Mendegradasi KH Ma’ruf Amin di Gelanggang Pilpres

Sonny Majid
Penggiat kajian, Nahdliyyin, Pengajar
Konten dari Pengguna
18 November 2018 3:18 WIB
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Sonny Majid tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Mendegradasi KH Ma’ruf Amin di Gelanggang Pilpres
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Maman Darmansyah, Penggiat Kajian Politik Jakarta, geregetan ketika eskalasi politik jelang Pilpres 2019 masih saja disuguhkan hal yang serupa. Menyebar hoaks, fitnah, pembunuhan karakter. Dan yang paling menonjol terlihat adalah upaya mereduksi kecintaan masyarakat terhadap Jokowi-KH Ma’ruf Amin (KMA). Hanya saja sejak awal upaya mereduksi-mendegradasi lebih disasarkan kepada sosok KMA, yang notabene adalah ulama. Sementara kelompok yang selalu mengatasnamakan ulama lainnya, justru kini ikut-ikutan mereduksi figur KMA.
ADVERTISEMENT
Padahal sejak awal, bagi mereka yang menamakan dirinya Persaudaraan 212, GNPF-Ulama sesumbar mendorong ulama ikut menjadi bagian dari kepemimpinan nasional. Namun setelah Jokowi memilih KMA, justru mereka beramai-ramai mendegradasi sosok KMA yang ulama itu dicitrakan sebagai politisi bahkan sebagai ulama ambisius. Padahal KMA telah beberapa kali menjelaskan kepada kita semua, bahwa dirinya tidak pernah menyangka bakal dipilih Jokowi sebagai cawapres. Mereka lupa, selama kontestasi Pilkada DKI Jakarta, sosok KMA menjadi tokoh kunci. Habis manis sepah dibuang. Tapi begitulah politik.
Setiap pernyataan KMA yang berpotensi “digoreng” ramai-ramai diviralkan melalui sosial media. Seperti “buta dan tuli.” Pernyataan KMA sebenarnya tidak terlalu berbeda makna ketika seorang pengamat ekonomi mengatakan “ekonomi negara saat ini sedang pincang.” Padahal pernyataan KMA tentang “buta dan tuli” hanya sebuah sentilan atau kritik bagi pihak-pihak yang tidak realistis melihat capaian kinerja pemerintahan Jokowi-JK.
ADVERTISEMENT
Maman menganggap lawan Jokowi-KMA sudah kehabisan cara untuk dapat merebut hati masyarakat. Akhirnya mereka menggunakan segala cara untuk mereduksi kecintaan masyarakat terhadap Jokowi-KMA,” begitu Maman menegaskan. Berbeda dengan kubu Prabowo-Sandi kerap mengumbar “permohonan maaf.” Besok berbuat yang sama, salah lagi, ramai diprotes, kemudian minta maaf. Mulai dari “Muka Boyolali” sampai “Melangkahi Makam Ulama.” Entah nanti apalagi, kemudian minta maaf lagi. Itu sih namanya “Politik Minta Maaf.”
Maman jebolan UIN Sunan Gunung Jati Bandung ini menyebutnya sebagai membangun imej protaginis-antagonis. Sebuah pencitraan bukan dengan adu program, adu gagasan, adu data dan lainnya. Dari pendapat Maman, saya mencoba merunut isu “pembunuhan karakter” yang “ditembakkan” kepada sosok KMA sedari awal ditetapkan sebagai cawapres.
ADVERTISEMENT
Isu pertama kesehatan dengan mengedarkan foto KMA dirawat di rumah sakit. Padahal foto itu jauh-jauh sebelum beliau (KMA) dipilih sebagai cawapres. Foto itu diakui hanya check-up, wajarlah check-up, semua orang boleh kok. Kemudian umur dengan citra uzur. Sementara PM Malaysia Mahatir Muhammad usianya lebih tua ketimbang KMA. Bahkan saya sempat menerima meme melalui whatsaap yang mengatakan “KMA lupa dengan sandalnya usai salat jumat, bagaimana mengurusi negara” pernyataan itu dibuat seolah-olah dari pengakuan sopir pribadi KMA.
Selanjutnya soal mobil Esemka, padahal dalam kacamata rasional, saya melihatnya KMA hanya memprediksi. Sah-sah saja kok. Toh dalam urusan bisnis skala besar, pastinya harus ada izin ini itu yang diurus dan butuh waktu. Ini sama halnya ketika lagi-lagi seorang ekonom memberikan asumsi. Bisa pas, bisa tidak pas dan itu tidak disalahkan, namanya juga asumsi. Berbeda dengan kasus Ratna Sarumpaet, jelas sekali itu hoaks. Habis operasi kok dibilang babak belur dikebukin orang.
ADVERTISEMENT
Yang terheboh adalah ketika KMA bercipika-cipiki dengan seorang perempuan. Setelah dikonfirmasi perempuan tersebut tak lain adalah istri KMA. Adalagi sebutan KMA sebagai ulama yang berambisi (ambisius) lantaran KMA berani menerima tantangan Jokowi sebagai cawapres. Ironisnya, hal ini disandingkan dengan Ustad Abdul Somad yang menolak menjadi cawapres Prabowo sebagaimana hasil ijtima. Masalah menolak atau menerima ini soal kesiapan seseorang terhadap tanggungjawab yang lebih besar dari yang selama ini diembannya. Saya yakin, Ustad Abdul Somad merasa belum siap menerima tugas begitu berat, memimpin sebuah bangsa, sebuah negara, bukan saya katakan Ustad Abdul Somad tidak mampu. Tapi ini soal pilihan sikap saja, tak lebih.
Setiap ada hal yang mengganggu kalian, kalian malah berbalik menuduh. Ada konspirasi intelijen lah, inilah itulah, bahkan survei LSI Denny JA pun dianggap ngawur. Meski kalian membantahnya tidak melalui survei. Sementara survei merupakan instrumen keilmiahan. Entahlah siapa yang memainkan kontra-propaganda isu ini.
ADVERTISEMENT
Saya mengelus dada, ketika kalian mengaku cinta ulama, di lain sisi justru kalian menghina ulama. Terlebih kepada ulama yang kalian tuduh “tunduk dengan umara.” Padahal agama Islam mengajarkan, bahwa ulama dan umara harus bersinergi dalam mengurusi soal-soal kebangsaan, kenegaraan, serta hal lainnya. Mengacu dari rekam jejak ini, saya bertambah yakin, bahwa yang kalian bela bukan tentang kecintaan terhadap agama (Islam), ulama, tapi ini penunggangan politik.