Apakah Reuni 212 Masih Menarik?

Sonny Majid
Penggiat kajian, Nahdliyyin, Pengajar
Konten dari Pengguna
20 November 2018 2:02 WIB
Tulisan dari Sonny Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Apakah Reuni 212 Masih Menarik?
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Masyarakat sudah tidak tertarik dengan gerakan reuni 212. Hal itu dikatakan Suaib Amin Prawono, Penggiat Kajian Sosial dan Perdamaian dari Makassar, Sulawesi Selatan, yang saya kenal cukup lama. Dalam obrolan itu, Suaib yang jebolan UIN Sultan Alauddin Makassar ini mengaku heran, kenapa mesti adalagi reuni 212 yang rencananya akan digelar 2 Desember 2018.
ADVERTISEMENT
Ketidaktertarikan masyarakat atas aksi reuni 212 tersebut diyakini olehnya. Ia melihat masyarakat sudah melek politik. Ia percaya, masyarakat melihat gerakan tersebut sudah mengarah kepada kepentingan politik 2019. Di mana orientasi gerakannya tak lagi sama seperti sebelumnya, saat mendesak Ahok agar diproses hukum lantaran dituduh telah melakukan penodaan agama. Kala itu, aksi 212 murni mengenai tuntutan hukum.
Pertanyaannya kemudian, apa tujuan dari reuni 212 nanti. Padahal momentumnya sudah selesai setelah Ahok divonis bersalah oleh pengadilan. Apalagi Ahok sendiri sedang menjalani hukuman.
Ahok (Foto: Dok. Pool)
zoom-in-whitePerbesar
Ahok (Foto: Dok. Pool)
Masih menurut Suaib, sah-sah saja dalam ruang-ruang publik, kelompok masyarakat menyampaikan aspirasinya. Namun menjadi masalah jika penyampaian tersebut dibarengi dengan ujaran kebencian. Kekhawatiran inilah yang selalu ia rasakan. Bagaimana tidak, ketika obrolan politik juga dikonsumsi oleh masyarakat arus bawah, maka yang muncul adalah fanatisme.
ADVERTISEMENT
Jika hal ini dipertajam terus menerus dengan ujaran kebencian, hoaks dan lainnya, maka bisa memicu konflik horizontal. Berbeda rasanya ketika obrolan politik sebatas dikonsumsi oleh elite.
Terlebih ujaran kebencian tersebut dan menggunakan sentimen agama sebagai pembenaran. Isu agama adalah isu yang sangat sensitif--jauh mengalahkan isu primordialisme, kesukuan, kedaerahan--kerap sulit dibendung.
“Agama itu ibarat pisau bermata dua, bisa berpotensi sebagai alat pemersatu, di lain sisi bisa memicu disintegrasi,” kata Suaib mengutip Imam Besar Masjid Istiqlal, Professor Nasaruddin Umar. Untuk itu ia mengingatkan agar hati-hati dalam penggunaan simbol-simbol agama.
Mengenai pilpres, Suaib melihatnya pilpres kali ini akan dominan “perang udara” ketimbang “perang darat.” Lihat saja, media sosial penuh dengan hujatan, caci maki, sumpah serapah, hoaks, hanya karena perbedaan cara pandang.
Aksi Reuni 212. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
zoom-in-whitePerbesar
Aksi Reuni 212. (Foto: Antara/Akbar Nugroho Gumay)
Pada konteks tertentu, telah terjadi pergeseran di mana pandangan kebangsaan tak lagi menjadi penting. Lebih penting siapa yang se-ideologi. Ironisnya, ada sejumlah politisi tidak menggunakan kacamata kebangsaan ini. Seandainya mereka para politisi punya mengedepankan cara pandang kebangsaan, Suaib berkeyakinan tidak akan pernah ada yang namanya ujaran kebencian, sumpah serapah, hoaks di linimasa.
ADVERTISEMENT
Akibatnya, kebenaran tak lagi tampak. Padahal demokrasi mengajarkan kita semua berkompetisi secara sehat. Demokrasi meminta kita belajar menghargai harkat dan martabat manusia. Ini tidak, justru yang lebih menonjol adalah ambisi kekuasaan.
Suaib mengutip pemikiran Gus Dur yang menyebut di dalam demokrasi yang tertinggi itu adalah kemanusiaan. Tidak boleh ambisi kekuasaan mengalahkan kemanusiaan. Atau, jangan sampai kekuasaan tidak memanusiakan manusia. “Untuk itu yang terpenting dari politik adalah kemanusiaan,” tegasnya.
Semestinya, kontestasi Pilpres 2019 kali ini menampilkan nilai-nilai tersebut. Tapi tidak, malah saling mendegradasi figuritas.