saat jalan-jalan) untuk memastikan anak terpenuhi semua kebutuhannya.
4. Pengaturan keuangan masih kacau
Bertahun bekerja tapi pengaturan keuangan masih kacau adalah lampu kuning jika ingin memiliki anak. Jika selama ini saldo tabungan tak bertambah tapi total pengeluaran kopi dan nonton bioskop setara SPP satu bulan, kita perlu mengubah gaya hidup jika ingin punya anak. Sungguh, pengeluaran saat memiliki anak tak main-main, apalagi jika kita ingin menyekolahkannya hingga kuliah nanti.
ADVERTISEMENT
Trus, kalo kita masih merasa semua hal itu, tapi terlanjur punya anak, gimana donk?
Untuk menjawabnya, ada kutipan menarik dari seorang guru TK di abcnews.go.com:
“Kita boleh saja membaca semua buku dan blog tentang parenting, tapi pada akhirnya, mengasuh anak itu sesederhana membersamainya, memahami segala keunikannya, dan menemukan apa yang terbaik untuknya. Percayalah, insting itu lama-lama akan muncul.”
Jadi, jangan mendadak terpuruk. Bulatkan tekad untuk melakukan yang terbaik untuk anak meskipun perubahannya akan sangat besar. Syukuri setiap momen bersamanya, tumbuhkan cinta tanpa syarat, kelak kita akan melihat diri kita bertumbuh karena kehadirannya.
Photo by Raychan on Unsplash