Ekonomi Indonesia masih berisiko

Sonny Majid
Penggiat kajian, Nahdliyyin, Pengajar
Konten dari Pengguna
13 Agustus 2017 2:53 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Kementerian PPN/Bappenas menerbitkan Outlook Perekonomian Indonesia 2017. Di dalam hasil kajian tersebut, banyak hal yang dikemukakan. Mulai dari tantangan ekonomi Indonesia secara domestik, hingga tantangan global. Sebagai pernyataan awal, Kementerian PPN/Bappenas menguraikan tentang kondisi APBN 2017.
ADVERTISEMENT
Di dalam laporan tersebut pemerintah menetapkan asumsi target pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2017 dengan besaran 5,1%. Asumsi target tersebut dijelaskan sangat bergantung pada sejumlah faktor.Pertama adalah efektivitas kebijakan pemerintah dalam memitigasi risiko ekonomi ke depan, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
Kemudian keberhasilan reformasi ekonomi yang berjalan pada hitungan 2 tahun terakhir. Salah satu tantangan domestik untuk mencapai target pertumbuhan tersebut, karena belum optimalnya pendapatan negara dari pajak, seiring dengan melambatnya ekonomi Indonesia dan masih rendahnya basis pajak.Dari sisi lain, pemerintah berencana akan meningkatkan porsi anggaran belanjanya, yang dikhususkan pada belanja infrastruktur, yang dimaksudkan untuk mengurangi kesenjangan infrastruktur antar-daerah, dan harapannya sebagai pemacu pertumbuhan ekonomi Indonesia.
ADVERTISEMENT
Akibat masih adanya kesenjangan infrastruktur tadi, berakibat terjadinya defisit anggaran yang kecenderungannya semakin melebar, dan mendekati ambang batas yang ditetapkan di dalam peraturan. Dimana disebutkan, jumlah kumulatif defisit anggaran tidak boleh melebihi 3% dari PDB tahun berjalan.Tantangan domestik lainnya adalah aktivitas sektor swasta yang sejauh ini masih relatif stagnan sampai pada triwulan II tahun lalu (2016).
Stagnasi tersebut bisa tergambar dari pertumbuhan kredit yang lambat. Ditambah lagi peningkatan NPL-Non Performing Loan di sektor perbankan merupakan salah satu risiko yang perlu diawasi secara ketat oleh pemerintah.Ruang pemerintah yang semakin terbatas, kemudian penurunan pendapatan pajak menyebabkan pemerintah tidak bisa leluasa dalam menaikkan belanjanya, untuk itu swasta tetap menjadi sumber pertumbuhan ekonomi yang harus terus didorong.
ADVERTISEMENT
Di sisi eksternal, risiko terbesar yang dihadapi perekonomian Indonesia ke depan masih berasal dari Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS). Perlambatan ekonomi Tiongkok yang berlangsung akhir tahun lalu diperkirakan oleh pemerintah masih akan terjadi hingga beberapa waktu ke depan.  Sebagai negara importir terbesar kedua di dunia, perlambatan ekonomi Tiongkok tersebut tidak hanya merugikan mitra dagangnya secara langsung, tetapi juga menyebabkan penurunan permintaan dunia secara keseluruhan.
Ujungnya adalah pelambatan ekonomi global.Kebijakan yang diambil oleh pemerintah Tiongkok di tengah kondisi global yang melemah, harus terus dipantau oleh pemerintah Indonesia, terlebih kebijakan Tiongkok tersebut diukur sejauhmana kebijakan tersebut akan efektif mengurangi perlambatan ekonomi. Pemantauan yang dilakukan pemerintah Indonesia, tak lain sebagai rujukan agar dapat menyusun kebijakan antisipasi yang tepat. 
ADVERTISEMENT
Sementara di Amerika Serikat (AS) sendiri, pemerintah Indonesia juga menyiapkan berbagai kebijakan antisipasi agar bisa meminimalkan dampak negatif  yang akan terjadi.Pemerintah Tiongkok sendiri mengejar target pertumbuhan dengan mendorong peningkatan investasi, belakangan ternyata tidak berkesinambungan. Banyak di antara investasi yang berasal dari pinjaman dalam kondisi macet. Menghadapi itu, pemerintah Tiongkok diprediksi akan berupaya melonggarkan target pertumbuhan ekonominya, dan lebih diarahkan pada mengendalikan kredit yang berdampak pada tertahannya laju investasi.Hal ini dilakukan oleh Tiongkok, agar ekonominya tidak mengalami apa yang disebut hard landing.
Pemerintah Tiongkok diperkirakan akan berupaya mengalokasikan modal dengan lebih efisien dan meningkatkan kontribusi dari pembiayaan ekuitas. Perlambatan ekonomi di Tiongkok berpotensi melemahkan beberapa negara lain khususnya mitra dagang dan negara penghasil komoditas. Kebijakan ini sudah barang tentu berdampak pula terhadap Indonesia mengingat besarnya investasi Tiongkok yang masuk ke Indonesia.
ADVERTISEMENT
Selanjutnya terpilihnya Donald Trump sebagai Presiden AS ikut memberi implikasi terhadap ekonomi global. Tidak sebatas ekonomi di AS, tapi juga bagi Indonesia. Proposal kebijakan yang diajukan Trump dari Partai Republik ini, berisikan memangkas pajak bagi kalangan yang punya penghasilan tinggi, tentunya akan mengurangi penerimaan pendapatan AS.Kendati di lain sisi, kebijakan ini diharapkan mampu mendorong perekonomian dengan memberikan insentif kepada sektor swasta untuk meningkatkan usahanya. 
Akan tetapi kebijakan tersebut bertentangan dengan timpangnya pendapatan yang terjadi di AS yang kian lama terus melebar.Di bidang perdagangan, kebijakan Trump terlihat lebih protektif agresif terhadap perdagangan Meksiko dan Tiongkok. Ini memberikan dampak negatif terhadap aktivitas ekspor impor kedua negara tersebut. Kemudian kebijakan imigrasi yang diusulkan juga akan mempengaruhi pasar tenaga kerja. 
ADVERTISEMENT
Trump sepertinya membawa ekonomi AS lebih tertutup, dan ini menimbulkan ketidakpastian dalam ekonomi AS dan global juga meningkat.Badan Pusat Statistik (BPS) dan Oxford Economics menarik beberapa kesimpulan tentang kebijakan Trump.
Di bidang perpajakan Trump akan melakukan pengurangan pajak pada kalangan berpenghasilan tinggi dan pajak korporasi. Kemudian 75% turunnya penerimaan negara akan dikompensasi dengan pemotongan anggaran.Untuk perdagangan sendiri, Trump akan memberlakukan tarif 34-35% untuk Tiongkok dan Meksiko.
Trump juga akan memulangkan atau mendeportasi sekitar 600.000 orang imigran ilegal pertahun. Untuk kebijakan upah minimum, dia akan menaikkan upah minimum lembur menjadi 15 dollar AS per jam.