Perjalanan Kebijakan Transportasi selama Masa Pandemi Covid 19

Sofie Wasiat
Alumnus Taruna Nusantara dan Fakultas Hukum UGM. Kini menempuh studi Master of Public Administration (UI).
Konten dari Pengguna
13 Juni 2020 21:16 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sofie Wasiat tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Dua kasus positif COVID-19 pada Maret 2020 membangunkan pemerintah. Tersadar bahwa virus tersebut tiba di Indonesia. Pemerintah mulai menyusun berbagai kebijakan pencegahan dan penanganan penyebaran COVID-19.
ADVERTISEMENT
Namun, tidak jarang ada kebijakan tumpang tindih, berdampak pada sektor lain, sehingga terkesan bahwa kebijakan tersebut tidak disusun berdasar pertimbangan matang dan koordinasi lintas sektoral yang kurang baik.
Di awal, pemerintah dinilai gagap menghadapi pandemi. Salah satunya mengenai kebijakan transportasi baik di tingkat pusat maupun daerah, termasuk di Provinsi DKI Jakarta.

Awal Pandemi: Gegernya Antrean Mengular TransJakarta dan MRT

Antrean MRT Fatmawati memenuhi trotoar. Dok: Dimas Faiz untuk kumparan.
Pada 16 Maret 2020, ketika sudah mulai digaungkan kampanye "dirumahaja" baik Stay at Home maupun Work from Home, kita dikejutkan oleh viralnya berita dan foto-foto mengularnya antrean TransJakarta dan MRT yang dikeluhkan oleh masyarakat melalui sosial media.
Hal ini banyak mendapatkan kritik dari publik mengenai sikap pemerintah yang terkesan lupa terhadap keberadaan masyarakat golongan ekonomi menengah ke bawah yang tidak bisa menerapkan kerja dari rumah.
ADVERTISEMENT
Atau: tercerminnya sikap kecerobohan pengambilan kebijakan sehingga justru malah mengakibatkan antrean/kerumunan banyak yang tidak mencerminkan adanya social distancing/physical distancing demi memutus rantai penularan COVID-19.
Keesokan harinya, kebijakan tersebut dicabut oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dan tidak ada lagi antrean di halte bus dan di stasiun MRT, sebagaimana dilaporkan oleh Direktorat Lalu Lintas Polda Metro Jaya.
Surat Edaran Kepala BPJT No. 5 Tahun 2020: Tidak diperlukan.
Selanjutnya, terbitlah Surat Edaran Kepala Badan Pengelola Transportasi Jabodetabek No. 5 Tahun 2020 pada tanggal 1 April 2020 sebagai tindak lanjut dari terbitnya PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
SE ini setidaknya memuat mengenai pembatasan/penghentian sejumlah layanan transportasi publik yaitu kereta api, KRL, MRT, LRT, dan lainnya. Dimuat juga ihwal penutupan akses jalan tol dan jalan arteri nasional.
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi terbitnya SE ini menyebabkan kegegeran publik karena BPTJ dianggap mengatur apa yang di luar kewenangannya, sebagaimana ada pemangku kepentingan lain di antaranya Pemerintah Daerah, Polri, Dir. Bina Marga, maupun Dishub DKI Jakarta.
Benar apa adanya. Diberitakan melalui media massa, Kadishub DKI Jakarta Syarif Liputo mempertanyakan tujuan penerbitan SE tersebut oleh BPTJ. Polemik ini diakhiri dengan Siaran Pers Juru Bicara Kementerian Perhubungan bahwasannya SE tersebut hanyalah bersifat rekomendasi yang karenanya tidak bisa serta merta dilaksanakan.

Kontroversi Ojek Online: Antara Permenkes Nomor 9 Tahun 2020, Pergub DKI Jakarta No. 33 Tahun 2020 dan Permehub No. 18 Tahun 2020.

Petugas menyemprotkan cairan disinfektan ke helm penumpang ojek online di kawasan Jl. Kendal, Jakarta, Senin (8/6). Foto: Antara/Dhemas Reviyanto
Permenkes No. 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tanggal 3 April 2020.
ADVERTISEMENT
Pergub DKI Jakarta No. 33 Tahun 2020 tentang Pelaksanaan PSBB dalam Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) tanggal 9 April 2020.
Peraturan Menteri No. 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) tanggal 9 April 2020.
ADVERTISEMENT
Dari penjabaran isi pasal dari ketiga peraturan tersebut dapat langsung diketahui bahwa peraturan antara satu dan yang lainnya berbenturan.
Hal itu menyebabkan kebingungan di lapangan, mana peraturan mana yang paling benar untuk ditegakkan. Tanpa harus dijelaskan kembali, dapat dinilai bahwa memang tidak ada koordinasi antar sektoral khususnya mengenai kebijakan ojek online ini.

Maju Mundur Urusan Mudik 2020: Boleh Mudik, Kemudian Tidak Boleh Mudik, Kemudian Boleh, tapi....

Tradisi mudik di indonesia. Dok. Wikimedia Commons
Dalam peraturan yang sama, yakni Permenhub No. 18 Tahun 2020, diatur mengenai Bab Pengendalian Transportasi untuk Kegiatan Mudik Tahun 2020. Kegiatan mudik diperbolehkan. Hanya saja harus dikendalikan berdasarkan pedoman dan petunjuk teknis masing-masing angkutan yang diatur dalam lampiran Permenhub ini, seperti pemeriksaan suhu tubuh, penyemprotan disinfektan, sistem pembelian tiket secara elektronik, penerapan physical distancing, dan lain-lain.
ADVERTISEMENT
Namun, tiba-tiba muncul larangan kegiatan mudik yang diatur dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 25 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi Selama Masa Mudik Idul Fitri Tahun 1441 Hijriah dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19). Peraturan ini mencabut ketentuan mengenai pengendalian mudik dalam Permenhub No. 18 Tahun 2020 sebelumnya.
Dalam Permenhub 25, kegiatan mudik masyarakat total dilarang karenanya seluruh moda transportasi baik darat, kereta api, laut, maupun udara dihentikan. Karenanya, diatur pula mengenai tata cara pengembalian tiket dari masing-masing. Hal ini mendapat respons positif oleh masyarakat karena pemerintah dianggap telah bersikap perseptif terhadap penanganan penyebaran COVID-19. Walaupun kenyataannya, juga masih banyak yang melakukan pelanggaran di lapangan.
Di sisi lain, Permenhub 25 ini dinilai sarat keadilan terhadap moda-moda transportasi yang diatur di dalamnya atau bahkan malah mengatur melebihi kewenangannya. Hal ini berkaitan dengan tata cara pembatalan dan pengembalian biaya tiket kepada calon penumpang. Hal tersebut dirangkum dan diolah sebagai berikut:
Permenhub No. 25 Tahun 2020 (diolah)
ADVERTISEMENT
Dari matriks tersebut dapat diketahui adanya kebijakan yang tidak adil, khususnya bagi Badan Usaha Angkutan Darat dan Kereta Api. Kedua sektor tersebut hanya diberikan satu pilihan, yaitu mengembalikan secara tunai.
Sedangkan, bagi BU Angkutan Udara secara tegas diperbolehkan untuk tidak mengembalikan biaya secara tunai, melainkan melalui empat cara yang telah diatur tersebut (Pasal 24).
Padahal baik Badan Usaha Angkutan Darat dan Kereta Api juga bisa memberikan layanan reschedule, reroute, dan mengganti dengan voucher tiket. Kali ini, BU Angkutan Udara terkesan dianak-emaskan oleh Pemerintah.
Selain itu, hal-hal tersebut juga dekat kaitannya dengan ranah perdata baik perihal perlindungan konsumen maupun force majeure yang tidak bisa dihindari oleh pelaku usaha. Walaupun hal tersebut masih menjadi perdebatan di antara kalangan ahli hukum.
ADVERTISEMENT
Di tengah kebijakan yang dinilai sudah cukup bijaksana ini, tiba-tiba santer di media massa bahwa Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memperbolehkan moda-moda transportasi untuk beroperasi kembali yang tentunya berlawanan dengan Permenhub 25 yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan Ad. Interim Luhut Binsar Pandjaitan.
Awal mulanya sebagaimana diberitakan, hal ini dipicu oleh kebutuhan anggota dewan untuk mengawasi masing-masing daerahnya, disusul kebutuhan pengusaha/pebisnis, kemudian diikuti oleh pengecualian-pengecualian lainnya. Maskapai pertama pada saat itu diumumkan akan beroperasi sebagai exemption flight adalah Lion Air Group mulai 3 Mei 2020.
Kementerian Perhubungan mengedarkan Siaran Pers pada tanggal 27 April 2020, yang berisi sebagai berikut:
ADVERTISEMENT
Kemudian keesokan harinya, Lion Air Group menerbitkan Media Statement yang berjudul “Informasi Penerbangan: Lion Air Group akan Kembali Beroperasi Melayani Rute Domestik Exemption Flight” mulai 3 Mei 2020 yang secara garis besar memuat pengumuman tanggal operasi, layanan terhadap pebisnis dan pihak-pihak yang terkecualikan lainnya, serta protokol kesehatan penanganan COVID-19. Walau pada akhirnya penerbangan tersebut dibatalkan.
Alhasil, publik kembali dihebohkan dan dibingungkan dengan ketidakjelasan perkara mudik. Dengan disediakan atau diaktifkannya kembali sarana/prasarana transportasi umum. Publik menilai seakan-akan pemerintah justru menyuruh masyarakat untuk mudik. Walaupun Pemerintah berkali-kali meluruskan bahwa mudik tetap dilarang, baik oleh Gugus Tugas maupun Istana Negara.
Kementerian Perhubungan pun tidak mengelak bahwa hal yang dilakukan adalah tindak lanjut dari usulan Kemenko Perekonomian agar perekonomian tetap dapat berjalan dengan baik, dilansir dari Siaran Pers No. 102/SP/IV/BKIP/2020 yang diedarkan tertanggal 1 Mei 2020.
ADVERTISEMENT
Ketidakjelasan arah kebijakan pemerintah tentang kegiatan mudik semakin gamblang dengan diterbitkannya SE Gugus Tugas Nomor 4 Tahun 2020 tentang Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) pada Tanggal 6 Mei 2020.
Dalam SE ini diberikan kelonggaran terhadap berbagai pihak untuk mengadakan perjalanan antar-kota dengan syarat-syarat tertentu, di antaranya Surat Tugas dari masing-masing instansi kerja, (swasta diperbolehkan).
Hal itu sesuai dengan pernyataan Menhub di media bahwa “Dimungkinkan semua angkutan udara, kereta api, laut, bus untuk kembali beroperasi dengan catatan satu, harus menaati protokol kesehatan," dalam rapat kerja dengan Komisi V secara virtual, Rabu (6/5/2020).
Sehingga, pada situasi saat itu PM 25 sudahlah tidak ada artinya lagi. Tadinya mudik dilarang, kini berubah menjadi mudik bersyarat. Sebab SE Gugus Tugas 4/2020 mengisyaratkan bahwa operasional transportasi/angkutan umum tidaklah perlu dibatasi lagi, yang penting adalah jika seseorang ingin mudik, maka mintalah surat tugas ke kantor masing-masing, jika tidak mewakili pemerintah/swasta maka mintalah surat keterangan dari kepala desa.
ADVERTISEMENT
Apalagi SE Gugus Tugas ini akan sulit untuk dilaksanakan di lapangan, karena para petugas yang di tempatkan di pos-pos tertentu akan kesulitan untuk mengecek kebenaran/legalitas dari surat tugas yang dibawa tersebut. Terlebih surat-surat tugas yang tidak diterbitkan oleh instansi pemerintah (swasta). Benar adanya, setelah itu banyak bermunculan jual-beli dokumen Aspal (asli tapi palsu) melalui e-commerce demi melancarkan aksi mudik tersebut.
Apa yang dicita-citakan Kemenko Perekonomian pun terkabul, pada Tanggal 14 Mei 2020 viral ramainya suasana Bandara Soekarno Hatta dipenuhi oleh penumpang yang membeludak walau tanpa adanya physical distancing. Tampak, para penumpang sedang mengantre dengan membawa dokumen-dokumen yang diperlukan. Total keberangkatan penerbangan pada hari itu mencapai 17 flight.
Terminal 2 Bandara Soekarno Hatta, 14 Mei 2020
SE No. 4 Tahun 2020 ini diperpanjang hingga Tanggal 7 Juni 2020 melalui perubahan yang diatur dalam SE Gugus Tugas No. 5 Tahun 2020 tentang Perubahan Kriteria Pembatasan Perjalanan Orang dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) pada Tanggal 25 Mei 2020.
ADVERTISEMENT

Pelonggaran Transportasi Memasuki Era New Normal

Tepat sehari sebelum masa berlaku SE Gugus Tugas No. 4 Tahun 2020 habis, Gugus Tugas kembali menerbitkan SE Gugus Tugas No. 7 Tahun 2020 tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease 2019 (COVID-19).
SE ini merupakan salah satu bentuk dari arah kebijakan menuju era new normal demi membangkitkan atau memulihkan roda perekonomian yang kesiapannya pun hingga saat ini diperdebatkan oleh berbagai pihak.
Dalam SE ini disyaratkan kemampuan untuk menunjukan identitas diri, surat keterangan uji PCR dengan hasil negatif yang berlaku 7 hari atau surat keterangan uji Rapid Test dengan hasil non reaktif yang berlaku 3 hari pada saat keberangkatan serta surat keterangan bebas gejala seperti influenza (influenza-like illness) yang dikeluarkan oleh Dokter Rumah Sakit/Puskesmas yang tidak memiliki fasilitas Tes PCR dan/atau Rapid Test.
ADVERTISEMENT
Adanya SE Gugus Tugas No. 4 Tahun 2020 tersebut diikuti dengan terbitnya :
ADVERTISEMENT
Di hari yang sama pula diterbitkan Permenhub No. 41 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perhubungan No. 18 Tahun 2020 tentang Pengendalian Transportasi dalam Rangka Pencegahan Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), yang seluruhnya secara garis besar memberikan pelonggaran-pelonggaran kapasitas angkutan terhadap masing-masing angkutan.
Di tengah polemik-polemik kebijakan yang terus bermunculan dan kasus-kasus positif yang masih terus bertambah, jangan sampai pelonggaran tersebut menjadi pemicu penyebaran COVID-19 gelombang kedua dan semoga saja pun bukan merupakan bentuk dari strategi "herd immunity in disguise".
Jakarta, 13 Juni 2020
Sofie Wasiat